Wawancara Kiai M Abdul Aziz Mansyur terkait tradisi Nahdlatul Ulama berupa tahlilan.
Sebenarnya tahlilan, selamatan itu hanya budaya atau memang anjuran Islam?
Tahlilan itu, asas atau pokoknya memang dari ajaran Islam. Banyak juga hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan masalah tersebut. Misalnya cerita saat Rasulullah Saw memerintahkan sahabatnya untuk berbakti kepada orang tua kemudian sahabat bertanya:
“Ya Rasul apakah ada jalan untuk berbakti kepada orang tuaku, sedangkan orang tuaku sudah meninggal?”
Kemudian Rasulullah SAW menjawab “Pertama, kamu sambung kembali hubungan baik orang tuamu dengan orang-orang yang kenal dengan orang tumu, baik itu teman kerja, familinya serta kenalan-kenalan baiknya“.
Kedua, kamu juga bisa beramal bagus yang sifatnya bukan fardhu ain seperti dzikir, sedekah, membaca Al-Qur’an ataupun yang lainnya dan kirimkan pahalanya kepada orang tuamu. Cara yang kedua tersebutlah yang merupakan satu dasar tahlilan
Lantas sejak kapan tradisi tahlilan dimulai?
Ceritanya begini, dengan berpijakan hadis-hadis yang bersangkutan dengan tradisi tahlilan, ulama dahulu setelah sampai di tanah Jawa mengatur caranya agar masyarakat Jawa bisa menerimanya dengan baik, karena kita tahu bahwa sebelum Islam datang di tanah Jawa, agama masyarakat Jawa masih beragama Hindu.
Lha, setelah sampai di Jawa diatur sedemikian ini. Supaya nantinya masyarakat mau menerimanya dengan tanpa pertentangan, soalnya kalau tradisinya dirubah total masyarakat akan kaget dan tidak mau menerima ajaran Islam.
Memang tradisi tahlilan dengan model seperti sekarang ini hampir mirip dengan tradisi orang Hindu, atau dapat saya katakan Islam masuk ke Indonesia ini biar tanpa pedang alias dengan pelan-pelan tanpa kekerasan.
Seperti Sunan Ampel saat memanggil orang jamaah memakai bedug sebenarnya hampir menyerupai orang Hindu tapi pada hakekatnya tidak sama kalau kita memakai bedug orang Hindu pakai gong. Dan itu diambilkan dari ayat Al-Quran surat Al-Hajj 17 yang artinya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu: Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”
Yang maksudnya, pertama Nabi mengharamkan orang Yahudi menyembelih hewan lantas Nabi sendiri disuruh untuk menyembelih qurban lantas orang-orang Qurais marah-marah gara-gara dirinya dilarang dan akhirnya turun ayat itu. Jadi intinya apa, sama-sama menyembelihnya tapi niatnya yang tidak sama.
Untuk penentuan hari ke 3, 7, 100 dan 1000 dalam tahlilan hari itu bagaimana?
Mengapa ulama melakukan sedemikian itu. Dalam riwayat Imam Ahmad menyatakan yang artinya kurang lebih begini:
“Bagi orang Islam baik laki-laki maupun perempuan jika diberi musibah oleh Allah SWT dan kemudian memperingatinya, maka Allah SWT akan memberikan pahala seperti pada waktu dijatuhkan musibah tersebut“.
Padahal dikatakan bahwa orang yang susah sebab matinya orang alim maka Allah SWT akan memberikan pahala, seperti pahala 100 orang mati sahid dan 100 orang alim.
Baca juga: Wawancara Kiai M Abdul Aziz Mansyur
Lantas biasanya kalau orang itu sedang terkena musibah (Jawa: kepaten) kalau sudah hari ke-3 dan seterusnya sudah lupa dengan kesusahan tersebut, kalau susahnya sudah hilang kan pahalanya sudah ndak mengalir lagi.
Makanya agar supaya pahalanya tetap mengalir, ditentukan peringatan pada hari ke 3 agar kita ingat dan diberi pahala. Begitu juga hari ke-7 kita ingat lagi biar diberi pahala lagi, terus selanjutnya diperjarang soalnya kalau terlalu sering akan bosan juga akhirnya ditentukanlah hari ke 40, ke 100 dan ke-1000.
Jadi semua itu adalah cara ulama dulu untuk menarik kita untuk melakukan kebaikan tersebut. Dari situlah masyarakat akhirnya mau melakukannya.
Tidak hanya itu, seperti selametan pada waktu suro pake jenang, waktu Syawal pake ketupat, waktu Ramadhan pakai ambengan.
Kenapa kok bisa berbeda-beda, pasalnya nanti kalau pakai ambengan terus atau jenang terus yang memasak ataupun yang menerima akan bosan, jadi tetap sedekah, tapi beda. Akhimya tradisi-tradisi tersebut semua ada maksudnya.
Dan itu semuanya adalah sebuah aplikasi anjuran agama yang dikemas dalam sebuah budaya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam (red).
Bagaiman hukum menyelenggarakan tahlilan bagi yang tidak mampu?
Untuk menyelenggarakan acara tahlilan selametan sebenarnya tak harus memakai acara besar-besaran. Dilihat kemampuannya, kalau memang tidak mampu ya cukup anaknya saja yang mendoakan, atau kerabat kerabatnya saja.
Misalnya dalam masyarakat Jawa, acara 7 hari menggelar dzikir fida, ya kalau tidak mampu untuk mengundang orang banyak cukup dirinya sendiri yang baca Laa ilahaillallah 70.000 kali baik itu dicicil atau langsung dan pahalanya disampaikan pada almarhum.
Kalau memang tidak mampu, ya ajak teman yang mau membantu secara sukarela, misalnya tujuh teman dan tiap orang baca 10.000 kali. Dan kalau memang mampu mengundang orang banyak juga terserah. Jadi Dzikir Fida, maupun tahlilan itu bukan biayanya tapi “La ilaha illallah” nya
Apakah selametan, tahlilan itu termasuk bid’ah?
Termasuk bid’ah hasanah, kalau mereka ngurus masalah bid’ah ya silahkan ngurus masalah sekolah yang seperti sekarang, kan pada pada zaman Nabi belum ada model sekolah seperti sekarang.
Masalah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Umar bin Khathab, atau masalah penulisan hadis pada zaman Ali Bin Abi Thalib. Dan masih banyak lagi bid’ah hasanah selain tahlilan 7 hari, 40 hari. Saya kira banyak juga orang yang anti bid’ah melakukan bid’ah itu sendiri.
Demikian wawancara Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in Kiai M Abdul Aziz Mansyur, pada 04 Mei 2013, semoga manfaat.