tebuireng.co – Melihat perempuan sebagai objek sekaligus subjek pembangunan bangsa Indonesia merupakan sikap bijak yang sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Dalam buku “Ada Serigala betina dalam Diri Setiap Perempuan” karya Ester Lianawati, Carol D. Ryff menjelaskan bahwa tiap orang sebenarnya dapat menjadi sejahtera jika ia mampu: menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, menguasai lingkungan, serta terus bertumbuh secara personal.
Implikasi potensi tersebut apabila ditarik ke dalam konteks saat ini dapat dilihat pada aspek pengarusutamaan gender dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang memuat beberapa Informasi di antaranya: Indek Pembangunan Gender (IPG) dan indek pemberdayaan gender pada tahun 2018 baru mencapai 90,99 dan 72,10.
[bctt tweet=”Perempuan itu?” username=””]
Data tersebut memuat Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang mencakup 3 aspek yaitu keterwakilan perempuan di parlemen, perempuan sebagai tenaga profesional dan sumbangan pendapatan oleh perempuan.
Dalam lingkup Jawa Timur, tercatat IDG Jawa Timur tahun 2019 sampai pada angka 73,04% dan Tahun 2020 mencapai 73,03 %.
Data tersebut secara implisit menunjukkan bahwa relasi kuasa tidak akan pernah lepas dari mata rantai ketidaksetaran yang dialami oleh orang-orang atas dasar gender, kemiskinan, disabilitas, usia, jarak tempuh, etnis, bahasa maupun kelompok tertentu atau bahkan gabungan dari berbagai aspek di atas.
Oleh karena itu, Internasional Women Days (IWD) dengan slogan #BreakTheBias berusaha mengingatkan maupun mere-charging fokus kita untuk berusaha lebih giat lagi dalam menyeimbangan aspek tersebut dalam lingkup individu maupun komunal.
Baca Juga: Sejarah Hari Perempuan
Demi terciptanya tujuan negara yakni “Bhineka Tungga Ika” dengan memastikan persamaan hak, peluang, akses, dan toleransi serta sikap saling menghormati individu lain tanpa memandang identitas sosial mereka. Sehingga tercipta sebuah tatanan sosial masyarakat yang inklusif.
Inklusi sosial tersebut memuat analisis aspek general isu yang menjadi masalah bersama dan berupaya mengubah produk sosio kultural dan potensi kekuatan historis kultural dengan memahamkan bersama bahwa kesejahteraan seluruh rakyat merupakan tujuan yang harus dikehendaki bersama.
Semua kalangan berupaya untuk mencapai titik di mana keadilan dan kesetaraan gender menjadi behavior baru bagi laki-laki maupun perempuan itu sendiri.
Namun, mengutip pesan Yudi Latif, perempuan perlu mengingat kedirian manusia yang terdiri dari dua sisi, kedirian yang bersifat personal dan publik.
Kedirian personal akan tumbuh sehat jika dibekali karakter personal yang baik seperti jujur, kerja keras, dan pantang menyerah.
Pribadi akan mengalami perkembangan optimum dalam kolektivas yang baik. Bahkan pribadi baik bisa menjadi buruk bila hidup dalam lingkungan kolektif yang buruk. Di sini lah semua pihak harus hadir membersamai perempuan untuk memiliki lingkungan yang baik. Tidak menghakimi, tapi mendukung.
Dalam konteks Indonesia, pembentuk kolektiv yang baik itu dikembangkan melalui pembudayaan nilai-nilai pancasila seperti keadilan sosial, persatuan Indonesia, kemanusian yang adil dan beradab.
Melihat fenomena ini perlu kita lihat bahwaLeaving No One Behind merupakan 1 dari 16 Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDG’s) dalam proses ketercapaian Gender Equility.
Prinsip ini mensaratkan posisi perempuan dapat dilihat sebagai objek sekaligus subjek pembangunan.
Sebagai subjek: perempuan diharapkan mampu mengawal implementasi dan capaian dari semua tujuan dan target dalam SDG’s tersebut.
Sedangkan sebagai objek pembangunan, perempuan dapat menjadi sumber data akurat dalam bentuk analisis sosial historis dan kultural dalam menilik realita masyarakat yang ada.
Demikian karena pergulatan persoalan perempuan dapat menjadi refleksi dalam melihat permasalahan dalam struktur masyarakat secara lebih luas dan mendalam.
Seperti halnya, kondisi di mana tidak semua perempuan mendapatkan pendidikan dan kematangan emosional untuk mengambil keputusan bahkan untuk sekadar bertanya kepada dirinya sendiri tentang apa yang sesungguhnya dia inginkan.
Tidak sedikit perempuan yang kehilangan kemampuan untuk mendengarkan suara hatinya karena tidak semua berkesempatan (red: diberi kesempatan) untuk sebatas menelisik ke dalam dirinya sendiri.
Tentu, apabila dibandingkan dengan laki-laki, peluang perempuan untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan kelembagaan serta kegiatan lainnya masih terbatas.
Batasan ini bersumber dari berbagai nilai dan norma di masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Tentu ini tidak sesuai dengan nilai yang diajarkan pancasila.
Pancasila merupakan dasar moral kemanusiaan yang sempurna. Pancasila berisi dasar kehidupan yang damai dan saling menghormati.
Lima sila Pancasila adalah dasar moral kemanusiaan bangsa Indonesia. Jika salah satu hilang, maka hilang juga moral kemanusiaan. Kesimpulannya, tidak menghormati perempuan bertentangan dengan pancasila dan ini tandanya pembangunan tidak berjalan baik.
“Berfikirlah layaknya seorang Ratu. Ratu tidak takut gagal. Karena kegagalan adalah batu loncatan untuk mencapai kejayaan.”
Penulis: Khusnul K Ramdannisa (Ketua Umum KOHATI Badko Jawa Timur)

