Jumatan tingkat kanak-kanak adalah ritual ibadah Shalat Jumat yang ditunaikan oleh pantaran anak saya yang masih TK (Taman Kanak-kanak). Motivasi berangkat jumatan tiada lain adalah berkat, makanan bungkusan yang ia istilahkan dengan “bekal”. Di banyak masjid sudah lazim mengoperasikan berkat bagi para jamaah seusai jumatan untuk dibawa pulang atau terkadang dimakan di serambi masjid.
Di beberapa mushalla biasa setalah pembacaan tahlil Kamis malam Jumat. Kadang bentuk berkat, tumpeng, mie instan, atau makanan ringan. Yang menjadi ritual sosial keagamaan, seringkali diselenggarakan pada hari besar Islam, yang dikenal dengan istilah “megengan”. Anak-anak kecil mesti senang datang ke mushalla pada momen tersebut dengan canda tawa mereka tanpa mengindahkan wejangan imam mushalla, juga “syuuut-syuuut” lisan orang-orang tua.
Saya tidak tahu, apakah berkat Jumat dari derma personal atau diambilkan dari kotak amal masjid. Bagi saya, keduanya sah-sah saja. Sebab, orientasi masjid pada awalnya adalah syiar agama Islam, menyebarkan, menanamkan, proses pendidikan, dan character building (pembangunan karakter) umat Islam yang berpusat pada masjid. Maka, pengoperasian dana masjid untuk hal-hal yang mendukung tercapainya tujuan, berhukum sama dengan tujuan, “mā lā yatimmu al-wājib fahuwa wājib”. Asal bukan dana wakaf. Dan biar dana yang terkumpul tidak hanya habis buat taḥsiniyāt (kemegahan) bangunan atau fasilitas saja, melainkan buat pembangunan SDM (sumber daya manusia) umat Islam yang jauh lebih penting.
Berkat Jumat buat anak kecil sebagai generasi penerus risālah Islāmiyah (ajaran Islam) menjadi penting. Penanaman cinta kepada masjid, “al-qalbu yata’allaq bil masājid” tidak ujug-ujug tumbuh dari dalam diri anak-anak seusia TK. Penanaman dengan iming-iming berkat menjadi salah satu piranti penting.
Tingkat anak TK tentu berbeda dengan yang seusia SD, berbeda dengan yang seuisa SMP, SMA, dan dewasa. Demikian juga dalam khazanah Islam, kita diperkenalkan dengan istilah awām (TK), khāṣ (SMP), dan khawāṣ al-khawāṣ (SMA). Bagi orang awam, kemampuan menuliskan angka satu sampai dengan sepuluh, maka sudah mendapatkan nilai seratus. Bisa rutin berangkat berjamaah, menunaikan ibadah shalat Jumat, bagi orang awam sudah mendapatkan pahala yang sangat besar. Berbeda dengan yang sudah SMP, tanpa mampu menjumlah bilangan, mengalikan, membagi, memahami paragaraf, dan seterusnya maka tentu tidak mendapatkan nilai yang sempurna.
Yang menjadi garis bawah, untuk masuk jenjang SMP, perlu melewati TK dan SD. Untuk mendapatkan keindahan dasar laut, butuh penyelaman. Untuk mengetahui isi buah dan menikmatinya, melalui kulit luar. Demikian yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam Bidāyah Al-Hidāyah. Demikian juga meraih ḥalāwatul īmān (kelezatan iman) dalam beribadah, yang penting melewati jalur formal fikih syariatnya dulu, “wa’bud rabbaka ḥattā ya’tiyaka al-yaqīn”. Para mufassir menekankan bahwa berpegang teguh menunaikan ibadah itu berlangsung hingga datang ajal. Namun, bisa saja kita memahami sebagai perintah untuk menjalankan ibadah terus menerus hingga merasakan kenikmatan iman.
Melalui “berkat jumat” untuk memikat anak-anak TK, mampu membiasakan diri mereka untuk merasa nyaman, cinta, terngiang, dan ingin selalu pergi ke masjid. “Berkat jumat” menjadi langkah nyata dan teknis. Menjadi wujud riil bahwa definisi ilmu adalah mentransformasikan masing-masing personal dari satu terminal menuju terminal lain. Anak kecil yang tidak jumatan (Shalat Jumat) menjadi jumatan, yang biasa jumatan menjadi senang menunggu hari Jumat. Yang demikian membuktikan bahwa ilmu bukan hanya sekadar pengepul pengetahuan sebagaimana yang dilakoni oleh mesin pencari (search engine) Google. Proses pembiasaan yang demikian tentu tidak membutuhkan waktu yang sebentar.
Hanya saja, “berkat Jumat” adalah pemikat buat anak TK agar terbiasa datang ke masjid “al-qalb yata’allaq bil masājid”. Saya sangat yakin, bila yang kecil mendapatkan berkat, dan yang sudah dewasa mendapatkan uang seratus ribu atau dua ratus ribu, pasti hari Jumat akan semarak sebagaimana hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, bahkan bisa semakin ramai. Saya tidak mengatakan bahwa yang mengharapkan iming-iming ratusan ribu itu setingkat anak saya yang masih di taman kanak-kanak.
Baca Juga: Pesantren Kids