Majemuk Rasail merupakan kitab kumpulan tulisan singkat (risalah) dan pidato (khitabah) KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Kiai Hasyim). Judul lengkapnya Majemuk Asanid wa Ijazat wa Fatawa wa Rasail wa Khitabat li Hadhratissyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Selanjutnya, kitab ini lebih dikenal dengan sebutan Majemuk Rasail.
Majemuk Rasail disusun oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban, salah satu kader muda NU yang tercatat sebagai penerima penghargaan Santri Awards 2021 Bidang Agama. Ginanjar berharap, kitab yang ia susun dari kumpulan risalah dan khitabah Kiai Hasyim bisa menjadi pelengkap dari pada kitab kumpulan karya Kiai Hasyim dengann judul Irsyadu al-Sari yang disusun oleh KH Muhammad Ishomuddin Hadziq (Gus Ishom)
Buah tangan Ginanjar yang berupa risalah dan khitabah Kiai Hasyim ini kemudian diterbitkan oleh Pesantren Tebuireng melalui Pustaka Tebuireng di tahun 2025, tepatnya pada bulan Ramadhan 1446 H dan menjadi salah satu materi program kilatan Pesantren Tebuireng, di mana program tersebut telah menjadi rutinan setiap tahun di Pesantren Tebuireng.
Dalam kitab ini terdapat sanad-sanad kitab Kiai Hasyim, baik yang ia terima dari gurunya atau yang ia ijazahkan terhadap muridnya. Di antara sanad kitab yang tercantum dalam kitab ini, menjelaskan tentang ketersambungan belajar Kiai Hasyim dari gurunya, hingga masing-masing pengarang kitab dimaksud. Seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Tirmidzi, dan Hikam.
Selain sanad, juga terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim dalam menyikapi sebagian masalah sosial keagamaan. Seperti saat menyikapi perdebatan tentang boleh tidaknya seorang guru menerima gaji dari kegiatan mengajarnya, hukum lahan wakaf masjid yang disewakan, hukum istighasah, dan status pernikahan yang berangkat dari perzinahan serta status anak hasil zina.
Kumpulan risalah terdapat pada bagian ke tiga dari kitab ini memiliki tema yang bermacam-macam, sesuai momen dinamika sosial yang dihadapi oleh Kiai Hasyim dan organisasi yang didirikannya, yaitu Nahdhatul Ulama (NU).
Pada akhir bagian kitab terdapat dokumentasi khitabah tertulis yang disampaikan Kiai Hasyim saat menjadi Rais Akbar NU. Terdapat enam pidato yang berhasil terdokumentasikan dalam kitab ini. Tentunya, sebagaimana juga terdapat pada risalahnya, pidato Kiai Hasyim sarat akan respon beliau terhadap kondisi sosial keagamaan yang dihadapinya.
Dalam pengantar yang tercantum di awal kitab ini, KH. Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) pengasuh Pesantren Tebuireng mengatakan terkait ciri khas dalam setiap risalah dan khitabah Kiai Hasyim. Ia menyebutkan lima ciri khas yang terdapat dalam kitab ini sebagai berikut.
Pertama, pikiran Kiai Hasyim kental dengan ajakan agar senantiasa semangat dalam mencari ilmu diiringi dengan semangat untuk menyebarkan ilmu yang telah dipelajari. Pokok pikiran ini juga tercantum dalam karyanya yang lain dengan judul adabul alim wal muta’allim.
Kiai Hasyim berpesan, hendaknya seseorang (berusaha) menjadi orang berilmu. Jika tidak mampu, maka jadilah orang yang tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Jika tidak mampu juga, maka jadilah orang yang mencintai ahli ilmu.
Kedua, tulisan Kiai Hasyim cenderung meng–counter penyelewengan ajaran Islam. Atau yang kemudian dikenal dengan ajaran-ajaran agama Islam yang mengandung bid’ah. Kiai Hasyim selalu mengajak supaya umat Islam senantiasa menjadikan ulama salaf sebagai pedoman mengambil pelajaran dan teladan.
Ketiga, risalah dan khitabah Kiai Hasyim mengandung peringatan untuk senantiasa waspada terhadap resiko-resiko yang datang dari penjajah. Hal tersebut sangat logis, mengingat Kiai Hasyim hidup pada saat penjajahan sedang berlangsung. Hal ini juga menunjukkan, bahwa Kiai Hasyim memiliki perhatian khusus terhadap negara.
Keempat, Kiai Hasyim senantiasa menghidupkan semangat persatuan dan gotong royong. Sejarah mencatat, satu-satunya tokoh yang berhasil menyatukan umat Islam dalam satu wadah adalah Kiai Hasyim.
Pada tahun 1937, berdiri MIAI yang menjadi wadah bersatunya seluruh umat Islam lintas kelompok dan paham keagamaan. Dalam persatuan tersebut, dikatakan bahwa pemantik utama geliat persatuan ini adalah Kiai Hasyim.
Dan pasca wafatnya Kiai Hasyim hingga artikel ini ditulis, momentum bersejarah tersebut belum terulang kembali. Oleh sebab itu, tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa satu-satunya tokoh yang mampu menyatukan umat Islam adalah Kiai Hasyim.
Kelima, Selain mendakwahkan agama Islam, Kiai Hasyim juga menggerakkan masyarakat untuk memperbaiki kualitas sosialnya melalui kerja-kerja yang konkret.
Hal itu bisa kita temukan dalam buku-buku biografi Kiai Hasyim yang mengisahkan bahwa dirinya memiliki andil dalam pembangunan masyarakat.
Seperti membebaskan Cukir dari kegiatan maksiat dengan mendirikan Pesantren, demikian pula membuka lapangan kerja kepada masyarakat dalam bidang pertanian.
Kitab ini diharapkan bisa memberikan wawasan yang lebih luas kepada para santri terkait ajaran dan pesan-pesan yang disampaikan Kiai Hasyim dalam risalah dan khitabahnya.
Penulis: Ahmad Fikri
Editor: Thowiroh
Baca juga: Ngaji Pasaran Tebuireng: Menghidupkan Ilmu saat Ramadan