tebuireng.co – Resensi buku Nalar Kritis Muslimah, Refleksi atas Keperempuan, Kemanusiaan, dan Keislaman sebagai alternatif pemikiran yang bisa dibaca oleh pemerti isu perempuan dan Islam.
Penulisnya adalah Nur Rofiah, seorang perempuan yang konsisten dengan isu perempuan dan Islam. Sebagai alumni pesantren, Nur Rofiah punya nafas panjang dalam isu perempuan.
Resensi buku ini setidaknya bisa menjadi awal untuk mengetahui isi dari buku yang sudah dicetak cukup banyak ini.
Lewat kumpulan status yang diunggah di beragam media sosial (medsos): Facebook, Instagram, dan Twitter, Nur Rofiah menyampaikan gagasan yang kadang tiba-tiba muncul agar tidak hilang.
Tulisannya pendek, bahasa lugas dan kontekstual. Guna mempermudah para pemerhati isu perempuan, penulis merangkumnya dalam sebuah buku.
Kumpulan tulisan Rofiah berisi kritik sosial yang keras dan pedas atas budaya patriarkhi yang masih melingkupi masyarakat Indonesia. Isi buku tersebut ditulis dalam rentan waktu cukup panjang, mulai Juni 2013-Februari 2020.
Resensi buku menjadi pengantar saja, karena sebaik apapun resensi buku yang ada tidak akan bisa mewakili semua isi buku penulisnya.
Nalar Kritis Muslimah adalah sebuah buku yang mengguncang batin siapapun yang membacanya. Apalagi penulis adalah seorang alumni Pesantren Khoiriyah Hasyim, Seblak, Tebuireng.
Sangat mencengangkan, penulis bisa membahas isu-isu perempuan yang krusial dan kontroversial dibahas secara cerdas, kritis, dan mencerahkan.
Kadang penulis membahas yang sangat menarik dan kebutuhan perempuan, seperti dalam sistem patriarki perempuan mengalami ketidakadilan semata-mata karena menjadi perempuan.
Masyarakat harusnya melihat perempuan secara biologis dan sosial. Karena perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Jika pria mengabaikan pengalaman ini, maka keadilan yang muncul adalah keadilan legal, formal, dan tekstual. (hal 3).
Nur Rofiah penulis buku Nalar Kritis Muslimah adalah seorang aktivis perempuan yang lahir di Pemalang. Ia pernah mendapat tugas mempersiapkan metode studi Islam keulamaan perempuan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia pada tanggal 25-27 April 2017 di Cirebon.
Kelahiran buku ini diilhami dari pengalamannya selama aktif di berbagai organisasi keagamaan, Fatayat, Alimat, Rahima dan aktif memberikan materi gender di tingkat nasional maupun internasional.
Melalui Nalar Kritis Perempuan, Rofiah mengisahkan liku-liku permasalahan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Ia membagi buku ini menjadi empat bagian.
Bagian pertama membahas “Agama untuk perempuan,” kedua yaitu “Memahami yang transenden,” dan ketiga “Kemanusian sebelum keberagaman.” Bagian terakhir berisi serpihan renungan.
Penulis dalam tulisan berjudul “Kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Al-Qu’ran” halaman 31 mengkritik perlakuan pada perempuan yang tidak manusiawi.
Zaman dahulu, perempuan acapkali menerima kekerasan fisik, dijadikan jamuan, diwariskan, jaminan utang dan hadiah bagi tamu.
Padahal dalam surat Al-Hujarat ayat 49, Allah menegaskan jati diri perempuan sebenarnya juga manusia dan faktor yang menentukan kemulian seseorang di hadapan Allah bukan jenis kelamin tapi takwanya.
“Perempuan yang bertakwa tentu saja lebih mulia dari lelaki yang tidak bertakwa. Penegasan ini diikuti dengan penegasan lainnya, yaitu perempuan bisa beribadah, dapat pahala, dan masuk surga. Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban mandat sebagai khalifah fil ardh.” (hal 32).
Rofiah menggambarkan situasi khas patriakhis dalam kehidupan manusia, sejarah panjang umat manusia seringkali perempuan mendapatkan kekerasan karena ia perempuan.
