tebuireng.co – CPNS lewat jalur suap atau memberi uang agar lolos menjadi pegawai pemerintah menjadi perdebatan banyak kalangan. Ada yang mengatakan harams ecara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat ketentuan berlaku. CPNS singkatan dari Calon Pegawai Negeri Sipil.
Menurut KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam konteks ini sangat menekankan soal niat dari memberi uang ini. Niatnya harus benar-benar lurus. Kalau salah niat, ya wassalam. Bisa sama-sama terjerumus ke dalam kefasikan.
“Misalnya dalam kompetensi CPNS yang bayar nanti diterima, apabila tidak bayar maka tidak jadi. Jika Anda merasa mampu dan bisa memperbaiki departemen itu kalau jadi. Jika kamu bayar, anggap saja membeli kebenaran. Jika ini benar demi kebenaran, kalau untuk nasib sendiri beda lagi,” jelasnya.
Masalah CPNS lewat jalur suap ini diangkat dalam Muktamar ke-31 NU di Asrama Haji Donohudan Kabupaten Boyolali pada 29 November-1 Desember 2004 pada Sidang Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Waqi’iyyah, yaitu perihal penyuapan dalam penerimaan PNS.
Para muktamirin ketika itu dihadapkan pada pertanyaan bagaimana hukum memberi dan menerima sesuatu agar diterima sebagai PNS dan semacamnya?
Para kiai peserta muktamar ketika itu menjawab bahwa pemberian sesuatu untuk menjadi PNS dan semacamnya adalah risywah (suap). Pada dasarnya risywah itu hukumnya haram, kecuali untuk menegakkan kebenaran atau menolak kebatilan, maka tidak haram bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima.
أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطي لاضطراره للتوصل لحق بأي طريق كان
Artinya, “Atau (ia memberikan suap) dimaksudkan agar hakim memberikan putusan hukum yang menguntungkannya secara benar, atau dimaksudkan untuk mencegah kezaliman, atau dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, maka yang fasik hanya yang mengambil (suapnya) saja. Sedangkan yang memberi tidak berdosa karena terpaksa agar bisa mendapat haknya dengan jalan apapun,” (Lihat Al-Habib Abdullah bin Husein Ba‘alawi, Is‘adur Rafiq wa Bughyatus Shadiq, Surabaya, Al-Hidayah, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 100).
Dari sejumlah keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik suap untuk penerimaan CPNS, lembaga negara, atau lembaga swasta tidak dibenarkan menurut Islam.
Hanya saja, ketika sebuah sistem memaksa individu masyarakat untuk melakukan praktik suap, maka masyarakat dibolehkan dengan terpaksa (darurat) melakukan suap untuk mendapatkan hanya berupa layanan dan lain sebagainya yang merupakan haknya.
Dalam konteks ini adalah bahwa yang memberikan suap telah memenuhi kriteria dan formasi yang ditetapkan oleh panitia penerimaan CPNS, karyawan baru pada lembaga negara atau lembaga swasta.
Yang perlu dilakukan dalam kondisi ini, menurut hemat kami, adalah reformasi birokrasi, perbaikan administrasi yang terbuka dan transparan, mengubah mental korup yang bobrok, dan tentu saja menguatkan sistem administrasi dengan kontrol dan evaluasi berkala.
Ini membutuhkan kerja sama semua pihak untuk mewujudkan sistem birokrasi yang bersih dan terbuka, bebas pungli dan suap.
Hal serupa dengan CPNS lewat jalur suap juga dijelaskan Gus Baha terkait masalah suap dalam politik? Untuk saat ini, rasanya mustahil seseorang bisa memenangi pemilihan tanpa disertai money politics, meski yang bersangkutan terkenal sholeh?
Terkait dengan itu, Gus Baha menjelaskan, pemberian uang kepada pemilih oleh orang saleh yang sedang mencalonkan diri, bisa dibenarkan. Dengan catatan diniati untuk mengalahkan kefasikan.
Jika orang salih tidak memberi uang, maka yang potensial menguasai adalah orang fasik, maka memberikan uang itu bisa dibenarkan. Niatnya harus membeli kebenaran dan mengalahkan kefasikan. Dalam hal ini, Gus Baha tidak menghalalkan suap, tapi untuk membeli kebenaran.
“Jadi, hadis Rasi wal murtasi winnar. Orang yang menyuap dan yang menerima suap dimasukkan ke neraka, tidak bisa dipahami secara harfiah begitu saja. Harus ada penjelasan hukum berdasarkan kondisi di lapangan. Makanya, harus ngaji atau tanya ke ulama,” imbuh Gus Baha.
Terkait dengan “membeli kebenaran” ini, Gus Baha menceritakan bahwa dulu ada seorang Baduy (orang Arab pedalaman) datang ke Rasulullah. Kepada Rasulullah, orang tersebut minta sesuatu.
Nabi pun memberi yang diminta di Baduy tadi. Namun, jumlahnya sedikit. Rupanya, si Baduy kecewa dengan pemberian sedikit itu. Dia lalu menyebarkan berita kurang baik ke masyarakat. Akhirnya, persepsi kurang baik pun menimpa Nabi Muhammad. Cerita ini bisa jadi dasar kebolehan suap untuk membeli kebenaran.
Mendapati itu, beberapa sahabat dekat Nabi Muhammad tidak terima. Mereka melaporkan hal itu kepada nabi. Akhirnya, Nabi Muhammad pun memerintahkan agar si Baduy tadi dipanggil untuk menghadap nabi kembali.
Setelah si Baduy menghadap, Nabi Muhammad pun akhirnya memberikan sesuatu tambahan. Namun, disertai syarat agar setelah mendapatkan tambahan itu, si Baduy meralat berita buruk yang sudah terlanjur disebarkannya itu.
Merujuk pada peristiwa itu, Gus Baha menyimpulkan memberi sesuatu kepada seseorang agar yang bersangkutan menyampaikan kebenaran adalah boleh. “Jadi, memberi uang kepada masyarakat agar mereka memilih pemimpin yang salih bisa dibenarkan.”
Gus Baha mengingatkan bahwa menegakkan kebenaran di tengah-tengah masyarakat memang tidak gampang. Berbagai cara terpaksa harus dilakukan. Harus fleksibel. Termasuk terpaksa melakukan suap.
Termasuk hal-hal yang secara dhohir seperti melanggar syariat. Namun, jika diniati untuk sesuatu yang baik dan benar, maka hal itu bisa dibenarkan. Itu harus dilakukan dengan berdasarkan ilmu. Tidak boleh asal melakukan tanpa memiliki ilmu.