Kilas balik insiden Mekkah berdarah 1979 terjadi hari ini, tepatnya sudah 4 dekade dari pemberontakan kelompok ekstrimis, yang dipimpin oleh Juhayman Al-Utaybi. 21 November 1979.
Juhayman seorang pengkhotbah kharismatik, beserta 200 orang pengikutnya, mengepung kota Mekkah. Mereka, berbaur di tengah-tengah 50.000 jamaah umat Islam, ketika menunaikan salat subuh di halaman besar Masjidil Haram yang mengelilingi kabah.
Ketika imam usai memimpin salat, Juhayman dan para pengikutnya, mendorong imam ke samping, kemudian mengambil alih mikrofon.
Telah ia letakkan sebuah peti mati tertutup, yang merupakan tradisi bangsa Arab untuk mencari berkah bagi orang yang baru meninggal. Tetapi saat tutup peti dibuka, mereka mengeluarkan senjata dan senapan laras panjang, yang dengan cepat didistribusikan di antara para lelaki.
Salah satu dari mereka, kemudian mulai membacakan sebuah pidato:
“Rekan-rekan Muslim, kami mengumumkan hari ini kedatangan Mahdi yang akan memerintah dengan keadilan dan keadilan di bumi setelah dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan.”
Bagi para jamaah, hal ini merupakan suatu pengumuman yang luar biasa. Juhayman adalah pendiri Al-Jamaa Al-Salafiya Al-Muhtasiba (JSM) dari Sajir, sebuah pemukiman suku Badui di pusat Saudi.
Ia pernah terlibat dalam perdagangan ilegal, termasuk penyelundupan narkoba, menurut salah satu pengikut dekatnya, Usama Al-Qusi.
Kemudian, ia telah bertobat, dan mempelajari agama, lalu menjadi pemimpin yang bersemangat dan berbakti, setelah itu banyak pengikut di organisasi yang ia dirikan, yaitu JSM, terutama mereka yang berusia muda.
Ia meyakini bahwa Arab Saudi telah rusak, hanya intervensi surgawi yang dapat membawa keselamatan. Pada titik inilah ia mengidentifikasi Mahdi sebagai Mohammad Bin Abdullah Al-Qahtani, seorang pengkhotbah muda yang bersuara lembut yang dikenal karena tata krama, pengabdian, dan puisi yang baik.
Dalam rekaman audio pidato Juhayman, ia terdengar menginterupsi pembicara dari waktu ke waktu, untuk mengarahkan pengikutnya, supaya menutup gerbang masjid, lalu mengambil posisi sebagai penembak jitu pada bagian atas menara, yang kala itu mendominasi kota Mekkah.
”Perhatian saudara-saudara! Ahmad Al-Lehebi, naik ke atap. Jika Anda melihat seseorang menolak di gerbang, tembak mereka!”.
Tak pandang bulu, teriakan Juhayman kepada anak buahnya menciutkan nyali para sandera. Melihat banyaknya jamaah dibawah kendali orang bersenjata, di ruang yang Al-Quran dengan tegas melarang adanya kekerasan, bukanlah hal yang wajar bagi salah seorang saksi mata.
Abdel Moneim Sultan, seorang mahasiswa yang berada di lokasi saat itu.mengatakan:
“Semua terkejut melihat orang-orang bersenjata. Ini adalah sesuatu yang tidak biasa mereka lakukan. Tidak ada keraguan ini membuat mereka, ngeri. Ini sesuatu yang keterlaluan,” tuturnya.
Kilas balik insiden Mekkah mengingatkan kembali suara keras tembakan, disusul dengan para jamaah yang lari tunggang langgang menuju pintu yang dibiarkan terbuka.
Tetapi hanya berlangsung satu jam, pengepungan keji itu selesai. Kelompok bersenjata Ultra-Konservatif Suni ini, melabeli dirinya dengan nama JSM yang kemudian memunculkan ancaman langsung ke otoritas keluarga kerajaan Saudi.
Kelompok ini mengutuk, apa yang mereka sebut dengan degenerasi nilai sosial dan agama di Arab Saudi. Tanah Saudi berjulukan Petro Dollar, dibanjiri dengan besarnya laba negara, dari hasil tambang minyak yang perlahan mengubah pola hidup masyarakatnya menjadi konsumerisme, dan tersulut api urbanisasi.
Meskipun begitu, tidak mengubah anggota JSM untuk tetap hidup dengan berdakwah, tetap pada akidah-akidah Islamiyah dan hadis nabi, sebagaimana telah didefinisikan oleh lembaga Keagamaan Arab Saudi.
Reaksi pemerintah Arab Saudi begitu lamban terhadap insiden ini, Putra Mahkota Fahd bin Abdulaziz Al-Saud berada di Tunisia, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab, dan Pangeran Abdullah, kepala Garda Nasional – pasukan keamanan elit, yang bertugas melindungi para pemimpin kerajaan – berada di Maroko.
Insiden itu, kemudian diserahkan kepada Raja Khaled dan Menteri Pertahanan, Pangeran Sultan yang sedang sakit untuk mengoordir tanggapan.
Polisi Arab Saudi yang gagal memahami situasi lapangan, terlanjur mengirim beberapa pasukan ke Masjid Haram untuk penyelidikan. Akibatnya, begitu mereka tiba, disambut dengan hujan peluru dari kelompok tersebut.
Setelah kondisi dipahami dengan jelas, unit Garda Nasional Arab meluncurkan upaya tergesa-gesa, guna merebut kembali kendali Masjidil Haram. Sebuah armada keamanan, didirikan di sekitar Masjidil Haram, dan pasukan khusus serta pasukan terjun payung, pasukan baja turut mengisi barisan.
”Saya melihat tembakan artileri diarahkan ke menara, dan saya melihat helikopter melayang-layang di udara, dan saya juga melihat pesawat militer,” kenang saksi kilas balik insinden Mekkah, Abdel.
Menurut Abdel, tembakan kian meningkat sejak tengah hari pada hari kedua. Keterangannya ini karena Ketika itu terperangkap dalam tragedi Mekkah berdarah itu.
Kemudian, dua hari berikutnya, Arab Saudi mengirimkan serangan frontal. Dengan tujuan, membuka celah untuk masuk kedalam Masjidil Haram, tapi digagalkan oleh musuh.
Mereka terus menerus memukul mundur serangan Saudi, gelombang demi gelombang pasukan. Walaupun Juhayman dan anggotanya kalah dari sisi jumlah pasukan dan senjata.
Dengan cerdiknya, pemberontak membuat kobaran api dari karpet dan ban bekas. Supaya mengepul asap tebal, demi membatasi pandangan tentara Saudi. Mereka sembunyi di balik tiang, dan menyerang bertubi-tubi dari kegelapan. Bangunan suci itu, kemudian menjadi ladang pembantaian, dengan terus meningkatnya korban jiwa.
Dalam insiden Mekkah ini setidaknya ada 153 jamaah tewas dan 560 lainnya terluka setelah petugas keamanan Arab Saudi yang dibantu tentara Perancis mencoba membebaskan Masjidil Haram yang disandera sekelompok militan
“Ini adalah konfrontasi satu lawan satu, dalam ruang terbatas,” kata Mayor Mohammad Al-Nufai, komandan pasukan khusus Kementerian Dalam Negeri.
Sungguh mustahil bila dibayangkan, peluru begitu leluasa melesat dari kanan dan kiri, di dalam Masjidil Haram, tapi ini adalah realita.
Seiringan dengan situasi yang kian sulit dipercaya, ulama utama kerajaan Arab mengeluarkan fatwa, yang diprakarsai oleh Raja Khaled, yaitu memperbolehkan militer Saudi supaya menggunakan kekuatan apa pun untuk mengusir pemberontak.
Kemudian rudal yang diluncurkan untuk menghempas pemberontak dari menara dan pasukan lapis baja untuk menembus gerbang dikerahkan saat itu juga.
“Saya melihatnya dengan dua luka kecil di bawah matanya, dan bajunya penuh dengan lubang-lubang akibat tembakan,” kata Abdel.
Namun, keyakinan Qahtani tidak berlandaskan apapun, sehingga ia diserang oleh tembakan. Seketika itu, Imam Mahdi yang diyakini oleh Juhayman itu diserang.
Ketika ia diserang, orang-orang mulai berteriak:
‘Mahdi terluka, Mahdi terluka!’
Beberapa mencoba berlari ke arahnya untuk menyelamatkannya, tetapi api yang tebal mencegah mereka untuk melakukan hal itu, dan mereka harus mundur,” kata saksi anonim.
Mereka memberitahu Juhayman bahwa Mahdi terluka, tapi ia menyatakan ini kepada pengikutnya: “Jangan percaya mereka. Mereka adalah desertir!”
Menginjak hari ke enam, barulah pasukan Arab Saudi, bisa menguasai halaman masjid beserta bangunan sekitarnya.
Namun nahas, sisa pemberontak itu, mundur ke bagian labirin-labirin bawah tanah. Juhayman meyakini bahwa Mahdi itu masih hidup, di suatu tempat dalam bangunan itu.
Semakin tidak kondusif, situasi di sana kian mengerikan. “Bau kematian dan luka-luka yang membusuk mengepung kami,” kata seorang saksi anonim.
Disusul dengan minimnya ketersediaan air, sejak para sisa komunis ikut menjarah persediaan air mereka. Pemerintah Arab kemudian memutar otak, dengan meminta bantuan kepada pihak Perancis.
Valéry Giscard d’Estaing, mengatakan bahwa pasukan Arab tidak terorganisir dengan baik dan tidak tahu bagaimana bereaksi.
Giscard kemudian, diam-diam mengirim tiga penasihat dari unit kontra-teror yang baru dibentuk, Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale (GIGN). Operasi harus tetap rahasia, untuk menghindari kritik terhadap intervensi Barat di tempat kelahiran Islam.
Tim itu, menyusun rencana dengan mengisi seluruh celah udara di lokasi dengan gas, supaya udara tidak dapat dihirup. Setiap lubang akan digali 50 meter agar bisa mencapai tempat target bersembunyi. Dan akan dibantu dengan granat untuk menyebarkan gas di setiap sudut.
“Perasaan itu seolah-olah kematian telah datang kepada kami, karena Anda tidak tahu apakah ini suara menggali atau senapan, itu adalah situasi yang menakutkan,” kata salah satu saksi.
Bagi para sandera, di situasi tersebut rasanya dunia akan segera berakhir. Kabar baiknya, rencana Perancis berhasil. Dalam dua hari terakhir, Juhayman kehabisan amunisi dan makanan, menurut salah satu pengikutnya.
Saat mereka berkumpul dalam satu ruangan sempit, saat itulah tentara Perancis melemparkan bom gas, dan Juhayman pergi lalu mereka mengikuti. Saat itulah mereka menyerah.
Tak lama, Mayjend Nufai, menyaksikan pertemuan antara pangeran Saudi dan Juhayman yang tertegun tetapi tidak menyesali peruatannya:
“Pangeran Saud Al-Faisal bertanya kepadanya: ‘Mengapa Juhayman?’ Dia menjawab: ‘Ini hanya takdir.’ ‘Apakah kamu membutuhkan sesuatu?’ Dia hanya mengatakan: ‘Saya ingin air’.
Juhayman diarak di depan kamera, setelahnya 63 pemberontak dieksekusi di 8 kota Saudi Arabia. Juhaymanlah yang pertama mati.
Juhayman adalah tokoh radikalisme terhadap otoritas Saudi Arabia yang bereaksi pada modernitas. Salah satu yang ia minta dari pemerintah Saudi ialah, dihapusnya presenter TV. Kemudian setelah insiden Masjidil Haram itu, tidak ada lagi presenter perempuan muncul di televisi.
Oleh: Naffisa