• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Alarm Kekerasan Seksual Dunia Pendidikan

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2023-01-13
in Pendidikan
0
kekerasan seksual di dunia pendidikan

Alarm kekerasan seksual di dunia pendidikan (ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Alarm kekerasan seksual di dunia pendidikan lewat rentetan kasus yang dialami generasi muda Indonesia sudah selayaknya menjadi peringatan keras bagi pemerintah, pendidik dan orang tua untuk menciptakan ruang aman.

Selama ini, alarm kekerasan seksual hanya membuat kebanyakan masyarakat akan begitu interest menyoroti apa hukuman yang pantas bagi pelaku, berapa tahun vonis yang pas untuk dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual.

Jarang perhatian publik ikut mempersoalkan bagaimana kondisi mental korban, sudahkah proses penanganan yang ada berorientasi pada pemenuhan hak-hak korban baik perlindungan maupun pemulihan psikologisnya sejalan dengan implementasi peraturan yang ada.

Kasus kekerasan seksul selalu menjadi permasalahan krusial yang terus diperbincangkan publik, tidak hanya karena ramainya ragam bentuk kasus yang terus bermunculan tapi juga perihal upaya Negara dalam mereformasi kebijakan penanganan korban yang terus menuai sorotan.

Sorotan tersebut baik berupa nada protes maupun dukungan yang menyuburkan berkembangannya opini dukungan terhadap korban serta ruang-ruang pertentangan didasarkan pada pertimbangan aspeknya baik budaya, sosial, politik bahkan agama.

Sementara itu, meskipun sudah ada alarm kekerasan seksual dari berbagai kasus, tapi tetap saja ada oknum yang menindas hak korban.

Permasalahan kekerasan seksual tidak mengenal ruang dan waktu, yang artinya setiap orang berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual, tidak memandang usia, karakteristik, relasi maupun status sosial masyarakat .

Bisa dikatakan saat ini tidak ada ruang yang aman bagi korban terbebas dari perilaku kekerasan seksual, baik di rumah maupun institusi pendidikan seperti sekolah, kampus bahkan pondok pesantren yang notabenenya ruang pendidikan karakter yang membentuk akhlak dan kepribadian seluruh civitas akademika.

Bahkan pelaku kekerasan seksual pun dapat berlatar tenaga pendidik, peserta didik, hingga petugas keamanan yang notabenenya merupakan pihak yang dipercayakan untuk menjaga keamanan mahasiswa dan mahasiswi di lingkungan kampus.

Mencuatkan kasus kekerasan seksual di ruang institusi pendidikan, tentu saja menjadi catatan persoalan yang terus menyebar secara sporadis dan menjadi sorotan media.  

Sebagaimana fenomena gunung es, tak semua korban kekerasan seksual di Indonesia berani melaporkan kejadian yang dialaminya.

Dalam kasus di lingkungan perguruan tinggi, tidak semua korban punya kuasa mengumpulkan berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami baik ke kampus, ke Polisi, ke lembaga mitra Komnas Perempuan, atau ke lembaga pendampingan korban kekerasan seksual.

Hastag #Atasnamabaikkampus yang sempat mencuat sejak kasus Agni Mahasiswi Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang menjadi korban kekerasan seksual pada 5 Februari 2019.

Sebenarnya banyak kasus serupa terus bermunculan di kampus-kampus lain dan banyak di antara pelaku adalah dosen yang notabenenya punya relasi yang kuat.

Tidak terkecuali mencuatnya fakta kasus kekerasan seksual di salah satu pondok pesantren di Jombang yang menyeret putra kiai dan pemilik pondok pesantren di sejumlah daerah termasuk di Bandung, Jawa Barat.

Tentu saja belum hilang dari ingatan kita tentang kasus perkosaan dan pembunuhan YY, seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) berusia 14 tahun di Bengkulu yang diperkosa 14 remaja pada pertengahan April 2016 lalu.

Peristiwa Bengkulu ini menuai kemarahan Presiden Jokowi, bahkan lembaga penyedia layanan masyarakat di seluruh Indonesia terus menyerukan solidaritas melalui kampanye “Bunyikan Tanda Bahaya” untuk kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Tidak berselang lama pada akhir Mei 2016 suara masyarakat sipil direspon Presiden dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disertai pemberatan hukuman.

Pemberatan hukum antara lain yaitu kebiri dan pemasangan alat deteksi elektronik sebagai salah satu bentuk hukuman terhadap pelaku. Lalu sudahkah menjawab kebuntuan persoalan penanganan kasus di lapangan? Tentu saja tidak. 

Apa Langkah Strategisnya?

Langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kekerasan seksual yaitu inergitas Lembaga HAM Negara dan institusi pemerintah untuk menggelorakan semangat anti kekerasan.

Sikap ini merupakan salah satu langkah strategis untuk mewujudkan ruang aman bebas kekerasan seksual, seperti halnya MoU antara Kementerian Agama dengan Komnas Perempuan yang diwakili Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menjadi lokomotif terbitnya dokumen Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Ada juga Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Tidak hanya itu, meski menuai pro dan kontra di masyarakat, melalui dukungan berbagai pihak, Kemendikbud RI melalui komitmen Menteri Nadiem Makarim telah menyusun dan disahkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kebijakan ini sebagai salah satu solusi hadirnya mekanime pencegahan dan  penanganan kasus kekerasan seksual di kampus melalui pembentukan Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Namun, lagi-lagi idealnya sebuah peraturan tidak akan berhasil terimplementasikan secara komprehensif manakala tidak ada sikap tegas dan komitmen penuh dalam proses pengawalan kasus kekerasan seksual.

Penulis: Ana Abdillah

Tags: alarm kekerasan seksualKekerasan seksualPenanganan Kekerasan Seksual
Previous Post

Ning Ita Fajria Tamim, Dokter Muda Asal Pesantren

Next Post

Refleksi Semangat Juang Masyayikh Tebuireng

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Refleksi Semangat Juang Masyayikh Tebuireng

Refleksi Semangat Juang Masyayikh Tebuireng

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Kemenhaj Resmi Rilis Desain Batik Baru untuk Penyelenggaraan Haji 2026
  • Berdakwah Ala Jek: Penuh Humor tapi Teguh Syariat
  • Hati-Hati Bahaya Maghrur, Tertipu Oleh Kebaikan Diri Sendiri
  • Manusia dalam Pancasila: Makhluk Monoplural yang Menyatu dalam Keberagaman
  • Menjadi Mandiri: Seni Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng