Amina Wadud merupakan sosok pemikir Islam Feminis yang menyuarakan bahwasanya ayat Al-Quran yang berkenaan dengan gender haruslah ditafsir juga dari pihak perempuan agar tidak terjadi penafsiran yang bias patriarki.
Amina Wadud adalah seorang tokoh feminis abad 20-an. Ia merupakan seorang mualaf yang masuk Islam pada tahun 1972 yang ia tandai sebagai Thanksgiving Day, kemudian ia mengubah namanya menjadi Amina Wadud Muhsin pada 1974, sebagai identitas keislamannya.
Menurut Ahmad Baidawi dalam bukunya Tafsīr Feminis; Kajian Perempuan dalam al-Qur’ān Dan Para Mufassir Kontemporer Aminal wadud adalah seorang tokoh feminisme Muslimah kontroversial. Wadud memeluk Islam pada tahun 1972. Wadud janda dengan lima anak, dua anak laki-laki (Muhammad dan Khalilullah) dan Tiga Anak Perempuan (Hasna, Sahar, dan Ala ). Mereka merupakan saudara–saudari seiman menurut Wadud. Ayahnya adalah seorang Menteri Methodist dan ibunya adalah keturunan budak Muslim Arab, beliau keturunan Berber Afrika-Amerika yang berkulit hitam.
Ia dilahirkan di Amerika Serikat pada tahun 1952 dan merupakan guru besar di Universitas Commonwealth Richmond, Virginia. Ia dikenal sebagai pemikir kontemporer yang berusaha merekonstruksi metodologi penafsiran Al-Quran untuk mencapai penafsiran yang sensitif terhadap keadilan gender .
Di dalam situs resmi Women’s Studies in Religion Program, Harvard Divinity School, tercatat 18 artikel ilmiah dan 3 buku (2 diantaranya di buat bersama Sister in Islam) lahir dari kemampuan Amina Wadud.
Charles Kurzman dalam bukunya menjelaskan tentang pembahasan liberal Islam dalam penelitian Wadud yang menjelaskan peran perempuan dalam Al-Quran. Buku tersebut kemudian diterbitkan dengan judul Quran and Woman, muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitanya dengan pengalaman dan pergumulan para perempuan Amerika-Afrika dalam memperjuangkan keadilan gender. Karena selama ini, sistem relasi perempuan dan laki-laki di masyarakat memang sering kali mencerminkan adanya bias-bias patriarki. Sebagai implikasinya perempuan kurang mendapat keadilan secara lebih proporsional.
Terkait dengan masalah ketidakadilan gender yang masih ada dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, Amina Wadud merasa terpanggil untuk mengatasi kegelisahan intelektual ini. Ia menyoroti pengaruh ideologi dan doktrin dalam penafsiran Al-Quran yang memiliki bias gender yang kental.
Dalam upaya mengatasi hal ini, Amina Wadud merombak dan merekonstruksi model penafsiran klasik yang cenderung patriarkal. Dasar pemikirannya adalah pandangan bahwa Al-Quran merupakan sumber nilai tertinggi yang seharusnya mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan secara adil.
Dalam karya-karyanya, Amina Wadud menggunakan berbagai metode penafsiran dan mengaitkannya dengan isu-isu sosial, politik, moral, dan ekonomi, termasuk isu-isu perempuan dalam zaman modern.
Metode hermeneutik Al-Quran yang diajukannya dianggap inovatif, dengan tujuan untuk menggali makna dan ide-ide Al-Quran secara menyeluruh, holistik, dan integratif, yang tidak terbatas pada teks-teks parsial dan formal.
Pendekatannya ini melibatkan pemahaman atas prinsip-prinsip pokok yang tidak berubah dalam Al-Quran, sambil mencerminkan interpretasi yang sesuai dengan tuntutan masyarakat pada masa tersebut.
Penulis: Erik Lis Setiawan
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Transgender dalam Konteks Agama Islam