tebuireng.co – Salat idul fitri lebih dulu yang dilakukan jemaah Aolia pada Jumat, 5 April 2024, di Giriharjo, Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta mematik kontroversi di masyarakat Indonesia dan menguatkan pentingnya mengkaji sanad dalam beragama.
Sedangkan Muhammadiyah menetapkan idul fitri pada Rabu, 10 April 2024 lewat metode hisabnya. Nahdlatul Ulama dengan metode hisab memprediksi idul fitri di tanggal 10 April 2024. Namun, kepastian masih menunggu pemantauan langsung (rukyah hilal).
Dengan hisab dan rukyah hilal, akhirnya pemerintah menetapkan idul fitri pada Rabu, 10 April 2024. Jarak yang terlalu jauh antara penetapan jemaah Aolia dengan umat Islam lainnya menimbulkan tanda tanya besar.
Kontroversi jemaah masjid Aolia semakin besar setelah pemimpin jemaah tersebut, KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo, mengatakan dalam wawancara bahwa keputusan penetapan idul fitri didasarkan pada hasil ‘telepon’ dengan Allah.
Kata ‘telfon Allah’ jadi perbincangan khalayak ramai dan videonya menyebar kemana-mana lewat media sosial.
Mbah Benu, sapaan akrab KH Ibnu Hajar, menjelaskan bahwa ‘telepon Allah’ yang dimaksud adalah perjalanan spiritualnya yaitu kontak batin dengan Allah.
Sebagian masyarakat tidak setuju dengan adanya pelaksanaan salat idul fitri dari jemaah Aolia karena dianggap menyesatkan umat.
Sedangkan menurut sebagian lainnya menghargai praktik itu karena rasa toleransi dan penghargaan atas kepercayaan masing-masing yang memang dilindungi oleh undang-undang negara.
Kalau kita perhatikan, peristiwa semacam ini disikapi oleh masyarakat tergantung dari sebarapa jauh kesenjangan ajaran yang diterapkan itu dengan ajaran Islam pada umunya.
Jika terlalu jauh, seperti pengakuan terhadap adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka ini akan dihujat habis dan dianggap menyesatkan hingga ditumpas.
Bahkan, negara dalam hal ini juga ikut mengintervensi. Sedangkan jika tidak terlalu jauh, sebagaimana kasus pada jemaah Aolia, maka ini tidak terlalu masalah menurut sebagian orang.
Artinya, ajaran yang berbeda itu bukanlah hal-hal yang benar-benar mendasar atau prinsip utama dalam ajaran Islam.
Dalam tulisan ini, kita tidak membahas peristiwa di atas dari sisi kenegaraan, yang lebih mengarah pada penghargaan atas interpretasi agama masing-masing.
Juga tidak membahas dari Point of View psikologi yang menunjukkan kemungkinan pimpinan jemaah Aolia memang tidak berbohong.
Juga tidak dari sudut pandang tasawuf yang sangat memungkinkan adanya perjalanan spiritual yang sah dan diakui untuk pengamalan pribadi.
Namun, mari kita bahas dari sudut pandang Islam yang pada dasarnya menggunakan sanad sebagai penjagaan atas prinsip-prinsip ajarannya.
Dalam Islam sendiri, pengawalan atas ajarannya memiliki ciri khas yang cenderung berbeda dari ajaran dalam agama lainnya.
Dalam menyampaikan ajaran, Islam mengenalkan sistem sanad sebagai landasan baik dalam ibadah ritual maupun sosial dari generasi ke generasi.
Sehingga, ajaran yang dibawa diharapkan sesuai secara prinsip dengan apa yang diajarkan pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW.
Syaikh Nuruddin ‘Itr, seorang ulama yang pakar dalam bidang hadis dari Suriah, berkata bahwa sistem sanad menjadi ciri khas dalam ajaran Islam yang tidak dimiliki umat lainnya pada ajaran mereka.
