Salah satu peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya pada bulan Dzulqa’dah adalah perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-6 Hijriyah.
Perjanjian ini bermula dari keinginan Rasulallah dan sahabatnya untuk melaksanakan ibadah umrah ke Makkah. Rombongan ini berangkat dari Madinah pada hari Senin awal bulan Dzulqo’dah. Nabi Muhammad mewanti-wanti bahwa tujuan mereka adalah beribadah bukan untuk berperang. Dalam satu riwayat, rombongan ini berjumlah 1400 orang.
Sayangnya, belum sampai di Makkah, rombongan Nabi Muhammad Saw dicegat oleh orang musyrik Quraisy, tepatnya di daerah Hudaibiyah. Diperkirakan untuk menuju Makkah masih dibutuhkan perjalanan sepanjang 20 KM lagi.
Rombongan nabi diintrogasi di tengah jalan terkait tujuan mereka datang ke Makkah. Dengan meyakinkan, Nabi Muhammad menjawab jika mereka ingin beribadah, bukan berperang. Sikap tidak mau berperang di bulan Dzulqo’dah ini terakam dalam hadits nabi yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim. Bunyinya sebagai berikut:
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”.
Larangan perang pada bulan Dzulqo’dah ini juga bertujuan untuk mempersiapkan ibadah besar yaitu haji. Di Indonesia, bulan Dzulqo’dah adalah kondisi paling sibuk bagi panitia haji.
Dzulqadah menjadi salah satu bulan pelaksanaan haji sebagaimana difirmankah Allah. “Ibadah haji itu dilakukan pada bulan-bulan yang sudah diketahui” (Al-Baqarah:197).
Larangan berperang ini, akhirnya memunculkan ilmu baru di dalam fikih dalam bab haji. Haji diwajibkan jika seseorang mampu melakukannya dan selama dalam perjalanannya aman. Secara logika, melarang peperangan satu bulan sebelum bulan haji bermaksud memberikan kenyamanan bagi masyarakat luar kota Makkah yang ingin haji.
Rasulallah juga mengharamkan peperangan sebulan setelah haji (bulan Muharam), hal ini agar para jamaah haji bisa kembali dengan nyaman ke daerah masing-masing.
Para tokoh Makkah tetap ngotot untuk tidak mengizinkan Rasulallah Saw dan rombongan untuk tidak memasuki Makkah. Sambil menunggu izin, Nabi Muhammad mengirim juru runding terbaiknay seperti Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khotob, Abdurrahman Bin Auf. Sementara tokoh Makkah mengutus Suhail bin Amr dan Mukriz.
Perundingan alot pun terjadi dengan titik tekan bahwa rombongan Rasulallah tidak boleh memasuki Makkah untuk melakukan ibadah umrah.
Akhirnya muncullah kesepakatan yang dikenal sebagai Shulhul Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah). Berdasarkan buku “Membaca Sirah Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018) ada lima butir kesepakatan.
Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Tiada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing dari kedua belah pihak selama masa tersebut. Kedua, siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.
Ketiga, diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Keempat, tahun ini Nabi Muhamamad saw. dan rombongan belum diperkenankan memasuki Makkah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus.
Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.
Menurut KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), setelah perjanjian ini disepakati banyak sahabat nabi yang tidak setuju. Karena banyak merugikan umat Islam. Termasuk Saidina Umar yang protes langsung ke Rasulallah, tapi akhirnya tetap ikut Nabi Muhammad Saw.
Dalam penjelasan Gus Baha, poin pertama yang berbunyi genjatan senjata selama 10 tahun memberikan kebebasan orang-orang untuk mendiskusikan tentang ajaran Islam. Orang Makkah saat itu tidak keberatan karena hanya sekedar diskusi. Akhirnya orang Makkah terbiasa membahas status Tuhan menurut Islam.
Setelah diskusi, orang Makkah yang awalnya belum beriman kepada Allah Swt mulai membandingkan Tuhan yang mereka sembah dengan Tuhan yang disembah Nabi Muhammad Saw. Bahkan, karena konsep ketuhanan yang ditawarkan Islam lebih logis, maka banyak yang tertarik masuk Islam.
Tuhan dalam Islam tidak mengenal akhir dan awal, tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Padahal, selama ini orang Makkah menyembah Tuhan yang mereka buat sendiri. Akhirnya, banyak orang yang masuk Islam tanpa diperangi dan Perjanjian Hudaibiyah pun tak berusia lama.
Di sinilah akhirnya orang-orang mengakui kehebatan dan kejeniusan Nabi Muhammad Saw. Ini juga membuktikan bahwa Muhammad berpikir dan bertindak dituntun Allah. Karena berpikir tidak dengan cara umumnya manusia.
Baca Juga : Keutamaan Bulan Rajab Beserta Amalannya