Kewajiban puasa Ramadan ditujukan pada setiap orang Islam yang mukallaf. Baik laki-laki, maupun perempuan, wajib berpuasa kecuali ada uzur. Bahkan untuk orang-orang pekerja berat.
Tidak bisa dipungkiri, kewajiban puasa bagi seorang muslim tetap harus dijalani meski dalam kondisi bekerja atau mencari nafkah. Bagi pribadi yang sehat jasmani, puasa saat bekerja tidaklah menjadi halangan. Namun, ada sebagian jenis pekerjaan yang berat dan keras sehingga secara fisik mereka bekerja dengan mengeluarkan banyak tenaga.
Bagaimana hukum puasa—terutama Ramadan—untuk orang-orang pekerja berat? Seperti orang yang bekerja di tengah panas terik matahari, di pinggir jalan, bekerja sebagai kuli bangunan, atau bekerja sepanjang hari tanpa istirahat.
Bagaimana fikih merespon hal ini—hukum puasa pekerja berat? Apakah mereka boleh berbuka saat dilanda payah? Sedangkan, Allah Swt memberi hak berbuka bagi musafir dan orang sakit. Mari kita bahas!
Kategori pekerjaan berat bisa ditinjau dari 2 hal; seberapa menguras tenaga, dan seberapa lama waktu bekerja. Kondisi ini memerlukan energi ekstra dan konsentrasi. Sehingga, tubuh butuh asupan lebih dari makanan dan minuman. Sedangkan, makan dan minum dilarang dalam kondisi berpuasa. Akibatnya tubuh lebih cepat letih karena energinya banyak yang dikeluarkan.
Hal ini sama seperti kondisi orang yang sedang berpuasa, tetapi ketika berbuka atau sahur hanya mengonsumsi makanan sedikit, sebab jam kerja yang padat. Akibatnya pun sama, badan cepat lemas karena tidak ada cadangan energi.
Fikih Puasa Pekerja Berat
Dalam literatur fikih empat mazhab dijelaskan mengenai hukum pekerja berat yang dilanda rasa lapar dan haus yang sangat ketika dalam kondisi berpuasa.
Dari kalangan mazhab Hanafi, Imam Al-Kasani Al-Hanafi berkata dalam Bada’i’ Al-Sana’i’ menyebutkan:
وأما الجوع والعطش الشديد الذي يخاف منه الهلاك: فمبيح مطلق بمنزلة المرض الذي يخاف منه الهلاك بسبب الصوم
Artinya: “Adapun rasa lapar dan haus yang sangat yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian: Dibolehkan (ifthar) secara mutlak, sebagaimana penyakit yang dikhawatirkan menyebabkan kematian karena berpuasa.”
Dari pendapat mazhab Maliki, Imam Ibnu Jazi al-Maliki berkata dalam Al-Qawaniyun al-Fiqhiyyah:
وأما من أرهقه الجوع والعطش فيفطر ويقضي. فإن خاف على نفسه حرم عليه الصيام
Artinya: “Jika ia kelelahan karena lapar dan haus, maka ia wajib berbuka dan meng-qadha puasanya. Jika ia khawatir akan nyawanya, maka ia dilarang berpuasa.”
Sedangkan, dari kalangan mazhab Syafi’i, Imam Al-Nawawi mengatakan dalam Raudhatu al-Talibin:
في مبيحات الفطر في رمضان وأحكامه، فالمرض والسفر مبيحان بالنص والإجماع، وكذلك من غلبه الجوع أو العطش فخاف الهلاك، فله الفطر وإن كان مقيمًا صحيح البدن
Artinya: “Alasan-alasan yang dibolehkan untuk berbuka puasa di bulan Ramadan dan hukum-hukumnya. Sakit dan safar dibolehkan berdasarkan nash dan ijma’, demikian juga orang yang dikuasai rasa lapar dan dahaga serta takut mati, maka ia boleh berbuka, meskipun ia termasuk orang yang sehat.”
Dari kalangan mazhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata dalam Al-Kafi:
والصحيح إذا خاف على نفسه لشدةِ عطش أو جوع…، فله الفطر ويقضي؛ لأنه خائف على نفسه، أشبه المريض
Artinya: “Dan pendapat yang benar, jika dia khawatir terhadap dirinya sendiri karena haus atau lapar…, maka dia boleh berbuka dan berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri, seperti orang yang sakit.”
Selain pendapat dari para ulama mazhab, Prof Dr Syekh Muhammad Hasan Hitou juga menjelaskan ketentuan puasa bagi pekerja berat di bulan Ramadan, bahwa wajib bagi mereka berniat puasa dan menjalankannya.
Apabila mereka sampai di tengah-tengah pekerjaannya mencapai batas kepayahan, kesulitan dan letih yang ditakuti bisa membuat binasa, maka mereka boleh saat itu berbuka puasa. Seperti orang yang sangat lapar dan haus yang sampai membuat binasa jika dilanjutkan.
Landasan dalil yang digunakan ialah surah An-Nisa ayat 29: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Dan surah Al-Baqarah ayat 195: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Meskipun diperbolehkan untuk berbuka bagi pekerja berat, tetapi poin pentingnya ialah tidak boleh seenaknya mengambil keringanan ini, kecuali dalam keadaan mendesak. Konsekuensi hukum selanjutnya ialah wajib bagi mereka untuk meng-qadha puasa yang ditinggalkan.
Syekh Hasan Hitou memberi catatan, hal ini seluruhnya jika pekerja tersebut memerlukan pekerjaannya, seumpama pekerjaan ini harus dilakukan di Ramadan. Adapun jika bisa saja dia mendapatkan dari pekerjaan lain, maka wajib dia meninggalkan pekerjaan ini dan berpuasa.
Dari pendapat ini, ditinjau pula urgensi dari pekerjaan tersebut. Jika memang tidak bisa ditinggalkan ataupun tidak ada waktu lain selain Ramadan, maka boleh tetap melakukan pekerjaan berat tersebut. Sebaliknya, jika pekerjaan berat bisa ditinggal atau mendapat pekerjaan yang selain itu, maka wajib ditinggalkan dan melakukan puasa juga.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Hukum Menggosok Gigi dan Pakai Lip Balm saat Puasa