Sistem sanad inilah yang menjadikan ajaran Islam kuat secara prinsip. Islam di Indonesia, di Amerika, bahkan di Jepang maupun di Inggris pasti tidak berbeda antar satu sama lain dalam hal prinsip ajaran.
Sebab, ajaran berdasar sanad sudah tertanam dan dianggap penting di kalangan Muslim, serta selalu dikawal dengan baik oleh para ulama.
Saking pentingnya sistem sanad ini, seorang ulama hebat yang hidup pada abad kedua Hijriah yang bernama Abdullah bin Mubarak bekata:
الْإِسْنَادْ مِنَ الدِّيْنِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادِ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad (sanad) adalah bagian dari agama, tanpa sanad, maka seseorang dapat berkata (apa saja) semaunya dia (tentang agama).”
Jika ajaran syariat Islam tidak dibangun berdasarkan sanad, maka setiap orang dapat mengungkapkan ajaran-ajaran baru atau berkreasi atas ajaran itu secara bebas.
Untuk itu, penting bagi kita untuk memperhatikan sanad ajaran yang kita terima, apakah itu bersambung hingga Rasulullah SAW atau kah tidak.
Berkaitan dengan ini, Syaikh Muhammad bin Sirin, seorang ulama kondang pada abad awal Islam, juga berbicara hal yang senada soal sanad. Ia berkata:
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْا دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Syaikh Sufyan al-Tsauri juga menjelaskan pentingnya sanad yang mana laksana senjata bagi orang mukmin:
الإِسْنَادُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلَاحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتَلُ
“Sanad adalah senjata orang mukmin, jika tidak ada senjata, dengan apa dia akan berperang?”
Kita patut bersyukur, karena Islam dibangun berdasarkan sanad. Dengan hadirnya sanad, maka ajaran yang ada terbatasi dengan jelas.
Kreatifitas manusia seperti ijtihad dapat dibatasi bahkan dipandu oleh prinsip-prinsip yang memiliki sanad.
Sehingga, apa yang dihasilkan dari ijtihad pun tidak keluar dari koridor prinsip yang menjadi pakem dari Rasulullah Muhammad SAW, sumber dari seluruh ajaran Islam.
Sebagai contoh yaitu kasus penentuan awal bulan Ramadan dan bulan Syawal dalam penanggalan kalender Hijriyah.
Kedua bulan ini cukup krusial bagi umat Muslim dalam menjalankan syariat puasa dari salat idul fitri.
Dapat kita bayangkan, seseorang ketika asal-asalan atau tidak didasarkan pada prinsip-prinsip dalam Islam yang bersanad dalam menentukan kapan awal dia puasa, ia bisa jadi belum berpuasa padahal sudah masuk wajib berpuasa.
Begitu juga, ketika seseorang masih berpuasa, padahal sudah memasuki bulan Syawal, yang mana diharamkan berpuasa.
Dalam masalah ini, hadis sebagai sumber hukum Islam yang memiliki sanad yang jelas telah menggariskan sebuah pakem.
Bagaimana cara Rasulullah SAW menentuan kapan umat Muslim harus mulai berpuasa dan kapan mengakhirinya telah disabdakan dan dicontohkan langsung oleh beliau.
Hal itu terekam jelas dalam hadis-hadis yang statusnya sahih hingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan hukum Islam tentang ini.
Untuk menentukan awal dua bulan krusial di atas, salah satu cara yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW tertuang dalam hadis. Yaitu, dengan menggunakan rukyah, melihat hilal (bulan sabit yang pertama kali tampak).
Berkaitan dengan cara ini, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dalam kitab Sahih-nya yang tersambung hingga sahabat Abu Hurairah RA sebagaimana berikut.
حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya (hilal). Bila hilal tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafalnya milik Bukhari)
Melalui hadis di atas, Rasulullah SAW menjelaskan tentang terlihatnya hilal sebagai standar penentuan kapan kita mulai wajib melaksanakan puasa dan kapan kita mengakhirinya.
Namun, ketika hilal tidak terlihat atau tidak dapat dilihat karena mendung atau penghalang lainnya, maka kita perlu dilakukan istikmal atau menyempurnakannya menjadi 30 hari.
Dalam pengembangannya, metode rukyah di samping terus digunakan di Indonesia, juga terdapat metode hisab yang juga eksis digunakan.
Metode ini juga didasarkan pada hadis yang sama yang dipahami dengan pendekatan yang lebih luas, serta lebih bersifat inovatif.
Ayat-ayat al-Qur’an tentang keteraturan alam semesta juga melihat kondisi sosial di era Rasulullah SAW yang masih minim dalam teknologi perhitungan, maka metode hisab menjadi tawaran baru.
Dengan metode ini, kita dapat mengetahui hingga bahkan kapan awal Ramadan beberapa tahun berikutnya.
Setidaknya, baik metode rukyah maupun hisab telah digunakan di Indonesia dan dianggap sebagai metode yang sah dan bersanad.
Pada intinya, keputusan untuk menggunakan metode rukyah dan hisab merupakan cara Islam dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal, yang mana didasarkan pada hadis-hadis yang memiliki sanad yang jelas lagi sahih.
Pola ini juga berlaku pada berbagai ajaran lainnya dalam Islam, seperti shalat, zakat, haji, atau pun bagaimana cara orang untuk bertransaksi dalam jual beli.
Lalu, bagaimana dengan mimpi atau pengalaman spiritual pribadi dengan Nabi SAW atau dengan Allah SWT?
Bagaimana kasus yang dialami Mbah Benu dan jemaah Aolia yang mempraktekkan pesan ‘telepon dari Allah’ yang didapat pimpinannya itu?
Kasus seperti yang terjadi pada Mbah Benu bukanlah hal yang baru. Tokoh-tokoh lain sebelumnya, bahkan para ulama yang jauh dari zaman kita sebagian mengalami hal serupa.
Namun, mayoritas ulama tidak menerima ungkapan itu jika dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam atau syariat Islam.
Dalam kitab Bugyah al-Adzkiya, Syaikh Mahfudz Termas berpendapat bahwa mimpi atau pengalaman spiritual pribadi-baik berupa pesan dari Nabi Muhammad SAW maupun dari Allah SWT langsung-tidak dapat diterima sebagai landasan syariat Islam.
Mungkin sah untuk motivasi pribadi dalam beribadah, tapi dalam penerapan syariat Islam, harus tetap berpegang pada ajaran dengan sanad yang jelas.
Memang benar, kita perlu menghargai atas interpretasi atau tafsiran masing-masing pribadi atau kelompok atau agama yang mereka yakini.
Sehingga, keharmonisan dalam menjalankan agama di Indonesia dapat terbangun dan meminimalisir ketegangan antar kelompok.
Namun, kita perlu memahami bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar sanad yang jelas dan bersumber dari Rasulullah SAW sebagai sumber ajaran.
Jika tidak, bisa jadi suatu saat ada seseorang yang mengaku mendapat pesan WhatsApp dari Allah, atau Direct Message dari Rasulullah SAW.
Tanpa sanad, pesan itu akan diterima dan dianggap sah, sehinga menyebabkan perubahan syariat yang cukup besar dampaknya di masyarakat, serta mengubah prinsip ajaran yang dibawa dengan sanad dari generasi ke generasi.
Di sini lah pentingnya sanad sebagai pengawal dari ajaran Islam agar tetap utuh dan selalu selaras dengan apa yang disampaikan oleh sumber utama, yaitu Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, kita perlu bersikap bijak dalam mengambil keputusan, terutama yang berimplikasi pada syariat Islam serta keberlangsungan praktik keagamaan masyarakat pada umumnya.
*Opini oleh Ananda Prayogi (Santri Tebuireng, Staf LP2M Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng Jombang dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya)