Memandang semua hal dengan positif dan optimis memanglah baik, bahkan kita dianjurkan. Namun, adakalanya hal tersebut menjadi beracun atau toxic jika dilakukan secara berlebihan. Fenomena ini disebut dengan Positifitas Toksik (Toxic Positivity) atau positifitas yang beracun.
Positifitas toksik merupakan kondisi di mana seseorang selalu menuntut dirinya berpikir positif dan mengabaikan bahkan menyangkal emosi negatif yang dirasakan. Padahal layaknya hidup yang tidak selalu berjalan mulus, kita juga dihadapkan dengan berbagai kejadian yang mengakibatkan kita memilik emosi negatif. Jika hal ini terus dilakukan, dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental sendiri maupun orang terdekatnya.
Beberapa tanda seseorang sudah terpapar positifitas toksik adalah ia seringkali menyembunyikan perasaan sebenarnya yang sedang ia rasakan, merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negatif, dan terkesan menghindari masalah daripada menyelesaikannya.
Positivitas toksik tidak hanya dapat dirasakan oleh seseorang itu sendiri, namun juga dapat dirasakan oleh orang terdekatnya. Misalnya ketika memberi semangat kepada orang lain disertai dengan pernyataan yang seolah meremehkan, seperti “Jangan menyerah. Ini masalah kecil, masa begitu saja tidak bisa?”, ia juga seringkali memaksa orang lain untuk menolak emosi negatif dengan membandingkan dengan masalah orang lain, seperti “kamu masih beruntung, masalah kamu tidak seberapa. masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu”.
Meski mungkin kalimat positif yang dilontarkan dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri atau bentuk simpati terhadap orang lain, bukan berarti boleh mengabaikan dan menyangkal emosi negatif yang sedang dirasakan.
Dampak dari positivitas toksik yang terus dilakukan dalam jangka panjang adalah dapat menimbulkan masalah kesehatan mental seperti cemas atau sedih berkepanjangan, stres berat, gangguan tidur hingga depresi. Selain itu, dampaknya untuk orang lain adalah adanya perasaan malu dan bersalah karena emosi negatif yang dirasakannya tidak diterima.
Perilaku positivitas toksik tentu dapat dihindari. Beberapa caranya adalah dengan menyadari bahwa tidak apa-apa jika tidak baik-baik saja, realistis dengan hal yang terjadi, dan belajar mengelola emosi tanpa ada penyangkalan.
Penulis: Rindi Andriansah
Editor: Thowiroh