tebuireng.co- Gus Dur tidak pernah menulis humornya sendiri. Semua humor yang tersebar dalam bentuk buku, rubrik, maupun postingan, dituliskan oleh orang-orang yang mengenalnya. Bahkan, banyak humor yang ternyata bukan cerita asli, melainkan karangan yang disandarkan pada tokoh Gus Dur, sebagaimana karangan humor Timur Tengah, Abu Nawas dan Nasruddin Hoja.
Berbeda lagi ketika menulis, Gus Dur selalu serius dalam pengkajiannya terhadap suatu masalah. Itulah mengapa Gus Dur tidak pernah menulis humornya sendiri. Karena humornya disampaikan secara lisan dalam pidato-pidatonya. Dengan muka serius, terkadang Gus Dur berhasil membuat orang tertawa.
Baca juga: Tertawa, Cara Gus Dur Menyelesaikan Masalah
Tidak ada tokoh yang dihumorkan di Indonesia selain Gus Dur. Sebenarnya ada beberapa tokoh yang kisah-kisah dalam hidup mereka ditulis menjadi humor. Seperti buku Mati Ketawa; Cara daripada Soeharto yang menghumorkan tokoh Soeharto. Selain sudah lama, buku itu juga tidak bisa menandingi humor Gus Dur yang tercetak dalam puluhan judul buku. Misalnya Lachen Mit Gus Dur, Tawashow di Pesantren, Saya Nggak Mau Jadi Presiden, Kok!, dan Ngakak Bareng Gus Dur. Apalagi tokoh-tokoh lain yang humornya tidak sampai menjadi buku.
Sebagai orang yang berlatar belakang pesantren, Gus Dur tentu dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan guyonan-guyonan cerdas. Pesantren merupakan tempat di mana kreativitas santri tumbuh tanpa ada hambatan, di sela-sela gothakan saat ngaji Yai belum mulai. Kreativitas mempengaruhi tingkat humor seseorang.
Suatu ketika Gus Dur bercerita tentang seorang pejabat negara yang diundang ke luar negeri. Dalam kesempatan itu, istri pejabat ditawarkan makanan pembuka oleh seorang pramusaji. “Do you like salad, Madame?” Istri pejabat itu pun menjawab, “Oh sure! I like salat five time a day. Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, and Isya’.”
Gus Dur pandai sekali dalam memainkan kata-kata. Bicaranya ceplas-ceplos, dan kebanyakan humornya terdiri atas permainan aspek linguistik. Sebagaimana dalam humor Salad di atas yang memplesetkan kata ‘salad’ yang berarti sayuran yang dimakan sebagai lalap (hidangan selada) menjadi ‘salat’ yang bermakna salah satu bentuk ibadah umat Islam.
Walaupun menjabat presiden dalam waktu singkat, Gus Dur punya banyak koleksi humor dalam bidang politik. Oleh Gus Dur, suasana politik yang panas bisa dicairkan dengan kata-katanya yang mengundang gelak tawa. Musuh-musuhnya menjadi tidak berkutik dan tidak jadi marah.
Misalnya dalam sebuah peristiwa banyak demonstran sedang berunjuk rasa di depan istana presiden. Para demontran itu mendesak Gus Dur untuk mundur dari kursi kepresidenan. Tiba-tiba, Gus Dur keluar dari dalam istana dan berujar, “Maju aja masih harus dituntun, apalagi mundur.”
Humor, sebagaimana yang dikatakan Martin, artinya istilah yang mendefinisikan perilaku tersenyum dan tertawa karena hal positif. Perilaku tertawa yang terjadi karena hal negatif, seperti meledek, merendahkan orang lain, dan menggoda bukanlah humor. Gus Dur tidak pernah merendahkan orang lain dalam humornya, bahkan ia sering menertawakan dirinya sendiri.
Kita masih ingat humor Gus Dur yang dilemparkan kepada Presiden Kuba Fidel Castro. “Semua presiden Indonesia punya penyakit gila,” kata Gus Dur. Presiden pertama Bung Karno gila wanita, presiden kedua Soeharto gila harta, presiden ketiga Habibie benar-benar gila ilmu, sedangkan Gus Dur sendiri presiden keempat sering membuat orang gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila.
Sebelum tawa Castro reda, Gus Dur langsung bertanya, “Yang Mulia Presiden Castro termasuk yang mana?” Castro menjawab, “Saya termasuk yang ketiga dan keempat.”
Apa selesai sampai di situ? Tidak. Ketika mengunjungi Habibie di Jerman, oleh orang dekat Habibie, Gus Dur disuruh mengulangi cerita lucunya dengan Castro itu. Merasa tak enak menyebut Habibie benar-benar gila atau gila beneran, Gus Dur memodifikasi cerita tersebut. Kepada Habibie, ia mengatakan, “Presiden Soekarno negarawan, Presiden Soeharto hartawan, Presiden Habibie Ilmuwan, sedangkan Gus Dur wisatawan.”
Selain menghindari menyebut Habibie benar-benar gila, jawaban itu sekaligus merupakan jawaban Gus Dur yang bersahabat atas kritik bahwa dirinya adalah presiden yang banyak pergi ke luar negeri seperti berwisata saja.
Selain menjadi hiburan dan penyejuk batin, humor juga bisa menjadi penyalur uneg-uneg. Humor Gus Dur menjadi wawasan yang arif bagi para penikmatnya sebagai cara menyindir dan kritik dengan suasana tawa. Humor juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan informasi agar bisa mudah diterima.
Dengan mengingat hal tersebut, humor memiliki posisi yang penting dalam seni berkomunikasi. Humor bisa dijadikan suatu bahan untuk dikaji menjadi suatu ilmu. Semakin kritik suatu masyarakat, semakin tinggi pula permintaan mereka terhadap humor. Dimensi keseriusan humor tampak pada penekanan syarat intelektual pelaku serta penikmatnya.
Humor Gus Dur berbeda sekali dengan humor yang beredar kini hari. Bukan humor yang menindas dan menjelek-jelekkan fisik, memaki, maupun sekedar membuat orang tertawa. Humor yang baik adalah yang bisa membawa kepada kebaikan. Gus Dur sarat dengan nuansa pesantren, NU, kiai, politik (presiden), agama, dan budaya. Ketika ditanya kenapa Gus Dur sering berziarah ke makam para leluhur, ia berkata, “Saya datang ke makam karena saya tahu, mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.”
Sebagai seorang figur, Gus Dur memang sudah sepatutnya memiliki sense of humor tinggi yang membuat dirinya dekat dengan kita. Selain kapasitas ilmunya yang melangit. Humor yang membuatnya tidak pernah kalah omong dengan orang lain: dari agama lain atau negara lain. Siapa yang paling dekat dengan Tuhan? Orang Budha memanggil Tuhan dengan ‘Om… Shanti Om’, orang Kristen memanggil ‘Bapa’ dan sambil tertawa Gus Dur bilang, “Bahkan kami di masjid harus menggunakan toa untuk memanggil Tuhan.”
Di hadapan negara lain, Gus Dur selalu menertawakan Indonesia. “Presiden Amerika tidak sempat membaca buku karena sibuk banyak pekerjaan. Sedangkan Presiden Indonesia harus membaca buku, karena tidak ada pekerjaan,” katanya. Saat kelebihan muatan di sebuah kapal, orang Perancis dan Jepang membuang emas dan uang ke laut supaya kapal tidak tenggelam, dan berkata, “Di negaraku masih banyak.” Melihat seorang yang tidur di kapal, orang Indonesia melemparnya ke laut seraya bilang, “Di negaraku masih banyak.”
Gus Dur, kau itu presiden atau apalah. Kau itu kiai atau apalah. Kenapa kau selalu membuat orang terpingkal?
Oleh: Hilmi Abedillah, desainer Majalah Tebuireng Alumni Mahasantri Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng
Baca juga: Nama Gus Dur Tetap Harum, Ini Kata Gus Kikin