• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Dinamika Hadis dalam Dunia Tasawuf

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2023-12-18
in Tasawuf
0
Dinamika Hadis dalam Dunia Tasawuf

Dinamika Hadis dalam Dunia Tasawuf

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Dinamika hadis dalam dunia tasawuf jadi perdebatan panjang di kalangan ulama, khususnya ulama hadis.

Dalam sejarah peradaban Islam tercatat bahwa disiplin keilmuan-keilmuan dalam Islam seperti tauhid, tafsir, hadis, dan hukum syari’at mulai didefinisikan dan dikodifikasikan pada abad ketiga hijriyah atau kedelapan masehi.

Salah satu diantaranya adalah disiplin keilmuan tasawuf atau sufi yang mulai tersistemasi dengan jelas.

Tasawuf dapat dikatakan sebagai sebuah jalan untuk mencapai pengetahuan spiritual yang diwarisi dari Nabi Muhammad SAW yang berisikan tentang ajaran-ajaran atau amalan-amalan yang dapat memandu secara langsung kepada Allah (al-tariqah ila Allah).[1]

Pada dasarnya tasawuf berakar pada kehidupan Rasulullah SAW yang sederhana, tapi penuh kesungguhan serta budi pekertinya yang merupakan interpretasi dari Al-Qur’an.

Begitu juga visi yang tersebar di kalangan kaum sufi dimana mereka berusaha berperangai sebagaimana perangai Tuhan.

Hal ini tercantum dalam sebuah ungkapan yang masyhur di kalangan mereka yakni al-takhalluq bi akhlaq Allah ‘ala qodrat al-basyar (berperangai sebagaimana perangai Allah sesuai kadar kemampuan manusia).[2]

Perbedaan di antara ulama tasawuf dan ulama non-tasawuf bukan terletak pada pengamalan hadis sebagai landasan melainkan perbedaan tersebut sebagian besar terjadi pada pada penerimaan atas otentisitas sebuah hadis. Di sini lah muncul dinamika hadis dalam dunia tasawuf.

Kedua kubu tersebut sama-sama menggunakan hadis untuk mendukung pernyataan mereka.

Namun, para ulama hadis menganggap bahwa periwayatan hadis dari para muslim zuhud abad kedelapan masehi tidaklah kuat. Dinamika hadis dalam dunia tasawuf muncul juga karena ulama hadis lebih hati-hati.

Meski para ulama tasawuf banyak mengambil pelajaran dalam hal moral dan spiritual dari hadis.

Namun, para ulama hadis menganggap ulama tasawuf lebih memilih untuk menyebarkan hadis yang sudah masyhur di masyarakat tanpa mempertimbangkan validitas hadis tersebut dengan melihat para perawinya.[3]

Muhammad bin Ali al-Hakim al-Tirmidzi, seorang sufi yang tinggal di Khurasan, dikenal karena doktrinnya tentang wilaya (kesucian), yang kemudian menjadi komponen penting dalam pemikiran dan praktik sufi.

Meskipun al-Tirmidzi tidak pernah menggunakan istilah tasawuf, pendekatannya terhadap mistisisme Islam menunjukkan adanya pendekatan mistis yang mirip dengan tasawuf.

Terminologi sufi al-Tirmidzi memang berbeda, tapi kesamaan struktural yang ia tunjukkan dalam karya-karyanya menunjukkan bahwa mistisisme Islam menjadi wacana yang tersebar luas pada akhir abad kesembilan masehi.

Salah satu karya al-Tirmidzi yang paling terkenal adalah Nawadir al-usul (Prinsip Langka), sebuah komentar sufi tentang 291 hadits Nabi Muhammad.

Al-Tirmidzi menunjukkan bahwa hadis Nabi Muhammad adalah inti dari mistisisme Islam. Seorang tokoh sufi lain bernama al-Tustari menafsiri al-Quran dengan menggunakan pendekatan yang serupa dengan al-Tirmidzi.

Meski keduanya tidak menggunakan istilah tasawuf, tapi karya-karyanya merupakan fondasi dasar atas ilmu tasawuf yang kemudian berkembang.

Kedua tokoh tersebut menunjukan bahwa penafsiran mistik terhadap Al-Qur’an dan Hadis dapat mengungkap makna-makna yang susah dipahami jika hanya sekedar membaca teks-teks tersebut.

Melalui upaya mereka menafsirkan Al-Quran dan hadis dengan pendekatan ini, mereka menunjukkan bagaimana mistisisme Islam terus-menerus kembali ke kedua sumber tersebut untuk mendapatkan inspirasi dan doktrin fundamentalnya. [4]

Dalam metode periwayatan hadis, berbeda dengan ulama hadis, ulama tasawuf meyakini sebuah metode periwayatan hadis tanpa melalui sanad-sanad hadis.

