tebuireng.co- Pahala mati syahid adalah suatu kemuliaan yang bisa didapatkan oleh seorang muslim melalui banyak cara di antaranya sebagaimana dijelaskan dalam hadis nabi
وعن أبي هريرة رضي الله عنه، قال قال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ المَطْعُوْنُ والمَبْطُوْنُ، والغَرِيْقُ، وصَاحِبَ الهَدْمِ، والشَهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ متفق عليه
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang mendapat derajat syahid ada lima jenis, yaitu (1) orang meninggal karena wabah tha’un, (2) orang meninggal karena sakit perut, (3) orang tenggelam, (4) orang yang terkena reruntuhan, dan (5) orang gugur di jalan Allah,’” (HR Bukhari dan Muslim)
Namun ulama fiqih tidak hanya mengerucutkan pahala mati syahid hanya dalam lima kriteria tersebut. Beberapa dari ulama fiqih menjelaskan bahwa seorang pecinta yang meninggal bisa dikategorikan sebagai mati syahid karena sejak dulu mereka sangat mengetahui bahwa cinta adalah hal berat dan menyakitkan.
Sebesar apapun luka yang ada pada jasad tidak lebih menyakitkan dari luka hati. Oleh karna itu, sangat wajar sekali apabila para ulama fiqih menetapkan suatu hukum yang mengatakan bahwa setiap orang yang meninggal karna cinta, maka ia mati dalam keadaan syahid dengan katagori “Syahid fil Akhiroh’ yang artinya mendapatkan pahala syahid di akhirat.
Dalam kitab Hasyiah al-Baijuri jilid 1, ulama fiqih menetapkan dua syarat seorang pecinta bisa dikategorikan mati syahid. Pertama adalah Al-Iffah (menjaga diri ) yaitu seorang pecinta selama ia mencintai, ia selalu menjaga dirinya dari perkara yang dilarang oleh Islam. Kedua adalah Al-Kitman ( menyimpan/merahasiakan) yaitu seorang pecinta selama ia mencintai, ia senantiasa merahasiakannya pada siapapun bahkan kepada orang yang dicintainya.
Karena apabila seseorang memberitahukan rasa cintanya kepada orang yang ia dicintai maka dirinya akan tenang dan lega, sebab setidaknya ia sudah mengungkapkan perasaannya. Berbeda apabila ia terus merahasiakannya, hal tersebut akan menjadi siksa yang begitu menyakitkan baginya, inilah hal yang kemudian membuatnya menjadi kategori mati syahid meski tanpa peperangan. Dengan catatan orang yang dicintai halal untuk dinikahi secara syariat.
Atas dua syarat tersebut para ulama fikih berdalil pada sebuah hadis yang berbunyi:
مَنْ عَشِقَ فَعَفَّ فَكَتَمَ فَمَاتَ مَاتَ شَهِيدًا
Artinya: Barang siapa yang jatuh cinta namun mengekang diri dan menyembunyikan rasa cinta dan rindunya kemudian mati maka tergolong sebagai mati syahid.
Dalam riwayat lain memakai redaksi berikut:
من عشق وكتم وعف وصبر غفر الله له وادخله الجنة
Artinya: Barang siapa yang jatuh cinta, kemudian ia merahasiakannya, menjaga dirinya dari kemaksiatan serta bersabar, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan menjadikannya ahli surga.
Terkait keshahihan hadis tersebut masih banyak ikhtilaf di kalangan ahli hadis. Sebagian ulama hadis seperti Imam An-Nasa’i mengatakan bahwa itu adalah hadis do’if (lemah), bahkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan kalau itu hadis maudu’ (palsu). Namun tidak sedikit pula ulama ahli hadis yang mengatakan bahwa hadis tentang cinta tersebut adalah hadis shahih yang bisa dijadikan pegangan. Salah satunya adalah Imam Al-Hafidz Mughultay Al-Hanafi dalam kitabnya “al-Mubīn fī Dhikr Man Istashhada min al-Muḥibbīn”. Termasuk juga ulama hadis yang mengatakan bahwa hadis tentang cinta tersebut adalah shahih yaitu Al-Imam Al-Hafidz Ahmad bin Siddiq al-Ghumari. Dalam kitabnya ia bahkan mengkritik mereka yang mengatakan bahwa hadis tersebut palsu.
Dalam kitabnya, Imam Al-Hafidz Mughultay Al-Hanafi menukil ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa cinta bukanlah hal yang diingkari dalam agama dan bukan pula hal yang dilarang dalam syariat. Tentunya dengan etika-etika sebagaimana dijelaskan dalam hadis nabi.
Wallahua’lam bisshowab
Baca juga: Jihad Fii Sabilillah dengan Cara Sabar
Baca juga: Kucing dalam Kitab Karya Imam ad-Darimi