Tradisi tahlil dan gaya hidup menarik dibahas karena tahlil sudah menjadi identitas dari kelompok Islam. Bahkan tradisi ini menjadi warisan turun temurun.
Tradisi tahlil dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang sering menjadi sorotan atau mungkin bahkan gugatan adalah ritual 7.hari wafatnya Seseorang berlanjut sampai 40 hari, 100 fari 1000 hari, dan tahunan atau haul
Permasalahan yang diangkat pada awalnya adalah apakah ritual tahlil semacam ini diperbolehkan? Masalah selanjutnya yang menjadi banyak kritikan orang yang tidak pahami adalah mengapa orang yang dalam keadaan bersedih (chluimusibahi seperti ini masih harus terbebani member jamuan tahlilan?
Problem pertama sudah dengan sangat baik dijawab oleh banyak ulama/kiai/santri NU yang mendasarkan argumentasinya pada praktik haji yang diadopsi Islam dari tradisi Jahiliyah.
Kita tahu, tradisi thawaf mengitari ka’bah awalnya dilakukan sambil telanjang, merengek, mengeluh, dan menyembah yang di dalamnya adalah berhala kemudian diberi nilai-nilai keislaman tanpa merubah bentuk (madzhar) yang ada.
Ada Hadis Nabi yang diambil dari adagium Arab jahiliyah adalah “Unshurakhaka, zlaliman aw madluman, tolonglah saudaramu ketika dia zalim, atau dizalimi.
Begitupun dengan tradisi tahlil dan gaya hidup dalam NU seperti tahlil yang merupakan salah satu tradisi jawa yang dirubah muatannya.
Baca Juga: Ustaz Idrus Ramli Dituduh Anti Tahlilan
Kalau pada tradisi Jawa ketika ada orang yang wafat mereka kumpul untuk membuat pesta dikediaman almarhum sambil minum-minuman, lantas kemudian dirubah menjadi acara mendoakan si mayit.
Bahkan dalam kajian sejarah, tradisi ini berjalan jauh sebelum NU Jatir karena yang meracik acara ritual menjadi lebih bermanfaat adalah para wali Jawa.
Ritual Tahlil dan Gaya Hidup
Dalam tradisi yang berjalan di berbagai tempat ketika ada orang yang wafat, maka lelaki yang ada di dusun tersebut yang mengurus mayit, dari memandikan, menggali kubur, men-shalati, dan seterusnya.
Sedangkan ibu ibu yang ada, mereka dating takziyah dengan membawa beras, gula, mie, atau bahan pokok yang lain dan macam-macam bahan pokok untuk membantu acara pada ritual tahlil di malam harinya.
Tradisi seperti ini mereka sebut dengan istilah “sholawatan”, ada juga yang menyebut dengan istilah “Ngelawat”, “Nyelawat”, dan mungkin di daerah lain tidak jauh dari itu.
Di Rungkut Surabaya, sebagian orang Muhammadiyah pun menjalankan ritual tahlil, masyarakat desa mengundang beberapa orang yang ada atau kebetulan lewat depan rumahnya, dan lantas diberikan semacam bungkusan nasi ala tahlil.
Mahasiswa yang tinggal di dekat tempat tersebut sering mendapat berkah dengan adanya acara ritual itu. Adapun bagi keluarga yang ditinggal wafat juga merasa lega karena ada yang mendoakan almarhum.
Tradisi Jawa ini sebenarnya juga mengajarkan “menejemen pengelolaan dana”. Dari bahan pokok yang disumbangkan ketika “Nyelawat” ini dikelola sedemikian rupa agar bisa tepat selama ritual tahlil, 7 hari.
Kalau tradisi yang berjalan di berbagai daerah tersebut, sebagian bahan pokok dijual dan dibelikan bumbu-bumbuan pendukung masakan atau keperluan lain, dan sebagian yang lain dikelola.
Dan terbukti sampai saat ini, tradisi seperti ini masih berjalan dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Kalaupun muncul masalah yang diangkat oleh beberapa golongan bahwa tradisi tahlil dalam tubuh NU semakin memperkeruh perekonomian masyarakat yang ada.
Baca Juga: Teks Lengkap Tahlil
Maka sebenarnya jika dilihat lebih jauh, bukan dari tradisi yang berjalan melainkan tiada lain adalah “gaya hidup masyarakat setempat yang sudah dipengaruhi oleh doktrin “gaya hidup” modern yang konsumeristik.
Seringkali, bukannya mementingkan substansi tahlilan tersebut namun dipakai sebagai ajang unjuk gigi status sosial. Saat ini, seakan sudah menjadi tren tiap ada hajatan menjadi wahana untuk memamerkan kekayaan.
Sebenarnya, kalau masing-masing memahami untuk hidup dengan apa adanya serta tidak malu atau gengsi dengan yang lain, maka tidak akan ada “minus” dalam ritual-ritual Nahdlatul Ulama.
Justru dalam tradisi tersebut terkandung rasa kebersamaan untuk saling membantu satu sama lain. Wallahu’alam.
Oleh: Dr (H) KH. Salahuddin Wahid