Hustle culture bisa didefinisikan sebagai salah satu pola yang menekankan kerja keras secara berlebihan, hal ini bisa berujung bahaya karena sering kali diiringi dengan pengabaian kebutuhan lain dalam menjalani kehidupan.
Saat ini, konsep kerja secara berlebihan tersebut banyak digemari oleh kalangan muda utamanya para generasi Z atau genzi. Mayoritas dari mereka menganggap bahwa kerja sebagai barometer dalam mengukur kesuksesan.
Para pelaku hustle culture dapat terlihat dalam kehidupan seseorang ketika ia lebih mengutamakan waktu kerja dibandingkan waktu istirahat, waktu untuk kesehatan batin, dan juga waktu untuk teman serta keluarga.
Meski dinilai sebagai jalan pintas menuju kesuksesan dan kehidupan yang mapan, budaya kerja ini memiliki dampak negative yang juga membahayakan. Salah satunya adalah efek yang tidak sehat terhadap fisik maupun mental.
Para pelaku hustle culture umumnya tidak banyak memperhatikan kebutuhan kesehatan mereka karena terlalu fokus bekerja. Tidak banyak waktu yang rela mereka luangkan hanya untuk istirahat. Padahal, kebutuhan istirahat yang tercukupi dengan baik tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik namun juga berpengaruh terhadap kesehatan mental.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Current Cardiology Reports, memunculkan data observasi dari 740.000 pekerja yang tidak memiliki penyakit kardiovaskular bawaan, ditemukan fakta bahwa mereka yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti penyakit jantung koroner.
Selain itu, dampak lain dari budaya hustle culture ini bisa menyebabkan hubungan sosial dan keluarga yang tidak sehat bahkan cenderung tidak harmonis. Â Mereka yang memilih untuk menjalankan prinsip hustle culture akan banyak mengabaikan hal-hal di sekitarnya yang tidak memiliki hubungan dengan pekerjaan.
Beberapa menganggap bahwa hustle culture ini bukan lagi disebut sebagai budaya kerja yang berlebihan akan tetapi lebih tepat disebut sebagai budaya gila kerja.
Salah satu faktor yang mendorong budaya kerja ini banyak digemari adalah karena semakin pesatnya kemajuan teknologi sehingga memungkinkan akses pekerjaan yang bisa dilakukan sepanjang waktu.
Hal ini seringkali membuat batas antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi kabur sehingga mendorong individu untuk terus bekerja tanpa henti.
Selain itu, pengaruh media sosial juga menjadi faktor utama mengapa hustle culture banyak dilakukan. Banyaknya pengguna platform digital yang sering membagikan kesuksesan dan berbagai macam kegiatan serta kesibukannya di media sosial bisa membuat budaya gila kerja tersebut dinormalisasikan dan mendorong orang lain untuk menirunya.
Sehingga penting untuk mengatur waktu untuk tidak terjebak dalam budaya hustle culture tersebut. Adanya kesadaran untuk tidak egois dalam menggunakan waktu istirahat hanya untuk bekerja juga menghindari agar tidak membanding-bandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Sebab, hal hal tersebut bisa mendorong kita untuk selalu melakukan pekerjaan yang lebih tanpa memperhatikan kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi. Â
Penulis: Thowiroh