“Pengaruh suatu teladan yang baik jauh lebih bermanfaat daripada suatu teguran tajam,” ungkapan dari Sri Sultan Hamengkubuwana Vlll ini sangat relevan dengan kehidupan yang dijalani oleh seorang KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur, seorang tokoh besar bangsa Indonesia.
Bagaimana tidak, selain menjadi pembela kemanusiaan tanpa syarat, kesederhanannya dalam segala aspek kehidupan menjadi pembelajaran sekaligus keteladanan. Tak peduli berapa banyak pangkat dan jabatan yang ia sanding, tapi baginya, kesetaraan yang bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan menjadikannya sebagai sosok yang fokus bagaimana ia bisa bertanggung jawab sebagai seorang manusia untuk berfikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan di tengah masyarakat.
Sepanjang hidupnya, ia telah banyak memberikan teladan kesederhanaan dan menekankan betapa pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat tanpa pandang pangkat dan status sosial, ia juga merupakan sosok yang penyabar dan ikhlas dalam menjalani semua proses tanpa protes.
Presiden keempat RI ini selalu mengamalkan bahwa motivasi kebijakan yang ia lakukan tanpa memikirkan anak cucu dan keluarganya, apalagi kelompoknya sendiri, melainkan memikirkan kepentingan rakyat semata. Semua itu karena Gus Dur menjadikan agama Islam sebagai spirit bukan formalisasi, ia tidak memisahkan agama dalam segala bidang kehidupan, temasuk juga politik. Hal itu karena Gus Dur juga memiliki prinsip yang terus ia pegang teguh, yaitu kemanusiaan, keadilan, persatuan, kebersamaan, kesejahteraan, dan juga kesederhanaan.
Kesederhanaan yang dilakoni seorang Gus Dur telah menjadi konsep kehidupan yang dihayati sehingga tumbuh kuat menjadi jati diri, kemudian menumbuhkan budaya perlawanan terhadap sikap berlebihan, koruptif dan materialistis yang mana sangat patut menjadi pedoman dan teladan bagi para pemimpin bahkan semua orang untuk mewujudkan kehidupan (Indonesia) yang lebih baik.
Banyak sekali cerita kesederhanaan seorang putra sulung dari Pahlawan Nasional Indonesia KH Wahid Hasyim ini semasa hidup yang diceritakan oleh orang-orang terdekatnya, dan kesederhanaan ini asli bukan buatan, bukan pula untuk pamer ataupun keperluan pencitraan. Tidak hanya saat masih muda, ketika menjadi presiden dan setelah lengsernya pun Gus Dur tidak kehilangan kesederhanaanya.
Secuil cerita tentang kesederhanaan Gus Dur diantaranya yaitu ketika ia hendak menemui seseorang yang dianggap penting atau sowan kepada para kiai, bisa saja presiden ini membawa iring-iringan para pengawal dan juga sambutan upacara resmi layaknya pejabat negara, tetapi Gus Dur malah tidak menyukai protokoler itu, bahkan saat sowan ke ulama kharismatik Mbah Abdullah Salam Kajen, Gus Dur bahkan datang hanya ditemani beberapa orang saja dengan melewati pintu belakang pesantren melalui jemuran para santri.
Cerita lain yaitu ketika Romo Franz Magnis-Suseno terkejut dengan tumpukan baju di dalam kardus yang berada di istana negara yang mana ternyata itu merupakan pakaiaan Gus Dur yang akan dibawanya untuk kunjungan resmi kenegaraan di Tiongkok. Selain itu, Gus Dur juga tidak pernah memberikan fasilitas mewah kepada anak-anak dan keluarganya, semuanya dibiarkan mencari penghidupan sendiri tanpa bergantung pada Gus Dur.
Istri Gus Dur, Nyai Shinta Nuriyah juga pernah menceritakan tentang kesederhanaannya yang tak pernah sekalipun protes dengan apapun yang dimasak olehnya, selalu menerima, senang dan menyantap dengan lahap apapun sajian yang dihidangkan oleh istrinya.
Cerita mengagumkan lagi ketika Gus Dur hendak melakukan foto kepresidenan yang mana sudah disiapkan, namun beberapa kali jepretan belum ada foto yang cocok. Usut punya usut, ternyata karena jas yang dikenakan Gus Dur tidak rapi. Saat diminta untuk berganti jas lain, ternyata jauh lebih kusut dari sebelumnya, dan ternyata Gus Dur hanya memiliki dua potong jas itu, seorang presiden, ketua PBNU, tokoh besar, berteman akrab dengan para pemimpin dunia, hanya memiliki dua potong jas yang kusut dan tidak bermerek.
Sejatinya, kesederhanaan dalam menjalani hidup adalah pilihan, dan itu bukanlah suatu kesengsaraan, maka pilihan hidup seperti itulah yang mengagumkan dari Gus Dur untuk diteladani. Sebagaimana paham yang dianutnya “Leiden is lijden”, pemimpin harus menderita, dan hanya orang bijak yang mampu memahami semua itu.
Karena dalam kesederhanaan itu tak akan mengurangi sedikitpun kualitas pribadi seseorang. Dari segala dimensi, Gus Dur selalu diterima oleh banyak kalangan, mulai dari kalangan lintas agama, suku, ras dan berbagai status sosial lainnya, begitu beragam dan tak kenal sekat. Hal tersebut sebagai bukti nyata bahwa kesederhanaan tidak akan pernah menjadi penghalang ataupun penghambat seseorang yang memiliki kualitas dan integritas dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, dari kehidupan yang sederhana juga tidak menjadi pembatas bagi Gus Dur memiliki pemikiran yang luas, mulai dari pemikiran tentang keislaman, toleransi, inklusifisme, humanitarianisme universal, keindonesiaan, kiai, kepesantrenan, pribumisasi, civil society, demokrasi, bahkan sepak bola. Semasa hidupnya, banyak sekali pernyataan –pernyataan Gus Dur yang dinanti oleh khalayak yang mana memang setiap tutur kata yang keluar darinya bagaikan mutiara yang begitu memiliki nilai tinggi, karena Gus Dur adalah sosok yang memiliki rekam jejak kuat dan memiliki bekal pengalaman yang sangat mumpuni.
Dari banyak hal itulah, muncul semangat juang dari berbagai pihak untuk meramu, merawat dan menghidupkan idiologi sosok Gus Dur, sehingga muncul “Gusdurian”, yaitu sebuah komunitas yang dikoordinatori oleh Ning Alissa Qotrunnada Munawaroh, putri Gus Dur sendiri, yang mencari jejak perjalanan mengumpulkan dan mencari murid-murud Gus Dur sesudah sang ayah wafat. Hal itu tiada lain adalah usaha untuk tetap menjaga warisan intelektual, gagasan, dan juga keteladanan Gus Dur yang baik sehingga dapat selalu bermanfaat dan terus menginspirasi generasi-generasi berikutnya.
*Tulisan ini telah dilombakan dalam sayembara menulis esai yang bertajuk “Meneladani Sang Guru Bangsa” yang diselenggarakan oleh Tebuireng.co pada Januari 2023.
Penulis: Nailiy Ulya Ulin Ni’mah
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Membaca Kesederhanaan Gus Dur Melalui Kitab Minahus Saniyah