Membaca kesederhanaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui kitab Minahus Saniyah menarik untuk dibahas. Ingatan saat ngaji sorogan kitab Minahus Saniyah ke Gus Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid coba saya rangkai dalam bentuk tulisan ini.
Berbicara tentang Gus Dur tentu tidak bisa lepas dari teladan, pemikiran, dan juga pengorbanan dari Sang Guru Bangsa. Gusdurian selaku orang-orang yang merawat pemikiran dan perjuangannya telah merumuskan sembilan nilai utama Gus Dur, yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, kearifan lokal. Semua nilai ini tentu ada maknanya, termasuk perihal kesederhanaan.
Nasib dan takdir orang tentu siapa yang tahu. Gus Dur menjadi santri kelana. Ia berguru dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu kiai ke kiai lain, dari negara ke negara lain hingga bergerak dan berjuang melakukan transformasi sosial.
Bila kita baca episode demi episode alur kehidupan Gus Dur, kita akan dibuat takjub. Bagaimana lelah, letih, dan berdarah-darahnya Sang Guru Bangsa ini. Tapi ia tetap bersikap biasa-biasa saja. Sampai muncul istilah jokes, “Gitu aja kok repot”. Sebuah ucapan yang lahir dari pembacaan literatur keislaman yang utuh dan kematangan spiritual. Dari berbagai cobaan itu, semakin meneguhkan mental dan kepribadian Gus Dur yang tangguh dan sederhana itu. Ibnu Mubarok mengutip dawuh Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhu dalam kitab Zuhud wa Raqaiq-nya mengatakan :
لا يَبْلُغُ عَبْدٌ ذُرَى الْإِيمَانِ حَتَّى يَكُونَ التَّوَاضُعُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الشَّرَفِ، وَمَا قَلْ مِنَ الدُّنْيَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِمَّا كَثُرَ، وَيَكُونُ مَنْ أَحَبُّ وَأَبْغَضَ فِي الْحَقِّ سَوَاءٌ، يَحْكُمُ لِلنَّاسِ كَمَا يَحْكُمُ لِنَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ
Artinya: “Seseorang tidak akan berada di puncak keimanan hingga sikap tawadhu’ lebih disukai dibandingkan ketenaran. Yang sederhana dari dunia lebih disukai dibandingkan yang berlebih. Orang yang disuka dan yang dibenci diperlakukan sama dalam urusan pemenuhan hak. Dan memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri.”
Gus Dur adalah orang yang zuhud. Kita sepakat itu. KH Husein Muhammad bahkan menulis dan mengulas kezuhudan (salah satunya tentang kesederhanaan) Gus Dur dalam dua buku, yakni Samudera Kezuhudan Gus Dur dan Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur.
Gus Dur bukan hanya sederhana dalam pakaian, bermasyarakat dan melepas segala etika birokrasi yang ada (dulu, istana negara jadi istana rakyat). Gus Dur juga membuat orang mudah dan mengajak sederhana. Kalau bisa dipermudah, disederhanakan, mengapa tidak?
Perjuangan seperti ini tentu sulit di tengah kehidupan masyarakat urban yang begitu majemuk. Di tengah pesatnya arus modernisasi dan segala kebudayaan asing yang terus bercampur aduk di daerah muslim perkotaan.
Membaca Melalui Kacamata Kitab Minahus Saniyah
Kitab Minahus Saniyah ‘ala Washiyyah al-Matbuliyyah merupakan kitab tasawuf yang meski relatif tipis (hanya 20 halaman), isinya cukup bernas sekali. Saat ngaji sorogan kitab ini ke Gus Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid, kami beberapa kali geleng-geleng kepala karena standar ketasawufan kitab ini yang cukup tinggi. Tak hanya itu, meski saya telah belajar dan persiapan sebelum ngaji sorogan, selalu ada ilmu dan hikmah baru ngaji bersama beliau.
Saya mencoba mengulas hasil ngaji sorogan saya dengan membaca kesederhanaan Gus Dur. Saya mulai menganalisis taubat dan zuhud: dari relasi hingga konsukuensinya dalam memaknai kehidupan Sang Guru Bangsa.
Bab pertama dalam kitab yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahab asy-Sya’rani ini menjelaskan tentang taubat. Taubat secara bahasa itu kembali dan secara istilah adalah kembali dari yang awalnya buruk dan tercela kepada sesuatu yang terpuji secara syariat.
Taubat merupakan pondasi dasar bagi setiap maqom yang hendak dilalui dan dinaiki oleh seorang hamba sampai ia meninggal dunia. Jadi, kedudukan taubat ini penting sekali sebagaimana pentingnya sebuah pondasi dalam bangunan. Posisi “pondasi dasar” dalam bangunan itu menopang segala apa yang dibangun di atasnya. Maka, sebagus dan sebaik apapun bangunan yang ia bangun, tapi pondasi dasarnya lemah, maka robohnya bangunan tersebut tinggal menunggu waktu saja. Pasti akan terjadi.
