tebuireng.co – Seratus tahun Nahdlatul Ulama (NU), lalu apa? Salah satu wujud syukur kepada yang Maha Kuasa yaitu merenung kembali anugerah besar berupa umur panjang.
Seratus Tahun bukan lah waktu yang sebentar, apalagi bagi sebuah organisasi. Melewati berbagai zaman dengan beragam permasalahan membutuhkan sebuah sebuah perjuangan dan adaptasi luar biasa.
Bagi NU, 100 tahun kiprahnya menjadikan NU sebagai salah satu pilar penting bagi republik ini. Satu Abad NU, sudah banyak hal yang dilakukan NU hingga saat ini.
Sebut saja peran para pendiri NU khususnya Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad melawan penjajah yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.
Peran NU pun berlanjut hingga periode kemerdekaan dengan masuknya KH A Wahid Hasyim sebagai salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam mempersiapkan kemerdekaan dan dasar negara Republik Indonesia.
Kini, peran NU dengan tiga prinsip dasarnya yang sangat relevan bagi kehidupan berbangsa di negeri ini, tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang, proporsional) menjadikan NU sebagai penyeimbang sekaligus ‘garda kebangsaan’ di Indonesia.
Satu Abad kelahiran NU kini dirayakan secara megah di seantero negeri. Mulai dari pemberian gelar, aktivitas jalan sehat, hingga acara puncak Resepsi Harlah 1 Abad NU di Gelanggang Olah Raga (GOR) Sidoarjo. Perhelatan yang sangat membanggakan.
Namun, di balik semua seremoni ini, tergelitik pertanyaan mendasar: Apa sih arti keberadaan 100 tahun NU bagi Indonesia?
Baik bagi jam’iyah NU sendiri maupun bagi negara ini secara keseluruhan. Apakah NU sudah cukup menjadi agregator penggerak kesejahteraan masyarakat?
Ajaran dari Mbah Hasyim (sebutan bagi Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari) tentang “Mencintai agamamu juga harus dibarengi dengan mencintai Negaramu” adalah ajaran yang sangat kekinian dan relevan.
Apalagi, dengan melihat banyaknya jam’iyah NU yang menurut sebuah studi jumlahnya sepertiga penduduk negeri ini. Luar biasa banyak. Artinya, semakin sejahtera rakyat Indonesia, semakin sejahtera pula jam’iyah NU.
Sebaliknya, semakin NU bisa berkontribusi mensejahterakan jam’iyahnya, maka otomatis akan mengangkat kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sebagai ilustrasi pembanding, kita coba lihat studi kasus dengan Korea Selatan. Di tahun 1972, Indonesia dan Korea Selatan memiliki angka pendapatan per kapita yang kurang lebih sama di kisaran $240.
50 tahun berlalu, Indonesia mencapai pendapatan per kapita di angka $4,000. Sementara Korea Selatan melesat jauh, naik lebih dari delapan kali lipat lebih yang dimiliki oleh Indonesia, di angka $35,000.
Korea Selatan hanya butuh waktu 16 tahun untuk berada di level per kapita $4,000 sementara Indonesia perlu 50 tahun.
Salah satu yang membuat kenaikan kesejahteraan ekonomi Korsel secara signifikan adalah inovasi yang berkelanjutan.
Dari mulai industrialisasi hingga K-Pop yang mampu menaikkan industri kreatif Korea Selatan hingga terkenal ke seantero dunia.
Itulah motor penggerak ekonomi mereka dengan strateginya berupa investasi pendidikan yang berbasis industri. Baik manufaktur maupun industri kreatif.
Lantas apa hubungannya dengan NU?
Berangkat dari studi yang menunjukkan setidaknya 30% penduduk Indonesia adalah warga NU, maka upaya menciptakan masyarakat NU yang produktif akan turut mengoptimalkan bonus demografi yang akan terjadi.
Proses yang paling mendasar adalah melalui pendidikan. Hal inilah yang seharusnya menjadi fundamental seiring perayaan 1 Abad NU.
Bagaimana NU bisa berperan dalam melahirkan generasi-generasi produktif yang bisa mensejahterakan warganya.
Layaknya Korea Selatan dengan K-Pop nya, NU mungkin bisa menghadirkan driver ekonomi yang baru dalam bentuk santri-santri yang produktif.
