Sebuah pembahasan menarik, yakni mana yang lebih didahulukan (diutamakan) antara nafkah kepada istri atau orang tua? Jika dilihat, kedua hal ini memang sama pentingnya. Lalu, bagaimana pandangannya menurut kacamata fikih?
Generasi muda adalah penerus perjuangan suatu bangsa. Dalam data hasil Susenas tahun 2023 mengestimasi sekitar 30,2 juta atau 10,91 persen dari total penduduk Indonesia merupakan anak usia dini berusia 0-6 tahun.
Fakta lain menyebutkan, dalam Susenas Modul Sosial, Budaya, dan Pendidikan (MSBP) 2021, ada 7% anak usia dini yang tinggal dengan orang tua tunggal, dan 1,69% tidak tinggal bersama orang tua.
Artinya, ini menjadi perhatian banyak orang, khususnya orang tua, dalam tanggung jawab menafkahi anaknya yang masih di usia dini. Dengan memenuhi kebutuhan kehidupan anak, baik dari pendidikan maupun kesehatan.
Apa saja yang tumbuh akan menjadi besar, termasuk manusia. Manusia tidak akan bisa menghentikan perjalanan waktu. Seseorang yang dulu pernah di fase kanak-kanak, lambat laun akan beranjak dewasa seiring waktu. Tentu, proses ini berbanding lurus dengan besar pula tanggung jawab yang diemban seseorang.
Semakin dewasa, semakin tidak sebebas waktu kanak-kanak. Ada aturan baik tertulis, maupun tidak. Seseorang dewasa yang sudah menikah mempunyai tanggung jawab nafkah terhadap keluarganya. Lalu, apakah si anak juga terbebani nafkah kepada orang tua? Mari kita simak!
Anak Menafkahi Orang Tua
Sebagai seorang anak yang sudah dewasa, apalagi sudah menikah, berbakti kepada orang tua menjadi tujuan yang tidak bisa ditawar. Tidak semua orang tumbuh dalam keluarga yang mapan. Adakalanya orang tua yang sudah di usia senja, memiliki status ekonomi yang pas-pasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sehingga kita sebagai anak wajib untuk membantu, hal ini sesuai dalam aturan pasal 46 ayat 2 UU Perkawinan: Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Dalam aturan fikih Islam disebutkan dalam kitab Fathul Qorib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi:
فأما الوالدون وإن علوا (فتجب نفقتهم بشرطين الفقر) لهم وهو عدم قدرتهم على مال أو كسب (والزمانة أو الفقر والجنون) والزمانة هي مصدر زمن الرجل، زمانة إذا حصل له آفة، فإن قدروا على مال أو كسب لم تجب نفقتهم
Artinya: “Adapun para orang tua walaupun hingga ke atas, maka wajib diberi nafaqah dengan dua syarat. Mereka faqir—tidak memiliki harta atau tidak mampu bekerja—dan lumpuh, atau faqir dan gila. Az zamanah adalah bentuk kalimat masdar dari rangkaian “zamuna ar rajulu zamanatan (lelaki yang benar-benar lumpuh) ketika ia memiliki penyakit”. Sehingga, jika mereka memiliki harta atau mampu bekerja, maka tidak wajib diberi nafaqah.”
Sementara kalau kita urai, hukum nafkah dan membari (hibah) itu berbeda. Nafkah punya hukum wajib, sedangkan memberi ialah mubah. Jadi, nafkah kepada orang tua, dari keterangan di atas, boleh dengan catatan kondisi orang tua memenuhi dua syarat: fakir fakir dan lumpuh, atau fakir dan gila. Fakir bisa disebabkan tidak memiliki harta atau pekerjaan yang mencukupi, tetapi jika orang tua masih bisa bekerja atau tidak gila, maka tidak wajib diberi nafkah karena tidak memenuhi syarat kedua. Boleh kita bantu, tetapi tidak sampai masuk hukum wajib.
Demikian apabila kita mampu untuk memberi nafkah kepada orang tua. Bagaimana jika kita sebagai anak dan orang tua sama-sama dalam kondisi kurang mampu? Manakah yang diutamakan, antara memberi istri atau orang tua?
Dalam Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir disebutkan:
ولا يجب على الابن الفقير نفقة والده الفقير حكمًا إذا كان الوالد يقدر على العمل، وإن كان الوالد لا يقدر على عمل، أو كان زَمِنًا، وللابن عيال، كان على الابن أن يضم الأب إلى عياله، وينفق على الكل] اهـ
Artinya: “Seorang anak laki-laki yang miskin tidak harus menafkahi ayahnya yang miskin jika ayahnya mampu bekerja, tetapi jika ayahnya tidak mampu bekerja, atau jika dia sudah tua dan anak laki-laki itu memiliki tanggungan, maka anak laki-laki itu harus memasukkan ayahnya ke dalam tanggungannya dan menafkahi mereka semua.”
Dari sini jelaslah bahwa dari persoalan di atas, jika seseorang itu adalah orang miskin, maka dia harus memasukkan ibunya ke dalam keluarganya, sehingga ibu bisa makan apa yang mereka makan, minum apa yang mereka minum, dan memakai apa yang mereka pakai.
Memang, ini bisa terjadi dalam keadaan mendesak karena krisis ekonomi yang terjadi dalam keluarga. Sehingga, bagi anak, meskipun statusnya tidak mampu, tetap wajib menafkahi orang tua yang memenuhi dua syarat di pembahasan sebelumnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Hukum Suap Menyuap Menurut Pandangan Islam