Santri next generation memiliki tantangan lebih kompleks. Kemajuan teknologi disamping memiliki dampak positif juga mengundang dampak negatif.
Zaman yang kita hadapi sekarang adalah zaman di mana era global semakin terealisasi. Semuanya serba digital dan akses internet semakin mudah. Hal ini tentu membawa perubahan-perubahan pada keseluruhan sektor seperti ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.
Perubahan yang besar ini juga banyak keuntungannya sekaligus berat tantangannya bagi pesantren dalam mendidik santrinya.
Di masa yang akan datang, keadaan semacam ini akan mengalami progres yang batasnya tidak bisa kita bayangkan. Tantangan zaman semakin banyak. Fenomena yang semula dianggap biasa atau bahkan yang semula dianggap sebagai keuntungan pun akan berbalik menjadi tantangan-tantangan yang harus dipecahkan.
Hal ini akan membawa dampak dalam berbagai aspek serta bagi segala kalangan, juga segala bentuk lembaga, institusi, perusahaan, termasuk dunia pesantren.
Pergeseran pergeseran terus terjadi seiring berjalannya waktu, maka dari itu imbasnya menyentuh elemen paling kecil hingga hal-hal signifikan dalam bentuk pisau bermata dua. Santri dituntut memiliki akhlak dan kemampuan teknologi.
Contoh sederhananya laptop dan telepon genggam, keduanya kita akui memiliki banyak fungsi positif tetapi juga merupakan pintu yang potensial membawa penggunanya ke dalam penyimpangan-penyimpangan apabila tidak diimbangi dengan kesadaran nilai, moral dan juga batasan.
Pada dasarnya pesantren secara umum bertujuan untuk melahirkan insan-insan yang berilmu dan berakhlakul karimah. Maka pantangan pokok yang dihadapi pesantren di masa ini secara berkelanjutan berkaitan dengan dua hal tersebut: pertama, dalam upaya melahirkan insan yang berilmu, khususnya ilmu agama,
Pesantren telah mengalami banyak sekali perubahan dan penyesuaian dengan zaman. Dahulu pesantren hanya mengajarkan santri ilmu-ilmu agama saja dan rata-rata diambil sumbernya langsung dari kitab kuning.
Baca Juga: Amalan Cari Jodoh
Penyampaiannya dilakukan dalam bentuk ngaji bandongan dan sorogan di masjid atau majelis. Namun saat ini, sebagai upaya menjawab tantangan zaman dan mengiringi perkembangan zaman, kita melihat ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren semakin berkembang. Seperti adanya pembelajaran bahasa Arab, Inggris dan yang lainnya.
Berbagai bidang keilmuan dan bahkan keterampilan juga banyak diajarkan kepada santri di pesantren-pesantren. Upaya memajukan agama dan bangsa dilakukan dalam pembekalan keilmuan yang dinamis sesuai kebutuhan zamannya.
Kedua, untuk melahirkan insan yang berakhlakul karimah, pesantren jelas menghadapi tantangan yang tidak mudah seiring perkembangan zaman yang semakin modern.
Kemudahan akses dan teknologi berbanding lurus dengan pergeseran kultur sosial dan kemasyarakatan kita. Mau tidak mau rasa terhadap nilai-nilai juga mengalami pergeseran. Kita tidak dapat memungkiri bahwa moralitas tengah mengalami dekadensi yang cukup serius.
Nah hal ini termasuk tugas besar bagi pesantren untuk mengembalikan nilai dan praktik akhlakul karimah ke tengah masyarakat pada umumnya dan para santri khususnya.
Santri era ini dan mendatang juga memiliki tantangan yang garis besarnya sama, yaitu berkaitan dengan keilmuan dan akhlakul karimah.
Santri harus mempersiapkan dirinya dengan matang secara keilmuan agar tidak tergerus roda kemajuan, agar dapat ikut serta mewarnai dunia wacana, agar mampu menggagas perkembangan dan perubahan positif demi kemaslahatan umat.
Namun, kita semua menyadari bahwa merebus keilmuan santri hingga matang sempurna dan benar-benar siap menjawab persoalan hidupnya dan umat adalah hiperbola. Setdiaknya perlu menyiapkan santri next generation memiliki kematangan emosi dan pikiran.
Kematangan ilmu tidak memiliki neraca pengukur yang final. Kesiapan menjawab tantangan juga bukan sesuatu yang solid, maka upaya primer yang dapat dilaksanakan adalah dengan pembelajaran dan penguatan ilmu-ilmu pokok atau ushul.
Seperti Al-Qur’an (riwayah dan diroyah), hadis (riwayah dan diroyah), tauhid dan juga fiqih. Juga ilmu-ilmu yang menjadi sarana dalam memahami ilmu pokok tersebut, seperti nahwu, shorof, balaghoh, ushul fiqh dan sebagainnya.
Ilmu-ilmu tersebut menjadi basis dan fondasi, sedangkan keilmuan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap. Sementara itu, pengembangan keilmuan dapat terus distimulasi oleh proses belajar dalam hidup yang tidak ada habisnya.
Dan kesiapan menjawab tantangan atau persoalan ditempa secara gradual setiap kali menghadapi tantangan itu sendiri. Ini adalah proses yang tidak sepenuhnya dilakukan dengan kesadaran utuh.
Selain itu santri pun perlu menanamkan akhlakul karimah sebagai karakter dan tafaqquh fiddin sebagai prinsip. Keduanya akan menjadi poros yang kuat dalam mengatasi kencangnya polemik dunia modern.
Sebagai pribadi, santri tidak akan mudah terseret ke dalam arus hedonisme atau post-modernisme misalnya. Juga tidak gagap dan mudah heran ketika bersinggungan dengan yang lainnya.
Dengan bekal pokok tersebut, pengaruh-pengaruh dari luar tidak akan mudah diterima tanpa filtrasi yang ketat. Sehingga dalam kegiatan bertukar pikiran dengan rekan yang tidak sepaham misalnya, tidak akan berujung dengan ikut-ikutan saja. Begitu sikap santri next generation yang baik.
Aktivitas membuka diri seobjektif mungkin dalam rangka mengembangkan keilmuan di barengi dengan prinsip dan jati diri sebagai garis pembatas. Pemikiran terbuka, tapi tidak terjun bebas. Baju zirah tak tidak akan ditinggalkan selama tidak ada pedang yang benar-benar mengoyakkannya.
Isnaini Izzul Hikmah (Mahasiswi semester 5 KPI UIN Sunan Ampel Surabaya)