Id, artinya pesta. Fitr, artinya makan pagi. Idul Fitri berarti pesta makan pagi, di mana umat Islam sebulan sebelumnya berpuasa. Aud, artinya kembali. Fitrah artinya jiwa, suci dsb. Aud ila al-fitrah, kembali ke kesucian diri seperti kala dilahirkan. Sebab puasa Ramadan membersihkan dosa secara total.
Zakat al-Fitr, berarti mensubsidi makanan agar fakir-miskin bisa pesta bersama kita. Sedangkan zakat al-fitrah berarti membersihkan jiwa. Jika digabung: membersihkan jiwa dengan cara memberi. Artinya, berderma itu ngefek pada kesucian jiwa. Artinya, orang pelit itu kotor jiwanya.
Masa Covid-19 melanda, sesungguhnya kita sedang ada dalam badai yang sama, tapi masing-masing berada di perahu yang berbeda. Tha’un lebih jahat ketimbang waba’. Tha’un pasti waba’ dan waba’ belum tentu tha’un. Dan Covid-19 sekelas waba’.
Hadis menjelaskan, tha’un itu rahmat bagi umat beriman dan yang mati karenanya dianugerahi pahala syahid. Maka jangan salahkan orang-orang shalih zaman dulu bergembira kena tha’un, menolak diobati dan sangat rida. Mereka menerima rahmat Tuhan dan pahala syahid karena tidak semua orang dianugerahi begitu. Sementara yang mengindari waba’ dan berobat tetap dipuji.
Jika Covid-19 ini dianggap ujian, maka terserah kita menyikapi. Apakah pokoknya lulus, sehat, selamat dari wabah tersebut, lalu berucap alhamdulillah dan selesai. Atau mengambil pelajaran dari wabah tersebut?
Baca juga : Cara Menyikapi Covid-19
Jika saja kita gunakan fitrah, kejernihan nurani kita setelah diasah dan diasuh sebulan penuh, maka akan bisa memetik makna yang tak terhingga, antara lain:
Pertama, muhasabah. Mengkalkulasi amal ibadah dan kepatuhan kepada Tuhan saat sebelum wabah, saat melanda dan pascawabah. Jika sama saja, biasa-biasa saja, maka itu wong ndablek dan merugi. Jika malah maksiat, maka itu wong bejat. Dan jika makin taat, makin mendekat kepada-Nya, maka itulah jiwa ilahiah yang beruntung.
Kedua, tadzkirah. Peringatan bahwa Tuhan Maha segalanya dan bias segalanya. Wabah hari ini hanya sebagian kecil yang didemonstrasikan dan sekedar dicicipkan saja. Mereka yang selamat segera mengoreksi diri, lalu berbuat ke depan lebih baik. Baik secara spiritual maupun secara sosial. Virus memang tidak boleh ditakuti, tapi tidak boleh diremehkan.
Ketiga, tadzakkur. Merenungrenung dan melihat diri sendiri secara obyektif dan jujur. Dirasakan betul, betapa seseorang sejatinya tidak bias mengatasi diri sendiri, tidak bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan sangat butuh kepada bantuan orang lain. Betapa susahnya jika seseorang dibatasi geraknya dan diisolasi.
Orangtua atau wali murid yang dibebani membimbing anaknya belajar di rumah selama wabah melanda pasti bisa merasakan, betapa susah mendidik dan mengajari anak. Dari sini, orangtua mesti sadar dan seharusnya makin menghargai jasa guru. Guru bukanlah kuli yang sekedar dibayar. Jasanya tak pernah bisa dibalas.
Sementara orang beriman yang punya “hati masjid” makin merasakan betapa pentingnya fungsi masjid dalam keruhanian kita. Hati pilu melihat masjid ditutup. Maka ke depan makin terpicu dan betah berlama-lama beriktikaf di dalamnya. Dan bagi mereka yang punya kelebihan rezeki mesti lebih derma kepada sesama.