tebuireng.co- Hari ini berjarak 7 abad dari kemunculan pertama naskah kakawin Negarakretagama karya Empu Prapanca (1365). Sang pujangga mendedikasikan karyanya ini kepada Hayam Wuruk, sang raja Majapahit dan junjungan sang pujangga yang bernama asli Dang Acharya Nadendra itu. Konon ketika menuliskan karyanya itu, sang penulisnya bukan lagi sebagai pujangga istana.
Pada abad ke-21 kakawin Negarakretagama, karya sastra berbahasa kawi itu, telah dicanangkan oleh Unesco sebagai salah satu daftar naskah ingatan dunia (Memory of the World). Apresiasi internasional ini bisa menjadi bukti capaian peradaban Majapahit. Naskah kakawin tersebut merupakan catatan-catatan berdasarkan pengalaman sang pujangga yang dua kali bergabung dengan rombongan Hayam Wuruk yang berkunjung ke berbagai desa dan candi di wilayah kkuasaan Majapahit.
Jika disepakati bahwa pusat kerajaan Majapahit pada masa Hayam Wuruk berada di sekitar wilayah yang saat ini bernama Trowulan, maka jaraknya sekitar 15 kilometer dari Jombang. Jarak waktu dan ruang itu dalam perspektif sejarah dan imajinatif sesungguhnya bisa memendarkan daya pikat tersendiri.
Majapahit merupakan puncak dan akhir kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Banyakmya wilayah yang tunduk kepada Majapahit membuat peradabannya berpengaruh luas. Majapahit membangun peradaban agama, arsitektur, politik, militer, sastra maupun teknologi. Sebagian warisan artefaknya masih tersisa sampai hari ini.
Baca juga: Pertempuran Jumat Legi di Kota Jombang
Jombang dan Trowulan saat ini terhubungkan oleh jalur jalan raya yang melintasi beberapa jalur sungai dengan jembatan-jembatan besar modern yang dirintis atau dibangun pada masa kolonial Belanda. Apakah pada masa Majapahit sungai-sungai itu telah berjembatan? Apakah sungai-sungai itu dahulu merupakan benteng pertahanan pusat kerajaan dan sekaligus jalur transportasi utama untuk kepentingan perdagangan maupun kepentingan-kepentingan lainnya? Pertanyaan-pertanyaan lain masih bisa ditambahkan lagi sebenarnya.
Kini Trowulan adalah sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto dan kabupaten ini bertetangga dengan kabupaten Jombang. Ibukota kabupaten Mojokerto maupun kabupaten Jombang merupakan hasil tata-kota pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 dan abad ke-20.
Bangunan-bangunan awal di pusat kota Jombang dan Mojokerto yang masih ada saat ini bertradisi arsitektur Eropa misalnya menara air, pabrik gula, kantor pemerintah, toko di pasar, rel kereta, stasiun dan jembatan. Sepertinya tak sedikit dari semua bangunan warisan kolonial itu yang telah hancur karena bahan bangunannya termakan usia atau dihancurkan lantaran perkembangan tata-kota pasca kolonial.
Di sekitar Trowulan terdapat petilasan, monumen dan kuburan tiga raja Majapahit (Brawijaya I, Jayanegara, Hayam Wuruk). Ini bisa menjadi bukti-bukti artefak yang menandai bahwa Trowulan merupakan daerah yang istimewa bagi kerajaan Majapahit. Dan di wilayah Jombang masih berdiri Candi Ngrimbi yang konon dibangun pada masa ratu Tribhuwana Tunggadewi, pemimpin kerajaan Majapahit yang ketiga.
Prapanca dalam kakawin Negarakretagama setidaknya mencatat nama-nama tempat atau desa, candi, peristiwa, keluarga raja, ritual, gambaran kraton dan batas wilayah Majapahit pada masa Hayam Wuruk pada abad ke-14 dan masa sebelumnya misalnya era Airlangga dari kerajaan Kahuripan abad ke-11, kerajaan Kediri dan kerajaan Singasari.
Apakah Prapanca mencatat Jombang dalam naskah Negarakretagama? Prapanca tak menyebut nama Jombang dalam naskahnya, Negarakretagama dan belum jelas apakah pada masa Majapahit wilayah yang saat ini bernama Jombang telah eksis sebagai wilayah tersendiri ataukah bagian dari wilayah “ring satu” Kraton Trowulan. Yang pasti adalah wilayah Jombang di bawah kekuasaan Majapahit kala itu.
Setelah keruntuhan Majapahit sejak abad ke-15 tak tersedia bukti catatan atau kelisanan yang memadai tentang Jombang dari segi ekonomi, politik, sosial, agama maupun geografisnya. Setelah Majapahit runtuh, apakah Kesultanan Demak dan Kesultanan Mataram Islam memengaruhi wilayah Jombang dan apakah bentuk pengaruhnya?
Jejak kultural baru dan terbesar yang tampak hingga saat ini di wilayah Jombang setelah era Majapahit baru muncul pada abad ke-19 atau setelah berakhirnya Perang Jawa yaitu pondok pesantren. Artinya ada bentangan waktu selama 300 tahun sejak abad ke-15 hingga abad ke 18 di Jombang yang masih tersembunyi dalam “kabut sejarah”. Masa kolonial Belanda di Jombang pun hanya lebih terekam lewat foto-foto pabrik gula, masjid, stasiun dan pesantren paruh pertama abad ke-20.
Warisan kultural Majapahit tak terputus atau tercerabut sama sekali dari wilayah Jombang sampai saat ini misalnya arsitektur gapura dan ritual-ritual tradisional meski pengaruh kultural Islam datang dan menyebar di wilayah ini sekurangnya sejak bertumbuh dan berbiaknya pesantren sebagai pusat dan simbol pengaruh Islam yang kuat dan signifikan sejak pasca Perang Jawa pada paruh pertama abad ke-19.
Baca juga: Makam Para Ulama di Jombang
Ada apa atau bagaimana gambaran sejarah di Jombang selama 300 tahun itu (abad ke-15 hingga abad ke-18)? Pertanyaan ini bisa jadi sangat merepotkan meski amat penting sebagai bahan untuk memandang konstruksi sejarah wilayah Jombang secara lebih baik dan lebih “utuh”.
Upaya penelusuran, rekonstruksi dan pencatatan masa-masa itu belum memunculkan catatan seperti karya jenis sastra Negarakretagama atau risalah modern yang ditulis sejarawan. Cerita rakyat di Jombang merupakan salah satu bahan yang mungkin bisa dijadikan bahan untuk semua upaya itu selain bahan-bahan lain yang mungkin bisa ditemukan dan relevan.
Upaya-upaya itu merupakan “pekerjaan rumah” kultural yang belum tampak hasilnya saat ini. Kesibukan kultural di Jombang saat ini sepertinya belum optimal memandang kepada masa silam atau era pasca Prapanca hingga sebelum berakhirnya Perang Jawa. Pernah tersiar kabar penelusuran sejarah di Jombang sebelum era Majapahit yaitu masa Empu Sindok dan Airlangga. Namun “rongga sejarah” pasca Prapanca atau setelah jatuhnya Majapahit hingga sebelum berakhirnya Perang Jawa masih belum terjamah.
Sir Thomas Stamford Raffles mencatat kedatangannya di wilayah bekas Majapahit di Trowulan pada awal 1800an yang digambarkan sebagai hutan dan di berbagai lokasi berserak reruntuhan candi. Dan Henri Maclane Pont, sang penemu kolam Segaran di Trowulan pada awal abad ke-20, mencatat wilayah Trowulan kala berupa rimba.
Dari catatan-catatan tersebut bisa diperkirakan bahwa setelah Majapahit runtuh, wilayah Trowulan dan Jombang ditinggalkan oleh penduduknya dan mereka beralih ke tempat lain sehingga wilayah-wilayah ini kosong dan terpinggirkan perannya. Dan kebiasaan kerajaan di Jawa akan menelantarkan pusat kerajaan yang pernah diduduki musuh. Majapahit pada masa-masa akhir kekuasaan diduduki penyerbu dari Kediri dan kemudian dikuasai oleh Demak.
Demak menjadi kekuasaan yang bangkit setelah Majapahit runtuh dan menjadi pusat wilayah baru di pesisir utara Jawa. Barangkali hal ini yang membuat Trowulan dan Jombang yang letaknya di pedalaman berangsur berada di luar dinamika utama sejarah kekuasaan sejak runtuhnya Majapahit hingga berabad-abad kemudian.
Ketika Demak berkuasa di Jawa, Malaka menjadi pusat perdagangan internasional di Asia di bawah kendali Portugis. Setelah Demak runtuh, muncullah kekuasaan baru di wilayah pedalaman yaitu Mataram Islam di Jawa dengan orientasi politik yang berbeda dengan Demak maupun Majapahit dan tak tertarik kepada urusan maritim. Mataram Islam berkultur agraris. Mataram Islam menghancurkan Giri Kedaton di Gresik demi meredam kompetitor pengaruh kekuasaannya dan sejak saat itu di ujung timur pulau Jawa tak ada lagi pusat pemerintahan atau kerajaan.
Trowulan dan Jombang sebagai wilayah-wilayah bekas Majapahit yang lama ditinggalkan penduduknya itu kemungkinan menggeliat lagi sejak sistem Cultuur Stelsel (Tanam Paksa) diterapkan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 untuk mengisi kas keuangan pemerintah kolonial yang bangkrut akibat Perang Jawa. Sistem ini memaksa penduduk di wilayah kolonial wajib menanami lahannya dengan tanaman-tanaman yang laku di pasar Eropa.
Sistem Tanam Paksa membutuhkan lahan tanaman dan para pekerja perkebunan. Untuk mendukung sistem ini pemerintah kolonial membangun pabrik-pabrik dan jalur kereta api pengangkut hasil perkebunan. Semua ini juga membutuhkan para pekerja. Banyak orang dari berbagai tempat datang ke wilayah-wilayah ini untuk mencari pekerjaan.
Itu semua merupakan spekulasi-spekulasi rasional yang butuh pembuktian kebenaran historisnya. Semua spekulasi itu bisa benar atau keliru. “Rongga sejarah” tersebut perlu upaya-upaya untuk meneropongnya dan tak semestinya dibiarkan sebagai masa lalu yang gelap selamanya.
Binhad Nurrohmat, Penyair, mukim di Rejoso, Jombang