• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Sejarah Penamaan Hari dan Mitologi

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-12-26
in Kolom Pakar
0
Sejarah Penamaan Hari dan Mitologi

Sejarah Penamaan Hari dan Mitologi (ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sejarah penamaan hari menurut Prof Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban (sebuah telaah kritis tentang keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan) saat era kaitannya dengan mitologi halaman XXXVIII.

Setelah pendeta kawasan Mesopotamia kuno mengetahui benda-benda langit maka timbul menyembah benda-benda langit. Dari sana pula timbul konsep hari tujuh, sebagai akibat praktik menyembah satu tuhan satu hari.

Nama-nama hari yang tujuh dikaitkan dengan nama-nama “tuhan” atau “dewa” yang ada di langit seperti hari matahari, hari rembulan, hari Mars, hari Merkurius, hari Jupiter, hari Venus, dan hari Saturnus.

Selanjutnya, karena dari semua benda langit itu matahari adalah yang paling mengesankan (sebagai apa yang disebut oleh Rudolph Otto dalam sosiologi agama memiliki unsur-unsur mysterium tre-mendum et fascinans yang paling utama).

Maka timbul pula kepercayaan yang hampir universal bahwa matahari merupakan dewa tertinggi atau utama, dengan bermacam-macam sebutan seperti Ra, Zeus, Indra, dan seterusnya.

Di kalangan bangsa-bangsa Semit juga terdapat praktik pemujaan matahari sebagai dewa Syamas atau Syams, sehingga ada seorang tokoh suku Quraisy di Makkah sebelum Islam yang bernama Abdu-Syams (Hamba Dewa Matahari).

Oleh karena itu, dalam bahasa Portugis dan Spanyol, hari pertama yaitu “Hari Matahari”, disebut “Hari Tuhan” (Domingo, yang memberi kita nama “Hari Minggu yang sebenarnya redundant, karena “minggu sendiri sudah berarti “hari”).

Semuanya itu dengan jelas menunjukkan adanya sisa-sisa praktik penyembahan matahari. Jadi hari yang tujuh itu adalah suatu sisa dari praktik kekafiran, syirik, atau paganisme. Namun, mengapa kita sekarang meng gunakannya tanpa halangan apapun?

Apakah tidak berarti bahwa kita mendukung suatu paham yang jelas-jelas keliru dan menyesatkan? Padahal mendukung kesesatan berarti ikut menanggung “dosa” kesesatan itu sendiri!

Dari persoalan sejarah penamaan hari yang tujuh itu dapat diperoleh gambaran yang relevan sekali untuk persoalan kita sekarang ini.

Penggunaan hari yang tujuh bekas kekafiran itu oleh bangsa-bangsa seluruh du- nia, termasuk bangsa-bangsa Muslim, tidak lagi mengandung perso alan dan sepenuhnya dapat diterima atau dibenarkan, karena konsep hari yang tujuh itu telah terlebih dahulu mengalami proses demi-

Hari ketujuh dinamakan Sabtu, karena menurut Genesis dalam Kitab Perjanjian Lama, pada hari itu Tuhan telah rampung menciptakan alam raya seisinya, kemudian “istirahat toral”.

Karena itu, manusia pun, sepanjang , harus istirahat total pula, sebagaimana sekarang ini dipraktikkan oleh kaum Yahudi.

Karena itu dalam konsep hari “Sabar” menurut agama Yahudi itu sebenarnya masih terkandung unsur mitologi.

Kaum Yahudi fundamentalis benar-benar percaya bahwa pada hari itu Tuhan istirahat total, sehingga mereka pun istirahat total, sampai-sampai banyak dari mereka yang bahkan menghidupkan televisi pun tidak mau dan harus meminta orang lain yang bukan Yahudi untuk melakukannya!

Dari tradisi Arab, nama “Sabtu” untuk hari ketujuh tetap berta- han dalam Islam. Namun, sesuai dengan penegasan dalam Al-Qur’an (Q 16:124), nama itu tidak lagi mengandung nilai kesakralan dalam Islam.

Apalagi jika diingat bahwa kata-kata Ibrani “syabat” juga boleh jadi sekadar cognate kata-kata Arab “sab’ah” atau “sab’at-un”, sebagaimana ia juga boleh juga sekadar cognate kata-kata Indo-Eropa “sapta”, “sieben”, “seven”, “sept”, dan seterusnya, yang semuanya berarti “tujuh”.

Agama Kristen, setelah melewati perjalanan pertumbuhan yang cukup panjang, meninggalkan konsep hari “Sabar” dan mengganti hari sucinya ke hari Ahad, hari pertama.

Telah kita ketahui bahwa hari pertama ini adalah bekas “Hari Matahari” (Inggris: Sunday). Juga telah kita bicarakan, bahwa karena matahari adalah benda la- ngit yang paling hebat, maka tumbuh kultus kepadanya sebagai dewa utama, sehingga hari itu pun juga dinamakan “Hari Tuhan” atau “Do-Mingo”.

Maka banyak kalangan sarjana Kristologi yang berpendapat bahwa pengalihan hari suci Kristen (yang tumbuh dari tradisi Yahudi) dari Sabtu ke Minggu masih mengandung unsur sisa kultus kepada matahari.

Jadi proses demitologisasi oleh agama (mo noteis) Yahudi dan (trinitarianis) Kristen terhadap konsep hari yang tujuh sebagai sisa kekafiran itu belum runtas.

Yang menuntaskan proses demitologisasi hari yang tujuh itu ialah Islam, dengan menjadikan hari sucinya hari keenam dan dinamakan “Hari Berkumpul” (Yawm al-Jumu’ah), yakni hari kaum Muslimin berkumpul di masjid untuk menunaikan sembahyang tengah hari dalam jama’ah.

Cara penamaan hari itu sebagai “Hari Berkumpul”, berbeda dari cara penamaan “Sabtu” dan “Domingo”, menunjukkan orientasi yang lebih praktis, fungsional dan bebas dari mitologi.

Apalagi Islam pun tidak mangajarkan bahwa hari Jum’at adalah hari istirahat. Yang ada ialah ajaran bahwa pada saat azan sembahyang Jum’at dikumandangkan, kaum Muslim hendaknya meninggalkan pekerjaan masing-masing dan bergegas menuju tempat sembahyang untuk bersama-sama mengingat Tuhan.

Namun, setelah selesai dengan sembahyang itu hendaknya mereka “menyebar di bumi dan mencari kemurahan Tuhan”, yakni kembali bekerja mencari nafkah (Q 62:9-10).

Tags: Cak NurGus DurislamTebuireng
Previous Post

Sumur Ghars dalam Wasiat Nabi

Next Post

Pendapat Erdogan Tentang Ronaldo

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Pendapat Erdogan Tentang Ronaldo

Pendapat Erdogan Tentang Ronaldo

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Mubeng Beteng, Tradisi Masyarakat Yogyakarta Memasuki Bulan Muharam
  • Jalanan dan Kaitannya dengan Karakter
  • Santri Ikuti Seleksi CBT MQKN 2025, Tujuh Kode Ujian Catat Skor Sempurna
  • Serangan Iran Dinilai Jadi Babak Baru dalam Sejarah Israel
  • Ferry Irwandi: Logical Fallacy Argumen Gus Ulil

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng