Kiai Hasyim secara langsung tidak pernah komentar konser musik di pesantren. Namun, Kiai Hasyim Asy’ari pernah melarang acara maulid nabi yang bercampur cewek dan cowok.
KH Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya At-Tanbihat Al-Wajibat bahkan mengharamkan dan melarang keras perayaan maulid Nabi Muhammad Saw yang tidak ada batasan antara pria dan wanita.
Pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awwal tahun 1355 Hijriyah, aku melihat banyak orang dari para pelajar yang mencari ilmu pada sebagian pondok pesantren melakukan perkumpulan yang bernama “Maulid”, dan didatangkan untuk acara itu alat-alat permainan, kemudian membaca Al Qur’an dan hadis-hadis yang warid tentang permulaan penciptaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa saja yang terjadi saat kelahiran Beliau yang berupa tanda-tanda dan seterusnya, termasuk membaca siroh (sejarah) Beliau yang diberkahi. Namun kemudian mereka melakukan perbuatan mungkar, yaitu saling memukul dan saling dorong-dorongan yang diberi nama “pencak” dan “tinju.”
Kemudian dipukulah rebana setiap kali acara itu dilakukan, dengan disaksikan para wanita ajnabiyah (asing, bukan mahram) dari jarak yang sangat dekat. Sehingga para wanita itu bisa menonton mereka (yang bermain pencak dan tinju), diiringi musik serta sandiwara dan permainan-permainan yang menyerupai perjudian dan berkumpulnya pria serta wanita campur bawur untuk menonton, dan tarian-tarian yang membuat mereka tenggelam didalamnya dengan tertawa dan berteriak-teriak di dalam masjid dan sekitarnya. Maka kemudian akupun melarang mereka dan mengingkari mereka dari perbuatan-perbuatan mungkar itu, lalu merekapun bubar dan pergi.[4]
Kampus pesantren adakan konser musik mulai jadi budaya. Banyak kampus yang menarik mahasiswa lewat konser, agar terkesan modern dan terbuka. Konser ini disinyalir sebagai bentuk eksistensi di era serba terbuka. Namun, mirisnya kampus di lingkungan pesantren juga ikutan mengadakan konser serupa.
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Sedangkan Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.[1]
Secara definisi, perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang berada di level tertinggi, dibanding lembaga pendidikan lain. Ada banyak lembaga pendidikan yang berdiri di tanah air, mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga atas.
Namun perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan strata pendidikan teratas. Sehingga perguruan tinggi dalam implementasinya harus dapat melahirkan kualitas manusia yang berpendidikan.
Manusia berpendidikan tidak hanya dilihat dari kualitas keilmuan, akan tetapi secara etika juga menjadi manusia yang terdidik moral dan tingkah lakunya. Dalam perkembangan terakhir, telah muncul satu pemikiran tentang integrasi antara perguruan tinggi dan pesantren.
Model yang paling awal dari integrasi pondok pesantren dan perguruan tinggi ini adalah model pesantren merespon pendidikan tinggi.
Sebaliknya, model pendidikan tinggi yang merespon pesantren, baru muncul belakangan ini saja, meskipun telah ada beberapa perguruan tinggi yang memberikan kenyamanan berupa fasilitas asrama bagi mahasiswanya, tetapi belum dikelelola seperti layaknya pesantren.[2]
Integrasi antara perguruan tinggi dan pesantren masyhur diistilahkan dengan kampus pesantren atau pesantren kampus, merupakan perguruan tinggi yang mengadopsi tradisi atau sistem pembelajaran pesantren atau perguruan tinggi yang dinaungi oleh pesantren.
Harapannya agar output atau lulusan dari institusi ini dapat membumikan nilai dan pengetahuan berbasis keislaman (IMTAQ), juga dituntut dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).[3]
Di Indonesia ada banyak sekali perguruan tinggi atau kampus pesantren. Berangkat dari kesadaran pesantren sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya.
Namun, sebagai perguruan tinggi pesantren yang mengemban nilai-nilai keislaman secara intensif dan praktik, layakkah sekiranya jika institusi islam tersebut mengadakan agenda secara sadar dan terorganisir yang barang tentu berseberangan dengan nilai-nilai keislaman?
Secara sepakat dijawab dengan lantang, tidak. Bukan hanya mencoreng nama baik institusi, akan tetapi kampus pesantren yang kaya akan nilai etik baiknya, berdasar dengan syariat islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis, tentu juga dipertaruhkan.
Tidak ada salahnya, saat pertunjukan seni musik diadakan di kampus pesantren. Perdebatan ulama tentang hukum musik yang muaranya pada boleh, selagi tidak keluar dari koridor syariat, artinya alunan musik yang tidak membuat pendengarnya lalai akan kewajibannya.
Bukan perkara hukum musik dan ikhtilafnya yang disorot dan dikaji, akan tetapi pelaksanaan pertunjukan musik yang memicu terjadinya fenomena out of corridor syariat islam, terlebih lagi di lembaga berlabel perguruan tinggi pesantren.
Kampus pesantren tersebut dengan gagah dan berani mengadakan acara pertunjukan seni musik modern atau konser di kawasan kampus.
Tidak main-main, flyer acara tersebut disebar dan untuk menyaksikannya juga harus bayar. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa acara konser pasti akan berkumpul laki-laki dan perempuan tanpa ada batasan.
Dan benar, bahwa konser yang diadakan di lembaga tersebut seperti itulah adanya, laki-laki dan perempuan bernyanyi dan bergoyang dalam satu tempat yang sama, bercampur-aduk (ikhtilath).
Realita konser musik memang seperti itulah keadaannya. Namun, yang sangat disayangkan dan perlu menjadi perhatian, bahwa pelaksanaan konser musik ini di lembaga islami berlabel pesantren. Maka pihak penyelenggara perlu dimintai pertanggung jawaban terhadap kasus ini.
Penulis: Al-Fahrizal, Ketua Dema Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng
Catatan kaki:
[1] Pasal 1 ayat (1) dan ayat (6) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
[2] Muhammad Mushfi El Iq Bali, “Perguruan Tinggi Islam Berbasis Pondok Pesantren” Al-Tanzim, Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Vol 1, No 2, (2017), 5.
[3] Dimas Eko, “Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Pesantren Melalui Iso 21001 : 2018” MANAGERE: Indonesian Journal of Educational Management, Vol. 2 No. 2 (2020), 158-159.
[4] KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah, Tanbihat Al Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, Maktabah At Turots Al Islamiy, Pondok Pesantren TebuIreng, Jombang, hal. 7-10.