tebuireng.co – Hukum musik dalam ISlam kembali menguat ke publik setelah ada tokoh yang mengatakan jika musik berhukum haram. Simpang siur pendapat membuat masyarakat bingung.
Dalam kebingungan ini, menarik disimak pendapat KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha yang menjelaskan tentang hukum musik dan membaca cerita-cerita fiktif seperti komik dan novel.
Menurutnya, istilah ini dalam kajian Islam atau Al-Quran dikenal dengan لهو الحديث. Termaktub dalam Surat Luqman ayat 6, teksnya yaitu:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Arti: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Hal terkait hukum musik ini dijelaskan Gus Baha saat ngaji tafsir dengan Kitab Jalalin, khusus surat Luqman ayat 1-11 yang ditayangkan oleh channel youtube Santri Gayeng, Rabu(11/08/2021).
“Hukum membuat dan membaca cerita-cerita fiktif menurut tidak sampai pada tingkatan haram. Akan tetapi mendekati hukum haram. Kalau kamu bilang haram, padahal kamu itu bukan Tuhan. Pokoknya agak haram saja”, jelasnya.
Gus Baha menjelaskan awal maraknya cerita-cerita fiktif dalam Islam itu dengan tujuan menandingi menariknya Al-Quran. Ia bercerita, bahwa di Mekkah dan Madinah ketika itu Al-Quran menjadi topik kajian menarik, lalu ada oknum yang kemudian ingin menandingi menariknya al-quran tadi.
Nama oknum tersebut tertulis dalam kitab tafsir Jalalain yaitu Nadhr bin Harits. “Nadhr bin Harits itu orang yang pintar. Dia menjual buku-buku fiktif, cerita yang aneh. Tujuannya supaya orang Islam tidak sibuk belajar Al-Quran”, imbuh tokoh asal Rembang ini.
Ia mengimpor buku yang berisi cerita fiktif dari daerah Persia, sekarang daerah Irak dan Iran. Nadhar mengatakan bahwa buku yang ia jual memiliki cerita yang lebih bagus.
Dalam pandangan Gus Baha, letak hukum keharaman musik, komik atau novel karena dengan hal tersebut orang Islam berpotensi meninggalkan Al-Quran dan lebih memilih menikmati cerita-cerita fiktif yang lebih ringan dari pada belajar dan mengkaji Al-Quran.
Karakter manusia menyukai sesuatu yang ringkan dan mudah. Dalam musik, seseorang hanya menikmati tanpa berpikir berat.
Hal demikian istilahnya adalah لهو الحديث, yakni omongan yang dapat mengganggu seseorang untuk berdzikir atau mengingat Allah SWT.
Menurut Gus Baha, ulama berbeda pendapat dalam memahami kalimat لهو الحديث. Imam Al-Suyuthi mengatakan bahwa لهو الحظيث sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Yakni, cerita-cerita fiktif yang dapat membuat orang berpaling dari belajar al-Quran.
Sedangkan ada ulama selainnya yang mengartikan لهو الحديث adalah musik. Akan tetapi, menurutnya pemaknaan musik tersebut salah.
“Kendati demikian, musik yang tidak baik (banyak mengandung maksiat) tetaplah haram hukumnya. Ketika bisa membuat orang meninggalkan Al-Quran,” papar Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.
Gus Baha menegaskan, perbedaan yang terjadi di antara ulama terjadi dalam ranah tujuan dari apa yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan dalam ranah hukum, keduanya sama-sama haram ketika menyeret seseorang untuk meninggalkan al-Quran.
“Baik musik, buku, atau apa saja yang dapat menggantikan fungsi orang Islam untuk belajar Al-Quran itu masuk pada golongan ومن الناس من يشتري لهو الحديث (orang yang mempergunakan omongan yang mengganggu dari dzikir dan menyesatkan manusia),” kata Gus Baha.
Letak keharamannya terletak pada sebab yang terjadi setelahnya. Gus Baha membandingkan antara bermusiknya orang salih dan yang tidak salih.
Antara keduanya, potensi melupakan Allah karena musik lebih condong dimiliki orang yang tidak salih. Sehingga muncullah perbedaan hukum bagi keduanya. Bagi orang salih, setiap sesuatu dijadikan kendaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Bermusik (dengan musik yang baik) bagi orang salih (yang tidak sampai melupakan Allah karenanya) tidaklah haram. Ya sudah, berarti khusus dia tidak masalah”, pungkasanya.
A Fikri
Mahasiswa Mahad Aly Hasyim Asyari Tebuireng