tebuireng.co – Mendidik kemandirian anak di dalam rumah tangga memiliki seni sendiri. Para ulama dan kiai pesantren banyak mengajarkan banyak hal terkait mendidik anak kepada santri khususnya dan utamanya bagi masyarakat umum.
Tokoh-tokoh tersebut mendidik mulai cara menerima dan memuliakan tamu, berkomunikasi, membentuk kepirbadian sang anak, dan lainnya.
Dalam hal ini, salah satu potret keluarga kiai pesantren yang menarik dijadikan teladan adalah keluarga KH Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Terkhusus hal mendidik kemandirian sang anak dalam lingkungan keluarga.
Merujuk buku “Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim karya Abubakar Atjeh,” dijelaskan menurut Kiai Wahid penting melatih anaknya untuk terbiasa menggunakan tenaga dan kemampuannya sendiri sejak dini. Penting di sini maksudnya supaya di kemudian hari sang anak menjadi anak yang mandiri tidak menjadi beban bagi orangtuanya.
KH Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Solicah merupakan sosok orangtua yang hebat dalam mendidik putra-putrinya. Bukan hanya anak kandungnya yang menjadi anak hebat dikemudian hari, banyak anak muda binaannya yang hebat.
Misalnya, anak muda binaan KH Abdul Wahid Hasyim yang di kemudian hari menjadi tokoh hebat adalah, KH Idham Chalid, KH Saefuddin Zuhir, KH Ahmad Siddik.
Putra pertama KH Abdul Wahid Hasyim adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid), sepak terjangnya yang diketahui masyarakat luas yaitu menjadi tokoh hebat di zamannya.
Selain cerdas sejak kecil, Gus Dur pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Presiden keempat Indonesia. Bahkan, hingga kini nama Gus Dur masih sangat harum dan jamaahnya mengakar kuat di masyarakat Indonesia.
Kemudian putri Kiai Hasyim yaitu Nyai Asiyah Baidlowi, Mantan Ketua Muslimat NU sebelum Khofifah Indar Parawansa, Politisi Partai Golkar, dan Aktivis perempuan.
Selanjutnya, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), putra Kiai Hasyim ini menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng ketujuh yang mampu menjadikan pesantren peninggalan kakeknya KH M Hasyim Asy’ari berkembang pesat.
Gus Sholah juga sangat menggandurngi mata pelajaran Berhitung sejak dibangku sekolah. Dari dua orang laki-laki dan satu putrinya tersebut sudah terlihat memukau, betapa keluarga pasangan di atas luar biasa, berhasil melahirkan putra-putri yang hebat.
Menurut KH Abdul Wahid Hasyim, bahwa sejak anak umur kira-kira setahun, anak harus dibiasakan mempergunakan tenaga dan kekuatan sendiri. Apabila anak sudah besar jangan sekali-kali membiasakan mencampur aduk antara pakaian dan alat-alat permainan miliknya dengan anak yang lain.
Bahkan, tempat pakaian dan permainan harus dipisahkan. Mengapa demikian?.
Jikalau pakaian dan alat-alat itu dicampur-adukkan, anak-anak tidaklah mempunyai kesukaaan untuk mengurusi pakaian dan alat-alat itu. Karena itulah anak memiliki pandangan, bahwa pakaian-pakaian dan alat-alat itu bukanlah miliknya, barang tersebut merupakan milik bersama.
Dengan demikian buat apa saya bersusah payah mengurusinya?
Disinilah letak kesalahan utamannya sebagian orang tua yang membiasakan campur aduknya pakaian-pakaian dan alat permainannya. Anak-anak lantas hilang kesukaannya mengurusi pakaian-pakaian dan alatnya, lama-kelamaan menjadi tabiat malas bekerja dan menumbuhkan tabiat tidak teliti dan dan menimbulkan tabiat suka melalaikan suatu perkara.
Mengutip pendapatnya Dr Athiatullah menjelaskan bahwa kebiasaan orang di Inggris cara mendidik kemandirian anak. Apabila anak-anak mereka telah mulai keluar pikirannya, lalu anak-anak diberikan (bilik) kamar sendiri dengan dilengkapi alat-alatnya, lampu, meja, kursi, tempat tidur.
Adapun kebutuhan uang tidak seperti pada lazimnya diberikan harian melainkan mingguan, jumlah belanja selama tujuh hari. Jika misalnya belanja tiap hari dua sen kepada anak-anak diberikan sekaligus empat belas sen. Agar latihan mengelola keuangan.
Sebelum menghuni kamar khusus yang telah disedikan, berikanlah bekal pengetahuan dan pengertian yang cukup, bahwa dia berkuasa di kamarnya, jadi dia sendiri yang memikul kewajiban terhadap pentingnya kamar tadi.
Orang tua juga perlu menyediakan sapu dan alat kebersihan lainnya. Maka si tuan rumah atau penghuni kamar sudah memiliki kewajiban membersihkan kamarnya atau rumahnya itu. Terserah kepadanya, apakah dia suka menyapu atau tidak?.
Jika tidak suka akibat kotorannya kamar atau rumahnya tersebut tentu dia sendiri yang menanggungnya. Untuk membersihkan lampu, bantal dan kasur, untuk apa saja yang menjadi keperluan rumah itu, si tuan rumah kecil itu yang harus mengeluarkan tenaga dan kekuatannya. Ini saran dari Kiai Wahid.
Pun juga dengan uang untuk belanja selama seminggu, si tuan rumah kecil tadi mempunyai hak akan dibelikan makanan sekaligus sampai habis uang itu, dia berhak penuh. Akan ditabungnya, dia berhak.
Cuma apabila dia membelanjakan uang itu sekaligus, kemudian dia meminta kepada orangtuanya sudah tentu tidak akan diberi, meskipun dengan bagaimana ia meminta kepada orangtuanya, misalnya dengan menangis-nangis. Pendidikan kemandirian anak model ini diterapkan dikeluarga Kiai Wahid Hasyim.
Menurut konsep pendidikan ini, bahwa apabila seorang ayah yang ingin masuk kamar, ‘rumah anak’ terlebih dahulu mengetuk pintu sebagai permintaan izin. Adakalanya si anak sedang belajar maka ketika mendengar ketukan pintu itu lalu menjawab, tidak ada waktu untuk menerima tuan, maaf.
Dalam hal ini, seorang ayah tidak boleh lantas marah-marah dan mengumpat-umpat, akan tetapi harus terus kembali dengan tenang. Sebaliknya bagi anak jika ingin masuk ke kamar orang tuanya juga harus minta izin. Apabila tidak diterima, si anak juga tidak boleh berkecil hati.
Di kamarnya, seorang anak boleh belajar, istirahat, dan bermain bola sekalipun, tapi jika sampai akibat main bola yang berlebihan hingga memecahkan lampu maka ia harus menerima dampak akibatnya, kamar jadi gelap tanpa penerang.
Dari sini jelas, bahwa tidak semua orang Inggirs itu kaya raya, tapi rumahnya memiliki banyak kamar sehingga tiap anak setelah dewasa dapat jatah satu-satu. Bagi keluarga di Inggris yang kurang mampu maka ia akan berusaha menyekat dinding menjadi kamar.
Buah pendidikan yang di usahakan demikian adalah bahwa si anak akan terdidik dengan cara itu, kira-kira berumur sepuluh tahun sudah dapat mempraktikan mengurus rumah tangga kecil dengan persoalan yang berhubungan dengan rumah tangga.
Kelak di kemudian hari pendidikan kemandirian anak ini akan terlihat, apabila anak tersebut sudah berumah tangga, tidak lagi menjadi beban dan tanggungan orangtua. Adapun buah yang berupa pendidikan akhlak dan budi pakerti, anak tadi menjadi terlatih menyelesaikan urusannya sendiri, tidak bergantung kepada orang tuanya.
Sekalipun beragam kesulitan menghampiri dan beban kesukaran betapa hebatnya seorang anak yang sudah didik sedemikian rupa akan mampu menghadapinya dengan baik.
Kini, di tengah kehidupan yang serba pelik, penting bagi para santri untuk menyiapkan bekal (pengetahuan dan pengalaman) dan mau meneladani para kiai pesantren dalam mendidik putra-putrinya.
Situasi dan kondisi kehidupan sudah banyak berubah, jangan sampai salah mendidik anak. Anak merupakan penerus perjuangan orangtua. Kisah di atas dapat kita telusuri dari buku Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim karya Abubakar Atjeh.
Ahmad Faozan/Abdurrahman