Bagi Syekh Abdul Wahab, taubat merupakan sebanding dari zuhud dengan dunia. Di bagian awal kitab, beliau menjelaskan:
وَبَدَأَ الشَّيْخُ بِالتَّوْبَةِ لِأَنَّهَا أَسَاسُ لِكُلِّ مَقَامٍ يَتَرَقَى إِلَيْهِ الْعَبْدُ حَتَّى يَمُوْتَ، فَكَمَا أَنَّ مَنْ لَا أَرْضَ لَهُ لَا بِنَاءَ لَهُ، كَذَلِكَ مَنْ لَا تَوْبَةً لَهُ فَلَا حَالَ لَهُ وَلَا مَقَامَ. وَمِنْ كَلَامِهِمْ ” مِنْ أَحْكَمِ مَقَامِ تَوْبَتِهِ حُفْظ اللهِ تَعَالَى مِنْ سَائِرِ الشَّوَائِبِ الَّتِي فِي الْأَعْمَالِ” فَهِيَ نَظِيرُ مَقَامِ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا يَحْفَظُهُ صَاحِبُهُ مِنْ سَائِرِ مَا يَحْجِبُ عَنِ الْحَقِّ تَعَالَى
Artinya: “Syekh Mutawalli al-Matbuli memulai penjelasan dengan taubat karena ia adalah pondasi setiap kedududkan yang akan dinaiki oleh seorang hamba hingga ia meninggal dunia. Sebagaimana orang yang tidak memiliki tanah (sebagai pondasi bangunan), maka (sejatinya) ia tidak memiliki bangunan sama sekali. Begitu pula dengan orang yang tidak pernah bertaubat, maka ia tidak memiliki hal dan maqom. Diantara sebagian perkataan ulama adalah, ‘termasuk sebagian hukum maqom taubat ini adalah Allah menjaganya dari seluruh kecacatan di dalam beramal.’ Taubat merupakan sebanding maqom zuhud di dunia yang mana orang yang zuhud akan menjaga dirinya dari hal-hal yang menghalangi dari Allah (al-Haqq) SWT.”
Relasi antara zuhud dan taubat ini sangat erat sekali. Masih dalam kitab Minahus Saniyah, pengarang mengutip perkataan Syekh Ali al-Khowash mengungkapkan:
مَنْ اسْتَقَامَ فِي تَوْبَتِهِ وَزَهَدَ فِي الدُّنْيَا فَقَدَ انْطَوَى فِيْهِ سَائِرُ الْمَقَامَاتِ وَالْأَحْوَالِ الصَّالِحَةِ
Artinya: “Barang siapa yang istiqomah dalam bertaubat kepada-Nya dan zuhud di dunia, maka sungguh ia mendapatkan seluruh maqom dan ahwal shalih.”
Ini menarik. Begitu besar relasi taubat dan zuhud bagi seorang Muslim. Taubat menjadikan orang untuk mengakui kesalahan dan kembali pada jalan yang benar, tak peduli berapa kali kesalahan dan dosa yang telah ia perbuat. Sedangkan zuhud adalah meninggalkan kecondongan hati untuk mencintai dunia, tanpa harus berkontemplasi dan menghindar dari kehidupan hiruk pikuk kehidupan sosial. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam kitab Minahus Saniyah-nya:
وَحَقِيقَةُ الزُّهْدِ هُوَ تُرْكُ الْمَيْلِ إِلَيْهَا بِالْمَحَبَّةِ، لَا بِخُلُو الْيَدِ مِنَ الدُّنْيَا لِعَدَمِ نَهْيِ الشَّارِعِ عَنِ التَّجَارَةِ وَعَنْ عَمَلُ الْحِرَفِ
Artinya: “Hakikat zuhud adalah meninggalkan kecondongan kecintaan pada dunia, tidak dengan menyepikan ‘tangan’ dari dunia karena tidak adanya larangan syariat dari berdagang dan bekerja bidang kerajinan.”
Tak heran, bila kesadaran beregaliter ini perlu sekali. Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap, dan perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi diri. Kesederhanaan menjadi sikap atas berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan. Sederhananya, kesederhanaan adalah hidup dengan bersahaja. Tidak menampilkan aspek lahir sebagai gebyar, “wah”, dan sok-sokan.
*Tulisan ini telah dilombakan dalam sayembara menulis esai yang bertajuk “Meneladani Sang Guru Bangsa” yang diselenggarakan oleh Tebuireng.co pada Januari 2023.
Penulis: Alfin Haidar Ali
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan