• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Pertama Kali Kiai Saifuddin Zuhri Berjumpa Kiai Wahid Hasyim

Zainuddin Sugendal by Zainuddin Sugendal
2021-12-31
in Kebangsaan, Kiai, Kolom Pakar, Tokoh
0
Pertama Kali Kiai Saifuddin Zuhri Berjumpa Kiai Wahid Hasyim
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co– Suatu  hari,  pada  tahun  1939, Kiai Saifuddin Zuhri secara tiba-tiba menerima  sepucuk  surat. Di dalam surat tersebut tertulis di  bagian  pengirim,  nama  A. Wahid Hasyim,  Tebuireng Jombang. Menerima surat tersebut Kiai Saifuddin sempat tertegun, ia mengamati sekali  lagi  nama  si  pengirim dalam  sampul  surat  itu “tak  salah  alamatkah  ini?” gumam Kiai Saifuddin.  Baru setelah ia baca berulang-ulang alamatnya, ia menjadi yakin bahwa surat itu memang ditujukan kepadanya.

Saat itu Kiai Saifuddin Zuhri belum pernah bertemu Kiai Wahid Hasyim. Dalam buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren, KH. Saifuddin Zuhri mengaku mengenal nama  A. Wahid  Hasyim dari surat-surat kabar atau majalah-majalah yang ia baca.

Kiai Saifuddin mengenal Kiai Wahid sebagai putra dari seorang ulama besar yang amat harum namanya, K.H. Hasyim Asy’ari,  pengasuh  Pesantren  Tebuireng,  Jombang.  “Putera  Tebuireng”  ini  dikenal  pula sebagai seorang kiai muda, usianya ketika itu sekitar 25 tahun.

“Orang  yang  mengirim  surat  kepadaku  ini  belum  pernah  aku  lihat  wajahnya,  belum  pernah berhadap-hadapan.  Aku  belum  pernah berjumpa  dengannya dan dengan  sendirinya belum pernah  berkenalan.  Tetapi  namanya  telah  lama  menimbulkan  kekaguman  di  hatiku,  yaitu setelah  sering  aku  mendengar  tentang  kepribadiannya,  tentang  buah  pikirannya,  tentang tugasnya  mendampingi  ayahandanya  dalam  mengasuh  sebuah  pesantren  besar  dan terkenal,  yaitu Pesantren Tebuireng.” Ungkap Kiai Saifuddin.

Pada akhir surat itu, Kiai Wahid Hasyim menanyakan apakah benar Kiai Saifuddin dalam waktu dekat akan pergi ke Surabaya. Dan langsung dijawab oleh Kiai Saifuddin bahwa memang benar dirinya akan pergi ke Surabaya untuk menghadiri jambore Gerakan Pemuda Ansor sebagai pemimpin perutusan Jawa  Tengah. Lantas Kiai Wahid mengusulkan untuk singgah dulu di rumahnya  untuk  nantinya  pergi  bersama-sama  ke  Surabaya.  Usul itu pun langsung diterima oleh Kiai Saifuddin.

Baca juga: Mendidik Kemandirian Anak Ala Kiai Wahid Hasyim

Ketika  kereta  api  yang membawa Kiai Saifuddin tiba  di  stasiun  Jombang, Ia melihat-lihat keluar kereta dan mencari seseorang dari Tebuireng yang dalam surat akan menjemputnya. Ditelusuri dengan pandangannya, orang yang dimaksud ternyata ada.

Seorang pemuda. Kulitnya putih, tubuhnya padat berisi dan agak pendek, mengenakan jas berwarna gading dengan sarung putih bergaris-garis hijau lumut, memakai peci putih ala Nehru.

Kiai Saifuddin Zuhri segera turun dan saat kakinya menginjak lantai peron stasiun, Kiai Wahid Hasyim melihat tamunya dan langsung menyambut dengan sambutan yang hangat.

“Ahlan wa sahlan, marhaban… ahlan.. ahlan,” kata sambutan meluncur sambil menjabat tangan erat. Si tamu tidak kalah ramah menyalaminya. Keduanya baru kali itu bertemu setelah hanya bertegur sapa lewat surat. Sudah barang tentu keduanya menyebutkan nama masing-masing.

Basa-basi memperkenalkan diri sekalipun sudah tahu sama tahu. “Saifuddin Zuhri,” kata si tamu sambil terus menjabat. Orang yang menyalami membalas, “Wahid Hasyim.” Iya, dia KH. Wahid Hasyim.

Kiai Saifuddin lantas diantarkan Kiai Wahid keluar dari stasiun. Tangan Kiai Saifuddin dipegang begitu erat, seolah Kiai Wahid khawatir Kiai Saifuddin akan melarikan diri. Tangan Kiai Wahid yang lain menjinjing koper Kiai Saifuddin, ia tak mengizinkan Kiai Saifuddin membawanya sendiri.

Di sana sudah menunggu delman milik Kiai Wahid. Setelah naik dan memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya menuju Pondok Pesantren Tebuireng. Sepanjang perjalanan, Kiai Wahid bercerita banyak sekali kisah lucu di pesantren. Kiai Saifuddin mendengarnya dengan antusias dan bisa mengikis rasa letih dalam perjalanan.

Ada perasaan sungkan dan minder karena di hadapannya disadari benar adalah orang besar. Meskipun orang di hadapannya itu baru berusia sekitar 25 tahun, selisih sekitar 5 tahun lebih tua dari Kiai Saifuddin, tetapi Kiai Saifuddin sadar bahwa “Gus” yang jadi teman bicaranya adalah anak dari seorang kiai paling dihormati di tanah Jawa. Itu membuat Kiai Saifuddin tidak bisa sepenuhnya menikmati percakapan.

Entah mimpi apa Kiai Saifuddin sebelumnya, hari itu ia satu delman dengan orang yang diam-diam ia kagumi. Mendekati Pesantren Tebuireng, dalam hati penuh syukur, Kiai Saifuddin bisa diberi kesempatan mengunjungi salah satu pesantren yang termasyhur ini.

Begitu sampai, Kiai Wahid Hasyim menganjurkan Kiai Saifuddin untuk istirahat sejenak, “Minumlah dulu, nanti aku antarkan menghadap Hadratussyaikh.” Yang dimaksud tentu saja sang ayah, KH. Hasyim Asya’ari. Mendengar akan menghadap Maha Guru, suasana hati Kiai Saifuddin bercampur antara girang dan tegang. Gembira sekaligus takut.

Orang yang akan jadi legenda itu akan ia temui langsung dan berhadap-hadapan. Sudah barang tentu merasa terhormat sekali Kiai Saifuddin jadinya. Kiai Saifuddin mengakui untuk orang yang baru pertama kali bertemu dengan Hadratussyaikh, akan ada pancaran wibawa yang membuat sedikit tertekan siapa pun yang bertamu.

Pakaian yang dikenakan terlihat seperti piyama yang tak berkerah. Berwarna putih kain katun, mengenakan sarung dan sorban. Saat Kiai Saifuddin menghadap, Hadratussyaikh sedang membaca sebuah surat.

Kiai Wahid Hasyim pun mendekat. Memperkenalkan Kiai Saifuddin kepada ayahnya. Lalu keduanya terlibat pembicaraan menggunakan bahasa Arab yang bercampur bahasa Jawa. Sesekali Kiai Wahid menjawab pertanyaan Hadratus Syaikh dengan bahasa Jawa halus. Tentu bukan karena tidak mampu menjawab dengan bahasa Arab, tapi karena rasa hormat kepada orang tua sudah menjadi gerak refleks bicara Kiai Wahid.

Meski begitu, sesekali Hadratussyaikh juga menanyai Kiai Saifuddin dengan bahasa Arab. Kiai Saifuddin pun menjawabnya dengan bahasa Indonesia, mengikuti cara Kiai Wahid yang juga sesekali menjawab percakapan itu dengan bahasa Jawa halus. Artinya, dalam pembicaraan tiga orang itu, ada tiga bahasa yang digunakan oleh masing-masing. Bahasa Arab oleh Kiai Hasyim, Bahasa Indonesia oleh Kiai Saifuddin, dan Bahasa Jawa halus oleh Kiai Wahid Hasyim.

Percakapan itu pun jadi panjang. Hadratussyaikh memberitahu Kiai Saifuddin bahwa surat yang tadi dibacanya adalah dari seorang ulama terkenal di Jawa Tengah. “Sudah aku anggap sebagai guruku,” kata Kiai Hasyim kepada Kiai Saifuddin.

Kiai Saifuddin tahu sifat Kiai Hasyim, salah satunya selalu memandang ulama seangkatannya sebagai guru. Bahkan kepada teman sesama ulama yang berbeda pendapat. Surat di tangan Kiai Hasyim adalah pernyataan kiai yang -dalam bahasa Kiai Hasyim- “memarahinya” karena berbeda pendapat. Saat itu sedang ada perbedaan pendapat antara kiai tentang hukum terompet dan genderang yang akan digunakan oleh Gerakan Ansor kala baris-berbaris melakukan pawai. Sebagian kiai membolehkan, sebagian lagi mengharamkan. Dan Kiai Hasyim adalah salah satu yang berada dalam kelompok yang membolehkan.

Dan dalam bahasa Kiai Hasyim, “akan menginsafkan para guru-guruku.” Tentu saja Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Saifuddin hanya menunduk tak ingin ikut campur urusan tersebut. Padahal semua ulama di Jawa juga tahu, ketika masuk bulan Ramadan, Kiai Hasyim akan punya kelas khusus membaca kitab Al-Bukhari. Dan kiai dari seluruh pelosok Nusantara akan datang ke Tebuireng untuk mendengarkannya.

Sumber: Guruku Orang-Orang dari Pesantren oleh KH. Saifuddin Zuhri.

Baca juga: Tebuireng di Masa Kiai Wahid Hasyim

Tags: Guruku Orang-Orang dari PesantrenKiai Saifuddin ZuhriKiai Wahid Hasyim
Previous Post

Ketua PBNU: Kita Sediakan Sejuta Orang yang Bekerja Seperti Gus Dur

Next Post

Tertawa Cara Gus Dur Menyelesaikan Masalah

Zainuddin Sugendal

Zainuddin Sugendal

Next Post
Tertawa Cara Gus Dur Menyelesaikan Masalah

Tertawa Cara Gus Dur Menyelesaikan Masalah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Mubeng Beteng, Tradisi Masyarakat Yogyakarta Memasuki Bulan Muharam
  • Jalanan dan Kaitannya dengan Karakter
  • Santri Ikuti Seleksi CBT MQKN 2025, Tujuh Kode Ujian Catat Skor Sempurna
  • Serangan Iran Dinilai Jadi Babak Baru dalam Sejarah Israel
  • Ferry Irwandi: Logical Fallacy Argumen Gus Ulil

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng