tebuireng.co– Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari nilai-nilai keagamaan. Betapapun kenyataan ini tidak diakui oleh sementara. Masalah-masalah pribadi tentang pengaturan hubungan dengan sesama manusia. Masalah penyesuaian antara cita dan kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan. Serta hubungan manusia dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Kesemuanya itu menghasilkan dimensi-dimensi keagamaan dalam kehidupan manusia. Dimensi keagamaan itu ditampakkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekspresi keharuan yang dirasakan manusia, yang pada umumnya berbentuk kegiatan-kegiatan seni dan sastra.
Dari sini saja sudah tampak betapa eratnya kaitan antara kegiatan kesenian, baik yang bersifat penciptaan atau pagelaran dengan kehidupan beragama. Cakupan kaitan itu tidak hanya terbatas pengaruhnya pada wilayah kehidupan yang tersentuh oleh keharuan belaka, melainkan jangkauannya menerobos ke wilayah-wilayah kerohanian lain, seperti wilayah harapan dan impian, ketakutan dan keputusasaan, keyakinan dan keberanian, protes dan bujukan, pelestarian ajaran dan seterusnya.
Dari sinilah baru dapat dipahami mengapa lalu timbul skala prioritas yang berbeda di antara kelompok-kelompok yang berlainan. Pemusatan daya arsitektural untuk membangun sebuah masjid nasional di ibukota negara dan masjid propinsi di ibukota propinsi kita, umpamanya, tentu tidak sama skala prioritasnya dengan keengganan bangsa Mesir membuat masjid seperti itu dewasa ini. Karena wilayah yang diterobos oleh proses keharuan berbeda satu ke lain kelompok, dengan sendirinya produksi seni yang dikaitkan dengan kehidupan beragam juga berlainan satu dari yang lain.
Karena itu, sudah tentu sulit untuk melakukan pengukuran atas keterlibatan kegiatan kesenian pada kehidupan beragama melalui satu alat pengukur belaka, yang bertindak secara konstan dalam kadar yang sama. Manifestasi kesenian yang dihasilkan bergantung erat pada susunan kehidupan itu sendiri, yang sudah tentu menjadi sangat kompleks pengukurannya dalam sebuah masyarakat modern. Karena kaitan antara agama dengan kehidupan semakin lama semakin dikristalisir dalam citra kemasyarakatan yang berbeda-beda. Dengan sendirinya manifestasi kesenian dalam kehidupan beragamanya lalu mengalami perubahan-perubahan drastis dari waktu ke waktu, sehingga sulit diukur dengan alat pengukur tunggal yang tidak memperhitungkan dalam dirinya unsur-unsur perubahan itu sendiri.
Kalau gereja Kristen di masa lalu menitikberatkan lagu puja (hymne) melalui paduan suara bergaya Gregorian karena struktur masyarakatnya yang monolith. Dalam periode individuasi kehidupan masyarakat modern justru ekspresi seni suara peroranganlah (seperti blues dan soul) yang menjadi bagian dari manifestasi kehidupan beragama umat kristiani di masa ini.
Ilustrasi lain dapat dikemukakan, seperti kasus prosesi peragaan kemalangan (passion drama) yang dilakukan secara kolektif untuk turut merasakan penderitaan Husain ibn Abi Thalib di padang Karbala dalam perayaan Asyura’ di kalangan Syiah di Irak dan Iran. Ekpresi seperti ini muncul dari citra kehidupan beragama yang ditekankan pada penghayatan pengorbanan (syahadah fida`) di kalangan mereka yang dalam perkembangan politik memunculkan orang-orang seperti Ali Shariatmadari dan Ayatullah Khomeini.
Setelah diajukan keberatan cara pengukuran dangkal dengan penggunaan alat tunggal yang bersifat menetap seperti diuraikan di atas, dengan sendirinya lalu muncul pertanyaan bagaimanakah pengukuran yang tepat harus dilakukan? Alat apakah yang seharusnya digunakan di dalamnya? Hasil konkret apakah yang dapat diperoleh dari alat pengukuran seperti itu? Jawaban atas ketiga pertanyaan di atas akan diuraikan lebih lanjut, walaupun tidak ada pretensi akan tercakup semua aspek yang dikandungnya. Yang akan dikemukakan hanyalah pokok-pokoknya belaka.
Yang pertama harus disadari adalah aspirasi masyarakat di bidang keagamaan yang memiliki keragaman besar dalam watak, sifat dan coraknya. Umpamanya saja, aspirasi lembaga keagamaan formal seperti Majelis Ulama tentu berbeda dari aspirasi seorang mubaligh lapangan yang bergerak secara individual. Aspirasi keagamaan tentu berbeda dari seorang agamawan. Belum lagi dilihat dari keragaman yang timbul dari orientasi kehidupan yang berbeda dari kelompok yang sama, seperti kaum intelektual yang termasuk lingkungan teknokrasi dan sesama intelek yang menolaknya.
Aspirasi keagamaan yang beranekaragam itu tentu menghasilkan ekspresi yang berbeda-beda, walaupun dalam medium kesenian yantg sama. Pada kegiatan seni suara di kalangan kaum muslimin dapat dilihat nyata hari ini. Di lingkungan yang masih lebih dekat dengan literatur keagamaan berbahasa Arab, seperti di Banten dan Jawa Timur, pagelaran dibaiyah, barzanji dan sebagainya masih menggunakan bahasa Arab, disertai seni hadrah yang mementaskan ode-ode berbahasa Arab itu tanpa diterjemahkan. Tetapi kita lihat di daerah Magelang yang lebih banyak terkena radiasi kultur istana dari kraton Mataram, muncul pementasan kentrung yang berisi pesan yang sama tetapi menggunakan bahasa Jawa.
Dari sudut yang seperti inilah harus kita teropong perkembangan menggembirakan dalam nafas ke-Islaman dalam kesenian kontemporer kita, seperti desain-desain batik dari Amri Yahya, lirik ciptaan Trio Bimbo, puisi anak-anak mudi di harian Pelita dan majalah-majalah keagamaan kita. Kesenian Islam dalam kerangka pandangan ini tidak dapat dibatasi hanya pada ekspresi formal yang dianut selama ini, bahkan mungkin sektor formal ini hanya merupakan bagian terkecil dari keseluruhan ekspresi kesenian yang bernafaskan Islam.
Alat pengukur yang paling utama untuk mengetahui kadar ke-Islaman dari ekspresi kesenian yang beranekaragam itu dapat ditemukan dalam dua hal: (1) Ketaatan asas/konsistensi ekspresi itu sendiri dalam panjang nafas ke-Islaman, dan (2) Kesungguhan isi pesan yang dibawakan itu sendiri.
Di sini kita lalu digugah untuk lebih mampu melakukan teropongan yang matang dan mendalam. Terkadang kedua hal itu dengan cara sangat halus dan terbunyi dalam ekspresi yang biasanya digolongkan ke dalam kegiatan non-agama. Pesan agama lalu diutarakan secara tidak langsung, terkandung dalam pesan lain yang lebih langsung terasa oleh penerimanya.
Kasus kesenian ludruk di Jawa Timur, dengan pesan-pesan utamanya tentang demokrasi yang mempertimbangkan realitas kehidupan dapat dikemukakan sebagai contoh. Tidak akan pernah ada pesan agama yang langsung dapat ditemui dalam mementaskan ludruk. Tetapi, bukankah demokrasi adalah esensi kehidupan menurut konsep kenegaraan Islam. Mengapakah kita tidak mampu memahami “pesan non-kegamaan” ludruk sebagai ekspresi seni yang bernafaskan Islam?
Hambatan psikologis yang timbul dari warisan sejarah masa lampau jelas tidak mudah untuk diatasi dalam menerima beberapa medium kesenian lokal maupun nasional yang telah terlanjur dianggap bukan “ kesenian Islam”. Tetapi rasanya sikap yang menyerah kepada keadaan yang pincang ini jelas tidak akan mendukung perluasan pengaruh kesenian Islam atas kehidupan beragama kita. Kalau kita ingin memperluas jangkauan kehidupan beragama kita, harus pula kita terima perluasan wilayah ekspresi kesenianya. Dengan kata lain, masa depan kehidupan beragama kita ditentukan juga antara lain oleh kemampuan informalisasi bentuk-bentuk kesenian yang dikaitkan dengan Islam.
Tetapi di sini perlu diberikan peringatan keras kepada bahaya, munculnya akulturasi atau pembauran dalam penyampaian pesan yang dibawakan oleh kesenian itu sendiri. Setiap medium kesenian memiliki kekhususan tersendiri yang tidak dapat dibaurkan dengan aspek medium lain, tanpa membunuh ketulusan pesannya dan memupus keharuan yang ditimbulkannya.
Shalawat Nabi dalam bahasa Arab misalnya, memiliki aspek-aspek langgam (meters,`arudh) tersendiri yang ditentukan oleh seni baca huruf dan tata bahasa Arab. Dengan demikian, akultrasi medium shalawat berbahasa Arab ini dengan memaksakan pelanggamannya dalam irama lagu setempat akan merusak hakikat shalawat itu sendiri. Arti pesan lalu menjadi kabur, keharuan tidak dapat, lalu apakah yang dapat kita harapkan? Ekspresi bermain yang tidak memiliki ketulusan sama sekali.
Cara dan penetapan alat pengukuran keterlibatan seni dalam kehidupan beragama Islam di atas dapat membawa kita kepada hasil-hasil konkret dibanyak pembuatan keputusan dan kebijakan, antara lain dalam hal-hal berikut: (1) Perluasan jangkauan kegiatan lembaga-lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan masalah keagamaan yang terutama akan terasa di bidang seni sastra; (2) Pematangan kegiatan lembaga-lembaga kesenian Islam dengan jalan memungkinkan mereka untuk “keluar dari sarang” dan masuk kegiatan kesenian yang selama ini tidak dianggap berhubungan dengan “kesenian Islam”; (3) Kemungkinan masuknya para pemikir budaya dan seniman yang selama ini di luar lingkungan “kesenian Islam” ke dalam pemekaran kesenian Islam itu sendiri; dan (4) Lebih mudahnya mengungkapkan kaitan antara kesenian Islam dalam cakupannya yang baru dengan tuntutan hidup masyarakat modern yang semakin kompleks.
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid.
*Sumber: Buku “Muslim di Tengah Pergumulan” karya KH. Abdurrahman Wahid.