Mereka berpendapat bahwa hadis dapat diriwayatkan langsung dari Rasulullah ketika seseorang dengan tingkat spiritual yang tinggi bertemu nabi dalam keadaan tidur (bermimpi) maupun terjaga.

Salah satu hadis yang dijadikan landasan atas pendapat tersebut adalah hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tetaplah hidup di alam barzakh meski telah wafat.

Pada hadis tersebut nabi bersabda “Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada bumi memakan jasad para nabi”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Dawud dengan sanad yang sahih.

Hadis tersebut kemudian dijadikan sebagai landasan pendapat kaum sufi bahwa mereka dapat meriwayatkan hadis langsung dari Nabi Muhammad.

Oleh karena itu, di kalangan sufi dikenal sebuah metode periwayatan hadis yang disebut liqa al-Nabi dan tariq al-kasyf.

Kedua metode tersebut berbeda dengan metode periwayatan hadis yang telah dikenal dan dikembangkan para ulama hadis.

Para ulama hadis juga menganggap bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan menggunakan kedua metode tersebut tidak dapat diterima dan keotentikannya layak dipersoalkan.[5]

Argumen lain mengatakan bahwa apabila mereka (kaum sufi) mendengar seseorang meriwayatkan hadis, maka mereka berkata, “segenap orang miskin itu mengambil hadis dari orang yang mati, sedangkan kami (kaum sufi) mengambil hadis dari yang Maha Hidup (Allah SWT) yang tidak akan pernah mati.

Menurut mereka, apabila ada yang berkata, “Aku meriwayatkan dari ayahku kemudian dari kakekku” maka kaum sufi menjawab, “Aku meriwayatkan hadis dari hatiku, yaitu dari Tuhanku.

Beberapa sufi menganggap ilmu yang diberikan Tuhan kepada mereka dapat dijadikan sebagai penentu keabsahan hadis tertentu.[6]

Meski demikian, secara umum para sufi menghormati sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh para ulama hadis.

Sebaliknya, perbedaan antara kaum Sufi dan para pengkritiknya sehubungan dengan penggunaan hadis terletak pada nilai dan bobot relatif yang diberikan pada hadis-hadis dhaif serta konteks dimana hadis dhaif tersebut harus digunakan.[7]

Pada intinya, dinamika hadis dalam dunia tasawuf memiliki titik temu antara ulama hadis dan kaum sufi, keduanya mengakui akan eksistensi hadis itu sendiri.

Bagi ulama hadis, apa yang datang dari nabi patut untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kaum sufi, setiap perilaku nabi merupakan dasar untuk menempuh jalan spiritual. Adapun letak perbedaan keduanya adalah bagaimana cara menentukan otentisitas hadis tersebut.[8]

Oleh: Muhammad Afda Nahied (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).


[1] Lukman, “Tasawuf Dalam Perspektif Sayyed Hossein Nasr,” El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis 8, no. 2 (2019).

[2] Ahmad Tajuddin Arafat, “Interaksi Kaum Sufi Dengan Ahli Hadis: Melacak Akar Persinggungan Tasawuf Dan Hadis,” Journal of Islamic Studies and Humanities 2, no. 2 (2017): 129–155.

[3] Daniel W. Brown, The Wiley Blackwell Concise Companion to The Hadith (Chichester: John Wiley & Sons Ltd, 2020).

[4] Brown, The Wiley Blackwell Concise Companion to The Hadith.

[5] Idri, “Metode Liqa’ Dan Kashf Dalam Periwayatan Hadis,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 5, no. 2 (2015).

[6] I. F. Rizal, Pemikiran Sufi Di Bawah Bayang-Bayang Fatamorgana (Jakarta: Amzah, 1996).

[7] Brown, The Wiley Blackwell Concise Companion to The Hadith.

[8] Brown, The Wiley Blackwell Concise Companion to The Hadith.

Tags: dinamika hadisdunia tasawufPilar ilmu tasawuftasawud
Previous Post

Jumatan Tingkat Kanak-kanak

Next Post

Bank Sampah Tebuireng, Teladan Kebersihan di Pesantren

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Bank Sampah Tebuireng, Teladan Kebersihan di Pesantren

Bank Sampah Tebuireng, Teladan Kebersihan di Pesantren

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Kemenhaj Resmi Rilis Desain Batik Baru untuk Penyelenggaraan Haji 2026
  • Berdakwah Ala Jek: Penuh Humor tapi Teguh Syariat
  • Hati-Hati Bahaya Maghrur, Tertipu Oleh Kebaikan Diri Sendiri
  • Manusia dalam Pancasila: Makhluk Monoplural yang Menyatu dalam Keberagaman
  • Menjadi Mandiri: Seni Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng