tebuireng.co- Di masa pemerintahan Jepang pasca penangkapan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tahun 1942, KH. Wahid Hasyim menjabat ketua penasihat shumubu, menggantikan ayahnya. Penyerahan tanggung jawab dari ayah ke anak itu dilakukan atas dasar saat itu KH. Hasyim Asy’ari sudah usia lanjut dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid Hasyim.
Bersama para pemimpin nasional (seperti Soekarno dan Hatta), KH. Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Ia membentuk kementerian agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal bakal terbentuknya Hizbullah dan Sabilillah, bersama PETA yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Baca juga: Saat Jepang Sadar Pengaruh Kuat KH. Hasyim Asy’ari
Pada tahun 1945 adalah awal dari proses kemerdekaan Negara Indonesia, dimulai saat para tokoh pejuang kemerdekaan melakukan diplomasi dengan pihak Jepang. Hasilnya, pada bulan Maret 1945 Jepang bersedia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dengan penuh semangat dan tekad yang kuat, KH. Wahid Hasyim dan para tokoh kemerdekaan Indonesia menyiapkan segala hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan. Pemerintah Jepang yang saat itu terdesak karena kegagalannya dalam perang Asia Timur Raya hampir tidak punya pilihan lain kecuali menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 persidangan BPUPKI yang pertama dibuka dengan bahasan pokok mengenai Dasar Negara. Dalam persidangan ini banyak sekali anggota-anggota BPUPKI mengeluarkan usulan dan pendapatnya, bahkan sampai terjadi perdebatan yang cukup panjang.
Sehingga ketua persidangan, Radjiman Wedyodiningrat mengusulkan agar sidang ditunda sementara waktu sekaligus mengusulkan agar dibentuknya panitia kecil berjumlah sembilan orang. KH. Wahid Hasyim termasuk dalam Panitia Sembilan ini selain Soekarno, Hatta, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, AA. Maramis A. Kahar Mudzakir, Ahmad Soebardjo, dan M. Yamin.
Menurut Ahmad Asroni dalam Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim (2011, hlm. 116) Setelah mengalami silang pendapat yang cukup keras selama kurang lebih 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 para anggota Panitia Sembilan menghasilkan sebuah kompromi. Kompromi inilah yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Dalam Piagam Jakarta ini, Pancasila diterima sebagai dasar negara. Sila Ketuhanan ditempatkan sebagai sila pertama dan diberi tujuh kata pengiring, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Kemudian pada tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan persidangan kedua. Rapat ini membahas tentang pelaporan hasil kerja dari Panitia Sembilan yang sebelumnya dibentuk. Selain itu, persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 13 Juli 1945 juga membahas tentang hal-hal pokok mengenai rancangan Undang-Undang Dasar.
Rizal Mumazziq dalam makalahnya, Mendialogkan Agama dan Negara dalam Pandangan KH. A. Wahid Hasyim (2011, hlm. 38) menuliskan bahwa pada persidangan BPUPKI tanggal 13 Juli 1945 tersebut, KH. Wahid Hasyim mengusulkan dua poin penting. Pertama, agar pasal 4 ayat 2 rancangan UUD ditetapkan bahwa Presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam. Ia menilai jika dua syarat ini terpenuhi, maka perintah-perintah presiden akan mempunyai pengaruh yang besar.
Kedua, pasal 29 tentang agama yang berbunyi “agama negara adalah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut keyakinannya masing-masing”. Menurut KH. Wahid Hasyim, bunyi pasal ini akan memberikan dampak kejiwaan yang besar bagi umat Islam untuk berjuang membela tegaknya negara, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.
Dengan adanya usulan-usulan yang dikemukakan Kiai Wahid Hasyim tersebut menjadikan rapat BPUPKI semakin memanas dan membuat perdebatan yang cukup panjang. Namun keputusan sidang BPUPKI saat itu tetap menerima dua buah usul Kiai Wahid Hasyim tersebut. Dari sini, jelas tergambar bagaimana peran KH. Wahid Hasyim dalam mencetuskan rumusan-rumusan penting bagi kemerdekaan Indonesia. Menurut KH. Wahid Hasyim pada saat itu usulan-usulan tersebut ialah bentuk kompromi minimal yang bisa diterima oleh kelompok Islam serta pandangan KH. Wahid Hasyim atas usulannya ialah bentuk dari perhatian kelompok Islam terhadap kelangsungan Negara Indonesia.
BPUPKI dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945, menurut Agung Syahriman dalam Peranan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pemerintahan Indonesia Tahun (1945-1953) (FACTUM, 2019, hlm. 26) pembubaran BPUPKI tersebut karena dianggap telah menyelesaikan tugasnya. Sebagai penggantinya segeralah diperoleh izin dari pemerintah Jepang untuk membentuk suatu kepanitian yang langsung ditangani oleh orang-orang Indonesia sendiri, kepanitian tersebut diberi nama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Dalam PPKI terhimpun 21 orang yang diantaranya Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Soepomo, Dr. Radjiman, K. H. P. Poerbojo, R. P. Soeroso, M. Soetarjo, Soermiharjo, I Goesti Ketoet Poedja, Abdul Kadir, KH. Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusumo, dr. Mohammad Amir, Mr. Abdoel Abbas, Mr. Teuku Mohammad Hasan, A. A. Hamidah, dr. Sam Ratoelangi, Andi Pangeran, Oto Iskandardinata, Mr. Latoehahary, Yap Tjwan Bing.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi yang menandai akhir dari segala bentuk penjajahan di Indonesia. Pada 17 Agustus 1945 ialah waktu yang sangat tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, karena pada saat itu Indonesia dalam momentum sedang tidak dikuasai oleh penjajah.
Proklamasi kemerdakan juga sebagai bentuk pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia telah Merdeka. Seperti yang ditulis M. Yamin dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1954, hlm. 16): “Proklamasi kemerdekaan yang diucapkan dimuka umum tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah tingkatan penutup bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia dan adalah permulaan zaman pembelaan Negara Merdeka Republik Indonesia. Serta pernyataan Kemerdekaan Indonesia yang diucapkan di kota Jakarta ialah murni suara rakyat Indonesia kepada dunia bahwa bangsa Indonesia telah cakap dan mampu mengurusi rumah tangganya sendiri. Keterangan kemerdekaan itu mulai ada bahwa revolusi Indonesia sudah bermula. Revolusi ini memusnahkan dan meruntuhkan keadaan yang lama untuk pembentukan negara dan masyarakat baru.”