Salah satu contohnya dengan melahirkan program seperti “1 Juta Santripreneur”. Pesantren sejatinya turut menjadi penghasil lulusan yang produktif sesuai dengan kebutuhan zaman.
Santri yang tidak hanya paham tentang ilmu agama, melainkan juga ilmu kewirausahaan, ilmu kemasyarakatan, ilmu pendidikan, dan ilmu yang berbasiskan Information and Technology (IT).
Pesantren juga selayaknya melek digital dan relevan dengan perkembangan zaman. Dengan menguasai literasi digital, maka dakwah kebangsaan yang amplifikatif sesuai yang diinginkan founding fathers NU akan lebih mudah terwujud.
Intinya, NU berpotensi besar melakukan revolusi mindset dalam melahirkan pemuda yang produktif.
Karena namanya revolusi, maka sifatnya harus strategik dengan program yang tidak bisa parsial, tapi mesti fundamental dan komprehensif. Tentu saja dengan dukungan pemerintah selaku regulator di negeri ini.
Contoh paling mudah adalah dengan mewajibkan seluruh pesantren untuk memiliki program ekstrakurikuler yang outputnya bisa menghasilkan santri yang produktif dan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat. Bukan hanya untuk bidang ke-”akheratan”, tapi juga “keduniawian”.
Dengan munculnya lulusan yang produktif dan modern ini, diharapkan akan mampu mendrive ekonomi Indonesia.
Terlebih Indonesia dalam periode 2022 hingga 2035 akan mengalami bonus demografi, yang artinya akan membuat jumlah tenaga kerja usia produktif akan lebih banyak dibanding yang tidak produktif (70% versus 30%).
Sehingga, optimalisasi bonus demografi dengan lulusan santri NU yang mumpuni akan menjadi sangat fundamental dan krusial.
Sudah barang tentu, tidak perlu dibahas terlalu panjang bahwa dalam Islam tidak melulu perkara syariah, tetapi juga muamalah.
Islam tidak hanya sekadar mengatur hubungan hamba dengan Tuhan (hablumminallah), tapi juga sesama mahluk (hablumminannas). Kita sudah fasih berdiskusi ini.
Namun, yang menarik adalah Firman Allah SWT dalam surat Surat Ar-Ra’d: 11:
{ لَهُۥ مُعَقِّبَـٰتࣱ مِّنۢ بَیۡنِ یَدَیۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ یَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَاۤ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمࣲ سُوۤءࣰا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ }
Dalam kalimat Innallaha yughayyiru maa biqoumin hatta yughoiyiru maa bi anfusihim.
Dalam kalimat tersebut salah satu makna yang jelas tersirat adalah perintah Allah untuk ikhtiar. Berubah menjadi lebih baik, dalam segi apapun, termasuk kualitas hidup baik itu mikro maupun secara makro.
Sebagai pengingat, bonus demografi ini tidak akan berarti tanpa landasan pendidikan yang kuat. NU yang membawahi hampir 30.000 pesantren dengan jutaan lulusannya sangat berpotensi menjadi driver perubahan.
Kalau kita gagal dalam mengoptimalkan bonus demografi ini, maka kita berpotensi memasuki fase aging society, yaitu fase dimana masyarakatnya kebanyakan tua, tidak produktif dan berpotensi tidak sejahtera.
Inilah kesempatan kita untuk mengkaji ulang eksistensi satu abad NU. Jika selama ini kontribusi besar diarahkan kepada sektor agama, sosial, dan politik, kini sudah saatnya NU juga melahirkan generasi produktif di bidang lainnya dengan segala terobosannya.
Generasi yang bisa menjadi motor penggerak yang membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera.
Selamat merayakan 1 abad berdirinya NU. Kembali ke pertanyaan mendasar: Apakah cukup adanya NU hanya dengan mengangkat tiga prinsip dasar moderat, toleran dan penyeimbangnya?
Atau jangan-jangan kita ada yang terlupa, sibuk dengan perayaan seremonial, tapi melupakan adanya potensi besar NU lainnya? Maju terus NU ku.
Oleh: Ipang Wahid, Pendiri Tebuireng Initiatives