Kebanyakan penulis biografi Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari, selanjutnya ditulis Hadratussyaikh, menera nama-nama pesantren yang pernah dilalui oleh KHM Hasyim Asy’ari selama menjadi santri kelana dan nama-nama guru yang mengajar di kota Mekah. Namun, masih sedikit yang membukukan dan menarik garis genealogi (sanad) keilmuan atau nama-nama guru Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di pulau Jawa. Padahal, sebelum berangkat ke Mekah atau sesudah pulang, Hadratussyaikh termasuk sosok yang sangat mencintai ilmu. Ia terus menggali dan belajar, menyerap pengetahuan, karena proses itu tidak pernah berhenti hingga akhir hayatnya. Nama-nama seperti KH Asy’ari (ayahnya), KH Utsman Gedangan (kakeknya), KH Ya’kub Siwalanpanji (Sidoarjo), KHM Kholil Kademangan (Kabupaten Bangkalan), KH Ahmad Sholeh Langitan (Tuban), KH Sholeh Darat Semarang, dan KH Ali Chafidh Demak adalah di antara guru yang cukup berperan dalam kemajuan pembentukan karakter awal kepribadiannya.
Jika dibukukan, maka nama-nama tersebut cukup representatif guna melengkapi khazanah pengetahuan tentang guru Hadratussyaikh serta kiprahnya di peta dunia pesantren secara umum. Dari nama-nama tersebut, pembentukan keilmuan Hadratussyaikh dapat terstruktur dan tersistem secara epistemik. Sebagaimana epistemik adalah sebuah sistem pengetahuan yang memiliki keterkaitan-keterkaitan atau relasi-relasi antara pengetahuan kognitif-individu dan pengalaman empiris. Cukup rumit memang!
Pondok Pesantren Al-Muhtarom, Langitan, Tuban, memiliki nilai sejarah yang kuat bagi tokoh-tokoh besar di awal Indonesia merdeka. Nama-nama seperti KH Zainuddin (pengasuh Pesantren Mojosari, Nganjuk); KHM Kholil Bangkalan; Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari sendiri; KH Syamsul Arifin Situbondo (ayah KH As’ad Syamsul Arifin); KH Djazuli Utsman (pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri); KH Ahmad Sholeh (putera kedua KH Muhammad Nur); KH Hasyim Padangan, Kabupaten Bojonegoro; KH Umar Dahlan, Sarang, Kabupaten Rembang; KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Kabupaten Jombang; KH Siddiq Jember (ayah KH Ahmad Siddiq dan KH Mahfudz Siddiq, kolega KH Abdul Wahid Hasyim) dan; KH Khozin (putera menantu, penerus tali estafet setelah KH Ahmad Sholeh) adalah di antara yang pernah mengenyam pendidikan dan mendapat gemblengan di Pondok Pesantren Langitan tersebut. Bahkan, berdasarkan tuturan KH Abdullah Faqih, pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, juga mesantren di Langitan.
Memang, untuk melacak jejak genealogi keilmuan dan guru Hadratussyaikh secara epistemik tersebut memerlukan penelitian yang memakan waktu panjang dan biaya yang tidak sedikit. Namun, apabila dirintis akan sangat bermanfaat bagi pemahaman yang utuh terhadap peta dunia kepesantrenan sebagai lembaga pendidikan, kawah Candradimuka, bahkan wilayah yang memiliki kekuasaan otonom. Sebagai kekuasaan otonom, pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri, Sunan Ampel, atau bahkan Gebang Tinatar yang didirikan oleh Syekh Hasan Besari pada zaman dahulu dapat dijadikan contoh. Dengan kata lain, ada pergeseran makna perdefinitif ketika pesantren sudah menjadi bidikan Undang-undang Kolonial (Ordonansi) sebagai sebuah lembaga pendidikan an sich dan pesantren yang masih menjaga wilayah kekuasaan otonomnya sebagai sebuah perdikan (perdikan diambil dari kata merdikan yang berarti merdeka di luar kontrol kekuasan negara atau kerajaan). Dan, pembelaan terhadap independensi pendidikan ini yang menjadi kekuatan moral (moral force) Hadratussyaikh di dalam menggalang kebangkitan kaum santri untuk menangkal bentuk-bentuk intervensi kolonialisme. Sebab, wilayah yang tak pernah mempan oleh pengaruh kolonialisme-imperialisme hanyalah pesantren, sementara kekuasaan pemerintahan kerajaan sudah banyak mengalami dekadensi dan pengaruh akibat politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan oleh pihak asing, terutama Belanda.
Baca Juga: Peran Hadratussyaikh KH . Hasyim Asy’ari dalam Pendirian NKRI
Pondok Pesantren Langitan didirikan oleh KH Muhammad Nur pada 1852. Pada awalnya adalah sebuah surau kecil, tempat beristiqamah dalam kegiatan belajar mengajar. Kemudian, berkembang menjadi pemukiman santri yang ramai. KH Muhammad Nur mengasuh Pesantren Langitan selama 18 tahun hingga tahun 1870.
