Semua teks hadis menurut para ulama jika hendak diterapkan kepada masyarakat, maka memerlukan interpretasi yang diarahkan untuk menyusun konsep, atau untuk menyusun pemikiran ijtihadi. Sehingga mereka membagi kajian hadis menjadi dua jalur. Pertama, pengolahan isi hadis disebut Ilmu Hadis Riwayah, dan kedua, pengolahan sanad hadis disebut Ilmu Hadis Dirayah.
Kedua bidang ilmu hadis tersebut terus mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan untuk mengelola isi hadis Nabi Muhammad dengan melihat lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi Muhammad saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafadz-lafadznya. Inti dari ilmu ini memang membahas tentang pemindahan riwayat, penukilan riwayat, baik secara lisan maupun tulisan. Kitab Kuning yang banyak dipelajari di pesantren mengulas masalah ini dengan sebutan Syarah Hadis, dan Hasyiyah atau Ta’liqat.
Syarah atau interpretasi hadis banyak ditulis oleh para ulama yang muncul sekarang, dalam bentuk buku atau kitab dengan bahasa yang beraneka macam. Perintis pertama ilmu hadis Riwayah ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry yang wafat pada tahun 124 Hijriyah.
Sedangkan Ilmu Hadis Dirayah ialah ilmu yang membahas tentang seperangkat kaidah atau teori mengenai Sanad Hadis (mata rantai periwayatan) berdasarkan penelitian sosio-historis, yang dilakukan oleh seorang ahli hadis.
Ahli hadis tersebut menyatakan, bahwa guru dan murid itu bertemu atau tidak, dan apakah setiap satu dari guru dan murid tadi memiliki kredebilitas dan ingatan yang kuat (adil dlabith) atau tidak. Selain itu, apakah dalam penelitian sanad tadi ada illat (nilai negatif) atau tidak, dan begitulah seterusnya.
Jika guru dan murid itu betul-betul bertemu, maka sanad hadis disebut Muttashil. Jika tidak bertemu, maka sanad hadis disebut Mursal, Munqathi’, Mu’dlal, atau penilaian lainnya.
Jika sanad yang muttashil itu semua rawinya adil dan dlabith, maka ulama hadis menyebut hadis tersebut sebagai hadis shahih atau hasan. Jika rawi itu tidak adil dan tidak dlabith, maka hadis disebut dlaif atau maudlu’ dan begitulah seterusnya.
Ada perbedaan cara pengolahan matan hadis (teks hadis) antara ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. Ilmu hadis Riwayah mengelola teks hadis melalui penggalian formatisasi makna oleh teks itu, agar sesuai dengan perkembangan masyarakat. Teks hadis sendiri dalam proses pembentukan formatnya berakhir sampai Rasulullah wafat, dan ditulis oleh ahli-ahli hadis sampai abad tiga hijriyah.
Sedangkan Ilmu Hadis Dirayah mengelola teks hadis dari segi pembuatan format hadis, yaitu ulasan tentang bagaimana agar teks hadis tersebut bekerja untuk memproduksi makna.
Ilmu Hadis Dirayah sejak pertengahan abad ketiga hijriyah sudah mulai dirintis oleh sebagian Muhadditsin dalam garis-garis besarnya saja, dan masih tersebar dalam beberapa kitab. Baru pada awal abad keempat, ilmu ini dibukukan dan dijadikan bidang keilmuan yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu yang lain.
Ulama pertama yang membukukan Ilmu Hadis Dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa ‘iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap.
Baca juga: Ilmu Hadis, dari Nabi Muhammad sampai ar-Ramahurmuzi
Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Selanjutnya diteruskan lagi oleh Ahmad bin Abdullah Al-Asfihani (w. 430 H), Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali (w.463 H), Qodhi ‘Iyad (w.544 H) dan seterusnya Ilmu Hadis Dirayah ini dikembangkan oleh beberapa ulama hadis masa kini.[]