Sesuatu yang jarang dialami oleh laki-laki. Islam datang menjelaskan kepastian kedudukan perempuan. Perempuan dibahas begitu banyak dalam Alquran dan salah satu surat di tulis dengan nama “An-Nisa.”
Selama kurang lebih 23 tahun, Islam merubah pandangan masyarakat Arab dan dunia tentang perempuan. Islam memandang perempuan tak beda dengan laki-laki, peran perempuan diakui oleh Islam.
Hal ini penting, karena perempuan bisa mengalami stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena ia perempuan.
Penulis menegaskan, dalam pandangan tauhid seorang manusia hanya boleh tunduk pada Allah SWT. Ini pemikiran revolusioner, karena efeknya perempuan tidak wajib tunduk pada sesama manusia.
Tauhid menandakan anti budaya patriarki. “Islam mendobrak relasi ini dan menegaskan bahwa perempuan bukan hamba laki-laki, sebab keduanya sama-sama memiliki status melekat sebagai hanya hamba Allah SWT.” (hal 51).
Dari sini, penulis ingin menunjukkan bahwa laki-laki bukan ukuran kebenaran seorang perempuan. Hal yang baik menurut lelaki belum tentu baik untuk perempuan. Harus melihat aspek biologis dan sosial perempuan dulu.
Secara ringkas, menurut penulis, penegasan Islam atas kemanusian perempuan meliputi empat hal. Pertama, Islam menegaskan kedudukan perempuan sebagai subjek penuh dalam sistem kehidupan.
Kedua, sebagai sesama manusia, laki-laki dan perempuan sama-sama hamba Allah SWT serta mengembankan amanah sebagai khalifah fil ardh.
Ketiga, sebagai sesama subjek penuh sistem kehidupan, laki-laki dan perempuan sama-sama mesti bekerja sama mewujudkan kemaslahatan dan menikmatinya.
Keempat, Islam menegaskan bahwa laki-laki bukanlah standar kemaslahatan perempuan. Sehingga pengalaman biologis perempuan seperti haid, hamil, melahirkan dan menyusui layak dipertimbangkan dalam kemaslahatan Islam meskipun tidak dialami laki-laki.
Rofiah juga mengupas secara konsep, Islam sudah menjelaskan memberikan kedudukan pada perempuan. Menurutnya penafsiran tokoh Islam tentang ayat Al-Qur’an membuat makna ayat bias.
Parahnya tafsir Al-Qur’an dianggap sebagai Alquran itu sendiri. Padahal, tafsir adalah pemahaman seseorang tentang Al-Qur’an yang tergantung kapasitas ilmu dan pengalaman pribadinya.
Penulis memasukkan pendapat Profesor Komaruddin Hidayat tentang citra perempuan ideal menurut Al-Qur’an tidak sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah Islam.
Citra ideal perempuan menurut Al-Qur’an ialah mempunyai kemandirian politik (Q.S. Al-Muntahanah (60): 12) dan (Q.S Al-Naml (27): 23). Selanjutnya, perempuan memiliki kemandirian ekonomi (Q. S. An-Nahl (16): 97) dan (Q. S Al-Qashah (28): 23).
Perempuan ideal selanjutnya miliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya (Q.S al-Tahrim (66): 12) dan (an-Nisa (4):5). (Hal 22-23).
Sebutan perempuan sebagai tiang negara sering dimaknai dengan cara tidak adil, yakni perempuan adalah penyangga tunggal moralitas bangsa. Ujung-ujungnya sebuah persoalan bangsa, perempuanlah yang paling bertanggung jawab.
Semisal, mengapa banyak koruptor di negeri ini? Karena perempuan boros dan hobi foya-foya.
Mengapa banyak perkosaan di negeri ini? Karena perempuan pakaiannya seksi, keluar malam dan lain-lainya.
Begitu juga terjadi KDRT di keluarga yang disalahkan perempuan karena tidak taat suami. Tidak perlu dicek apakah suaminya layak ditaati dan tidak.
Berangkat dari sini, Rofiah menegaskan penyebutan perempuan sebagai tiang negara adalah peringatan keras bagi siapapun, terutama bagi orang yang diberikan amanah mengelola negara agar memastikan perempuan menjadi warga negara yang kuat, dilindungi haknya dan diberikan kesempatan belajar.
