tebuireng.co– Suatu hari, pada tahun 1939, Kiai Saifuddin Zuhri secara tiba-tiba menerima sepucuk surat. Di dalam surat tersebut tertulis di bagian pengirim, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang. Menerima surat tersebut Kiai Saifuddin sempat tertegun, ia mengamati sekali lagi nama si pengirim dalam sampul surat itu “tak salah alamatkah ini?” gumam Kiai Saifuddin. Baru setelah ia baca berulang-ulang alamatnya, ia menjadi yakin bahwa surat itu memang ditujukan kepadanya.
Saat itu Kiai Saifuddin Zuhri belum pernah bertemu Kiai Wahid Hasyim. Dalam buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren, KH. Saifuddin Zuhri mengaku mengenal nama A. Wahid Hasyim dari surat-surat kabar atau majalah-majalah yang ia baca.
Kiai Saifuddin mengenal Kiai Wahid sebagai putra dari seorang ulama besar yang amat harum namanya, K.H. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. “Putera Tebuireng” ini dikenal pula sebagai seorang kiai muda, usianya ketika itu sekitar 25 tahun.
“Orang yang mengirim surat kepadaku ini belum pernah aku lihat wajahnya, belum pernah berhadap-hadapan. Aku belum pernah berjumpa dengannya dan dengan sendirinya belum pernah berkenalan. Tetapi namanya telah lama menimbulkan kekaguman di hatiku, yaitu setelah sering aku mendengar tentang kepribadiannya, tentang buah pikirannya, tentang tugasnya mendampingi ayahandanya dalam mengasuh sebuah pesantren besar dan terkenal, yaitu Pesantren Tebuireng.” Ungkap Kiai Saifuddin.
Pada akhir surat itu, Kiai Wahid Hasyim menanyakan apakah benar Kiai Saifuddin dalam waktu dekat akan pergi ke Surabaya. Dan langsung dijawab oleh Kiai Saifuddin bahwa memang benar dirinya akan pergi ke Surabaya untuk menghadiri jambore Gerakan Pemuda Ansor sebagai pemimpin perutusan Jawa Tengah. Lantas Kiai Wahid mengusulkan untuk singgah dulu di rumahnya untuk nantinya pergi bersama-sama ke Surabaya. Usul itu pun langsung diterima oleh Kiai Saifuddin.
Ketika kereta api yang membawa Kiai Saifuddin tiba di stasiun Jombang, Ia melihat-lihat keluar kereta dan mencari seseorang dari Tebuireng yang dalam surat akan menjemputnya. Ditelusuri dengan pandangannya, orang yang dimaksud ternyata ada.
Seorang pemuda. Kulitnya putih, tubuhnya padat berisi dan agak pendek, mengenakan jas berwarna gading dengan sarung putih bergaris-garis hijau lumut, memakai peci putih ala Nehru.
Kiai Saifuddin Zuhri segera turun dan saat kakinya menginjak lantai peron stasiun, Kiai Wahid Hasyim melihat tamunya dan langsung menyambut dengan sambutan yang hangat.
“Ahlan wa sahlan, marhaban… ahlan.. ahlan,” kata sambutan meluncur sambil menjabat tangan erat. Si tamu tidak kalah ramah menyalaminya. Keduanya baru kali itu bertemu setelah hanya bertegur sapa lewat surat. Sudah barang tentu keduanya menyebutkan nama masing-masing.
Basa-basi memperkenalkan diri sekalipun sudah tahu sama tahu. “Saifuddin Zuhri,” kata si tamu sambil terus menjabat. Orang yang menyalami membalas, “Wahid Hasyim.” Iya, dia KH. Wahid Hasyim.
Kiai Saifuddin lantas diantarkan Kiai Wahid keluar dari stasiun. Tangan Kiai Saifuddin dipegang begitu erat, seolah Kiai Wahid khawatir Kiai Saifuddin akan melarikan diri. Tangan Kiai Wahid yang lain menjinjing koper Kiai Saifuddin, ia tak mengizinkan Kiai Saifuddin membawanya sendiri.
Di sana sudah menunggu delman milik Kiai Wahid. Setelah naik dan memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya menuju Pondok Pesantren Tebuireng. Sepanjang perjalanan, Kiai Wahid bercerita banyak sekali kisah lucu di pesantren. Kiai Saifuddin mendengarnya dengan antusias dan bisa mengikis rasa letih dalam perjalanan.
