tebuireng.co– Perlunya menumbuhkan rasa syukur kita atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Seorang kakek penjual telur ayam kampung, matanya sudah rabun. Badannya ringkih dimakan usia. Uban mewarnai seluruh rambutnya. Baju lengan pendek warna putih yang dikenakannya, dipenuhi bintik-bintik hitam bekas biang keringat. “Terima kasih nak, terima kasih…. Semogo Allah membalas kebaikanmu.” Ucapan itu begitu tulus keluar dari mulutnya. “Amiin…,” jawab pemuda yang baru saja membeli telur ayam kampung darinya, sambal berlalu. Harga satu butir telur ayam kampung saat itu adalah Rp 1.000. Si Pemuda membeli dua butir. Dia membayar dengan uang pecahan 10.000-an. Sisanya (Rp 7.000) tidak diambilnya, melainkan disedekahkan kepada si kakek.
“Terima kasih, ya Allah…. Engkau memberiku uang dari jalan yang tidak aku duga sebelumnya,” seru si kakek berseri-seri. Sang istri yang duduk di sampingnya juga sangat gembira. Istrinya yang kini sering sakit-sakitan, menerima uang pecahan Rp.10.000 itu dengan tangan gemetar. Keduanya lalu masuk ke kamar untuk melaksanakan shalat zuhur.
Baca juga: Gus Sholah: Keindonesiaan dan Keislaman
Matanya sayu. Pandangannya layu. Air mukanya beku. Sales muda sebuah perusahaan otomotif itu sangat kecewa karena hasil penjualan mobil tahun ini jauh dari target. Kantongnya “hanya” terisi fee sebesar 50 juta. Padahal, jika target penjualan tercapai, dia bisa mendapatkan bonus sampai 500 juta! Keinginan untuk berlibur ke Eropa ditunda. Niat membeli rumah dibatalkan. Impian membeli mobil baru kandas di tengah jalan. Keinginan untuk tampil lebih “elit” dan “borju” tidak terpenuhi. Dia menggerutu memandangi jumlah saldo rekeningnya.
Rasa syukur tidak ditentukan oleh besar-kecilnya pendapatan. Jumlah nominal penghasilan hanyalah kumpulan angka-angka. Kebiasaan bersyukur sangat ditentukan oleh sikap mental manusia. Hanya dengan uang lebihan Rp 7.000, kakek dan nenek tua itu tersenyum bahagia dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, uang 50 juta menyebabkan sales muda itu kecewa dan murung.
Sikap mental sangat diperlukan agar kita menyadari betapa besarnya nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Nikmat itu tercurah setiap waktu dari arah depan, belakang, samping, atas, bawah. Seandainya Allah mencabut nikmat bernafas lima menit saja, kita pasti sudah binasa. Bila nikmat (maaf) buang air besar “dihapus” selama seminggu, kita pasti harus operasi. Satu detak jantung saja dihilangkan, niscaya kita akan tersedak. “Jika kamu menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan mampu menghing-gakannya.”(QS. Ibrahim 14:34).
Baca juga: Belajar dari Ikatan Cinta Gus Sholah dan Nyai Farida
Makanan, pakaian, air, udara, kesehatan, pendengaran, penglihatan, semuanya merupakan nikmat yang sering kita lalaikan. Bukan hal yang sepele jika kita sekarang dapat berjalan dengan dua kaki, sementara banyak orang yang kedua kakinya cacat. Bukan hal yang kecil jika kita bisa memenuhi lambung kita dengan makanan-makanan gurih, sementara saudara-saudara kita di NTT kekurangan gizi karena terpaksa makan seadanya sekali sehari.
Bukan nikmat yang kecil jika rumah kita aman dari bencana alam, karena banyak saudara-saudara kita yang kini rumahnya terendam lumpur panas Lapindo. “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya.”(QS. An Nahl 14:83) Maukah Anda, jika penglihatan Anda ditukar dengan emas 1000 Kg? Apakah Anda rela pendengaran Anda diganti dengan uang Rp 10.000 triliun?
Gembirakah Anda, jika istana Sultan Hasanal Bolkiah yang berlapis emas itu ditukar dengan hidung Anda? Apakah Anda akan bahagia bila kedua tangan Anda ditukar dengan intan berlian terbaik di dunia? “Dan pada dirimu sendiri, mengapa kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz Dzariyat 51:21).
Nikmat dari Allah sungguh maha sempurna. Allah telah memberi akal sehat kepada kita, maka harus kita gunakan untuk belajar secara serius. Allah telah mengaruniakan waktu dan kesempatan, maka harus kita manfaatkan untuk belajar dan beribadah. Allah menganugerahkan kesehatan maka harus kita gunakan untuk meningkatkan prestasi dan berbuat baik kepada sesama. Sungguh malu jika kita kalah dengan kakek dan nenek tadi. Mereka sangat bersyukur meskipun hanya mendapat lebihan uang Rp 7.000.
Banyak cara bersyukur yang dapat dilakukan. Beribadah secara istikamah merupakan bentuk syukur kita kepada Allah. Selain itu, bagi santri, bersyukur harus diwujudkan dengan belajar bersungguh-sungguh, mematuhi peraturan, jujur, tidak boros. Pembina bersyukur dengan cara membina anak buahnya di jalan Allah. Guru bersyukur dengan mengajar secara baik dan professional, datang tepat waktu, selaras antara ucapan dan perbuatan, memberi teladan yang baik kepada muridnya. (MT)
Baca juga: Detik-Detik Terakhir Gus Sholah
Baca juga: Sejumlah Tokoh Dijadwalkan Hadiri Haul Gus Sholah