“Ingin negara maju? Jangan biarkan perempuan sebagai tiangnya terbelakang dan terus mundur. Sertakan mereka dalam derap kemajuan bangsa. Dorong mereka sekolah setinggi-tingginya agar bersama dengan laki-laki dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dan memberi manfaat seluas-luasnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” (Hal 101)
Sebagai seorang feminis, Rofiah menyadari bahwa dalam budaya patriarkhi perempuan selalu dipandang sebagai sosok liyan. Kejantan diukur oleh sekuat apa seseorang bisa menyalurkan syahwat seksualnya.
Sementara kesucian diukur oleh utuh tidaknya alat kelamin secara fisik. Dalam pandang seperti ini, laki-laki dibuat terobsesi untuk menaklukkan sebanyak mungkin perempuan supaya dianggap jantan.
Sebaliknya, perempuan dituntut untuk mempunyai selaput dara seutuh mungkin sebagai bukti kesucian. Tuntunan Islam terkait relasi selalu menyasar pada dua pihak. Misalnya, rakyat diminta taat, tapi pengusa juga diminta adil.
Bila dikaitkan dengan hubungan lelaki dan perempuan, semua pihak diminta aktif keduanya. Sesuai Al-qur’an Surat At-Taubah (9): 7.
Ketika cara pandang seseorang pada lawan jenis hanya sebatas makhluk seksual, interaksi pun menjadi sebatas pejantan dan betina. Karenanya, fajri menjadi sulit dijaga.
Selama ini, relasi timpang gender kerso menempatkan perempuan sebagai minoritas dalam forum pengambilan keputusan, meskipun secara jumlah mereka mayoritas.
Di dunia maskulin, kepentingan publik disandarkan pada perspektif laki-laki yang sejak awak dijadikan patokan kepentingan. Ini berangkat dari asumsi lelaki sebagai pencari nafkah utama. Akibatnya, kepentingan publik bisa mengabaikan kebutuhan khas perempuan.
Rofiah ingin menyadarkan bahwa pembebasan kaum perempuan dari budaya patriarkis dan belenggu sistem sosial yang ada bisa dilakukan oleh kaum perempuan dan laki-laki.
Namun terpenting, perempuan harus memulainya dari pribadinya masing-masing. Perempuan harus bisa terbebaskan dan berani menyingkap tabir pikiran mereka dari kesadaran palsu dan sikap lemah yang selama ini melekat.
Dengan kesadaran baru pada diri perempuan inilah yang membuat kaum perempuan tidak berbeda dengan kaum lelaki.
Kritik yang tajam dan pedas terhadap kebobrokan sistem politik juga bisa kita temui pada buku ini. Kita mungkin akan terheran-heran, bagaimana seorang penulis berpikir di luar umumnya perempuan. Sebagai dosen, ia menyadari bahwa ia memiliki amanah menjelaskan ke publik.
Tulisan Rofiah membongkar dunia yang penuh dusta, melihat kebohongan-kebohongan, dan mengendus kemunafikan di sekitar kita tentang banyaknya ketidakadilan yang dialami perempuan.
Ia mengaku terinspirasi oleh Nyai Khoiriyah Hasyim binti KH M Hasyim Asy’ari dalam mengangkat derajat perempuan. “Keluasaan ilmu Mbah Nyai juga tampak dalam tulisan beliau, seperti Pokok dan Pengertian antar Mazahib dan Toleransinya yang dimuat di Majalah Gema Islam pada 1962.” (Hal 202).
Alasan resensi buku ini karena memiliki kelebihan berdasarkan pengalaman pribadi penulis selama bergelut dengan isu keperempuanan.
Kekurangan dari buku ini, tulisannya terlalu pendek dan argumentasinya kurang banyak. Terutama dari pakar tafsir dan fuqoha. Kurang pendapat dari ilmu filsafat Barat dan Islam.
Demikian resensi buku ini, semoga menginspirasi dan mencerahkan. Selanjutnya inilah detail dari buku tersebut:
Judul Buku : NALAR KRITIS MUSLIMAH, Refleksi atas Keperempuanan , Kemanusian, dan Keislaman.
Penulis : Dr Nur Rofiah, Bil. Uzm.
Penerbit : Afkaruna.id
Tahun Terbit : 2020
Tebal Buku : 222 Halaman