Ada perasaan sungkan dan minder karena di hadapannya disadari benar adalah orang besar. Meskipun orang di hadapannya itu baru berusia sekitar 25 tahun, selisih sekitar 5 tahun lebih tua dari Kiai Saifuddin, tetapi Kiai Saifuddin sadar bahwa “Gus” yang jadi teman bicaranya adalah anak dari seorang kiai paling dihormati di tanah Jawa. Itu membuat Kiai Saifuddin tidak bisa sepenuhnya menikmati percakapan.
Entah mimpi apa Kiai Saifuddin sebelumnya, hari itu ia satu delman dengan orang yang diam-diam ia kagumi. Mendekati Pesantren Tebuireng, dalam hati penuh syukur, Kiai Saifuddin bisa diberi kesempatan mengunjungi salah satu pesantren yang termasyhur ini.
Begitu sampai, Kiai Wahid Hasyim menganjurkan Kiai Saifuddin untuk istirahat sejenak, “Minumlah dulu, nanti aku antarkan menghadap Hadratussyaikh.” Yang dimaksud tentu saja sang ayah, KH. Hasyim Asya’ari. Mendengar akan menghadap Maha Guru, suasana hati Kiai Saifuddin bercampur antara girang dan tegang. Gembira sekaligus takut.
Orang yang akan jadi legenda itu akan ia temui langsung dan berhadap-hadapan. Sudah barang tentu merasa terhormat sekali Kiai Saifuddin jadinya. Kiai Saifuddin mengakui untuk orang yang baru pertama kali bertemu dengan Hadratussyaikh, akan ada pancaran wibawa yang membuat sedikit tertekan siapa pun yang bertamu.
Pakaian yang dikenakan terlihat seperti piyama yang tak berkerah. Berwarna putih kain katun, mengenakan sarung dan sorban. Saat Kiai Saifuddin menghadap, Hadratussyaikh sedang membaca sebuah surat.
Kiai Wahid Hasyim pun mendekat. Memperkenalkan Kiai Saifuddin kepada ayahnya. Lalu keduanya terlibat pembicaraan menggunakan bahasa Arab yang bercampur bahasa Jawa. Sesekali Kiai Wahid menjawab pertanyaan Hadratus Syaikh dengan bahasa Jawa halus. Tentu bukan karena tidak mampu menjawab dengan bahasa Arab, tapi karena rasa hormat kepada orang tua sudah menjadi gerak refleks bicara Kiai Wahid.
Meski begitu, sesekali Hadratussyaikh juga menanyai Kiai Saifuddin dengan bahasa Arab. Kiai Saifuddin pun menjawabnya dengan bahasa Indonesia, mengikuti cara Kiai Wahid yang juga sesekali menjawab percakapan itu dengan bahasa Jawa halus. Artinya, dalam pembicaraan tiga orang itu, ada tiga bahasa yang digunakan oleh masing-masing. Bahasa Arab oleh Kiai Hasyim, Bahasa Indonesia oleh Kiai Saifuddin, dan Bahasa Jawa halus oleh Kiai Wahid Hasyim.
Percakapan itu pun jadi panjang. Hadratussyaikh memberitahu Kiai Saifuddin bahwa surat yang tadi dibacanya adalah dari seorang ulama terkenal di Jawa Tengah. “Sudah aku anggap sebagai guruku,” kata Kiai Hasyim kepada Kiai Saifuddin.
Kiai Saifuddin tahu sifat Kiai Hasyim, salah satunya selalu memandang ulama seangkatannya sebagai guru. Bahkan kepada teman sesama ulama yang berbeda pendapat. Surat di tangan Kiai Hasyim adalah pernyataan kiai yang -dalam bahasa Kiai Hasyim- “memarahinya” karena berbeda pendapat. Saat itu sedang ada perbedaan pendapat antara kiai tentang hukum terompet dan genderang yang akan digunakan oleh Gerakan Ansor kala baris-berbaris melakukan pawai. Sebagian kiai membolehkan, sebagian lagi mengharamkan. Dan Kiai Hasyim adalah salah satu yang berada dalam kelompok yang membolehkan.
Dan dalam bahasa Kiai Hasyim, “akan menginsafkan para guru-guruku.” Tentu saja Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Saifuddin hanya menunduk tak ingin ikut campur urusan tersebut. Padahal semua ulama di Jawa juga tahu, ketika masuk bulan Ramadan, Kiai Hasyim akan punya kelas khusus membaca kitab Al-Bukhari. Dan kiai dari seluruh pelosok Nusantara akan datang ke Tebuireng untuk mendengarkannya.
Sumber: Guruku Orang-Orang dari Pesantren oleh KH. Saifuddin Zuhri.
Baca juga: Tebuireng di Masa Kiai Wahid Hasyim