Pondok Pesantren Langitan mengalami perkembangan signifikan ketika mulai diasuh oleh KH Ahmad Sholeh. Selain kepada abahnya, KH Ahmad Sholeh menimba ilmu kepada KH Abdul Qodir (disebut pula Abdul Qohhar) di Pesantren Sidoresmo, Surabaya, KH Hasbullah di Pesantren Sambilangan (Madura), dan beberapa ulama Mekah seperti Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf Al-Mishri, dan Syekh Jamal, Mufti Mazhab Hanafi.
Di Mekah, KH Ahmad Sholeh juga hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fattani (Thailand) dan Syekh Amrullah atau Haji Rasul (ayah Prof. Hamka) Minangkabau.
Pada masa asuhan Mbah Sholeh, nama panggilannya, Pondok Pesantren Langitan mengalami kemajuan cukup pesat. Santri-santri berdatangan dari berbagai penjuru pulau Jawa dan luar Jawa. Nama Mbah Sholeh adalah tiga di antara nama Sholeh yang masyhur kala itu, yaitu KH Sholeh Darat Semarang, KH Ahmad Sholeh Langitan, dan KH Sholeh Gresik. Demikian, menurut tuturan KH Dimyati Rois Kaliwungu. Hanya nama KH Sholeh Gresik yang belum mendapat porsi besar untuk dielaborasi sejarahnya, sementara dua nama Sholeh yang lain dikenal karena karya-karya tulis dan pondok pesantrennya.
Karena kemasyhuran nama Mbah Sholeh, Pondok Pesantren Langitan pun menjadi tempat “jujugan” santri-santri yang ingin “ngangsu kaweruh”. Selama 32 tahun (1870-1902), Mbah Sholeh mengabdikan ilmu, mengasuh para santri, dan istiqamah beribadah. Ia wafat pada 1320 Hijriyah dan dimakamkan di Pemakaman Umum di Desa Mandungan, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban; 400 meter di sebelah utara Pondok Pesantren Langitan. Namun demikian, perlu juga dicatat: terdapat kerancuan dua nama KH Ahmad Sholeh. Pertama, KH Ahmad Sholeh yang dimakamkan di Widang, Tuban, tersebut dan, kedua, KH Ahmad Sholeh yang dimakamkan di Desa Gondanglegi, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk. Dua makam berbeda tempat tersebut dinisbatkan kepada satu orang yang sama sebagaimana ditulis dalam biografi KH Djazuli Utsman. Kalaupun memang satu orang yang sama, maka narasi ceritanya dapat berbeda, yaitu KH Djazuli Utsman mesantren pertama di Gondanglegi kepada KH Rofi’i, kemudian melanjutkan studinya kepada KH Ahmad Sholeh di Langitan.
Mbah Sholeh menikah 1287 Hijriyah dengan Raden Nyai Asriyah, puteri KH Mukhtar (pengasuh Pondok Pesantren Cepoko, Kabupaten Nganjuk). Dari pernikahan tersebut lahir putera dan puteri diantaranya Nyai Shofiyah (dinikahkan dengan KH Khozin, penerus estafet KH Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan), H. Dahlan Hasbullah, K. Adnan, Nyai Sholihah (dinikahkan dengan KH Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk), Nyai Khodiyah (dinikahkan dengan KH Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk), dan satu puteri lagi yang dinikahkan dengan KH Nur Iman (berdomisili di Tuban).
Sungai Brantas memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah, terutama proses Islamisasi penduduk di Jawa Timur. Relasi Tuban dan Nganjuk tak dapat mengabaikan peranan dan relasi ini. Karena, melalui jalur sungai (maritim) sejarah bergeliat tidak hanya di tepian laut saja, melainkan juga di wilayah pedalaman. Tambakberas pada masa lalu adalah sebuah pelabuhan sungai yang besar, karena lalu lintas pelayaran di sungai Brantas yang ramai.
Pada masa itu, tiga pesantren yang cukup terpandang di Jawa Timur adalah hubungan kekeluargaan antara Pondok Pesantren Langitan (Widang, Kabupaten Tuban), Pondok Pesantren Mojosari (Kabupaten Nganjuk), dan Pondok Pesantren Gondanglegi (Kabupaten Nganjuk). Khusus di pondok pesantren di Gondanglegi ini, KH Ahmad Sholeh “menanam” putera menantunya, K.H Rofi’i, namun perkembangannya tidak bagus dan hanya tinggal berupa bangunan masjid saja. Sementara Pondok Pesantren di Mojosari, Kabupaten Nganjuk, “ditanam” K.H. Zainuddin dan masih ramai hingga sekarang yang masih menganut sistem penggemblengan mental spiritual bagi para santri pasca mesantren. Tidak sedikit, santri-santri yang sudah tunai belajar di pesantren-pesantren Ploso (Kediri), Lirboyo (Kediri), Langitan (Tuban), dan lain-lain yang melakukan “uji nyali” di pesantren ini.
Demikian, sekilas gambaran salah satu guru Hadratussyaikh yang dapat dilacak jejak intelektual dan spiritualnya untuk diteliti lebih lanjut secara genealogi keilmuan atau bahkan kekerabatan keluarga. Wallahu a’lam.