tebuireng.co– Diceritakan oleh seorang laki-laki dari Qabilah Khots’am, ia berkata, “Pada suatu hari aku mendatangi Rasulullah Saw yang ketika itu beliau berada di tengah-tengah sahabatnya, lantas aku bertanya, “Apakah kau yang mengaku menjadi utusan Allah SWT?. Rasulullah menjawab, “Betul”. Lantas aku bertanya lagi, “Manakah amal yang paling dicintai Allah?”. Rasulullah menjawab. “Iman kepada Allah Swt.” Lalu apalagi? Rasulullah menjawab, “Silaturrahim”, Lantas apalagi? Rasulullah menjawab, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.
Aku bertanya lagi, “Apa amal yang dimurkai Allah Swt?” Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah Swt” Lantas apalagi? “Memutus silarurrahim”. Lantas apalagi? Rasulullah menjawab, “Memerintahkan kemunkaran dan melarang kebaikan”.
Dari Abi Ayyub, sesungguhnya ada seorang A’raby mendatangi Rasulullah Saw ketika beliau bepergian. Sambil memegangi kendali unta Rasulullah Saw, dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ceritakan kedaku tentang amal yang (bisa) mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka!” lantas Rasulullah berhenti dan memandang kepada beberapa sahabatnya dan bersabda, ”Sungguh orang telah diberi taufiq atau diberi petunjuk,” seraya Rasulullah Saw bertanya balik, “Apa yang kau katakan?” dan A’raby pun mengulangi perkataannya.
Kemudian Rasulullah SAW menjawab. “Sembahlah Allah SWT, jangan kau sekutukan Dia, dirikanlah shalat, tunaikan zakat, sambunglah tali silaturrahim dan (sekarang) lepaskan (tali) untaku. kemudian ketika A’raby tersebut berpaling meninggalkan Rasulullah, maka Rasulullah bersabda lagi, “jika kau berpegang teguh dengan apa yang aku perintahkan, maka kau akan masuk surga”.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT akan senantiasa memakmurkan perkampungan sebuah kaum dan melipatgandakan penghasilan mereka dan Allah SWT tidak pernah memandang mereka dengan pandangan kebencian mulai mereka diciptakan.” lantas Rasulullah ditanya, “Apa sebabnya Yaa Rasululah?” , Rasulullah menjawab, “Sebab mereka rajin menyambung tali silaturrahim di antara mereka”.
Peringatan!
Yang dimaksud dengan silaturrahim yang wajib disambung adalah seseorang yang hubungan mahram. Yang dimaksud dua orang yang satu lelaki dan yang lain perempuan, maka mereka berdua tidak boleh (baca: haram) menikah, seperti (hubungan), bapak, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, kakek, nenek walaupun se atasnya, paman dan bibi. Adapun anak mereka (paman-bibi), maka menyambung silaturrahim dengannya tidaklah wajib, seperti halnya diperbolehkan terjadi pernikahan di antara mereka.
Dari Aisyah RA, Rasulullah bersabda, “Sungguh, barang siapa diberi kelembutan oleh Allah SWT, maka sesungguhnya dia diberi kebaikan dunia dan akhirat. Menyambung tali silaturrahim, keharmonisan bertetangga dan budi pekerti yang baik, bisa memakmurkan negara dan menambah (memanjangkan) umur”.
Dari Durrah Binti Abi Lahab, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SW, Yaa Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah SAW menjawab, “Adalah yang paling bertaqwa terhadap Tuhannya, yang paling suka menyambung tali silaturrahim, yang paling sering memerintah kepada kebaikan dan melarang dari kemunkaran.
Dari Anas ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Jangan kalian saling memutus silaturrahim, saling tidak bertegur sapa, saling membenci dan saling iri dengki. Jadilah diri kalian, wahai hamba-hamba Allah SWT sebuah persaudaraan. Tidak boleh bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya di atas tiga hari. Ketika mereka berdua bertemu, yang satu memalingkan mukanya sementara yang lain melakukan hal yang sama. Orang yang lebih baik dari keduanya adalah orang yang (ketika bertemu) mengawali dengan mengucapkan salam. Dia akan lebih dahulu masuk surga.”
Imam malik berkata, “aku mengartikan At-Tadaabur adalah dengan memalingkan wajah ketika bertemu”.
Dari Abu Huraira, ia berkata, “Rasulullah bersabda, tidak boleh bagi seorang muslim mendiamkan saudara (sesama muslim) diatas tiga hari. Dan barang siapa mendiamkan saudaranya di atas tiga hari, kemudian meninggal dunia, maka ia masuk neraka”.
Dari riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh bagi seorang muslim mendiamkan saudara selama tiga hari. Lantas apabila telah lewat tiga hari, maka sebaiknya bagi muslim mengucapkan (mengirimkan) salam kepada saudara. Dan apabila saudaranya menjawab salam, maka mereka berdua telah bersatu dalam pahala. Apabila tidak menjawab, maka dia kembali dengan membawa dosa, sementara sang muslim telah keluar dari tuntunan hujrah (mendiamkan saudaranya).”
Peringatan!
Yang dimaksud hujrah adalah mendiamkan saudaranya selama tiga hari tanpa ada tujuan syar`i. dan yang dimaksud dengan At-Tadabbur adalah berpaling dari saudaranya, yaitu ketika bertemu saudara sesama muslim dia memalingkan wajahnya ke arah lain.
Yang dimaksud At-Tasyahun adalah kecenderungan hati untuk berbuat sesuatu yang bisa menyebabkan perpecahan atau sakit hati. Dan itu semua masuk dalam kategori memutus tali persaudaraan. (menurut syaikh Ibnu Hajar dalam kitab Az-Zawajir)
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah SAW bersabada, “Tidak boleh hajru (mendiamkan saudara) di atas tiga hari. Apabila mereka berdua bertemu dan salah satunya mengucapkan salam, maka mereka berdua telah bersatu dalam pahala. Kemudian apabila tidak menjawab, maka yang mengucapkan salam telah bebas dari dosa, sementara yang lain tetap kembali dengan membawa dosa”. Dan Rasulullah berkata pula, “Jika mereka berdua meninggal dalam keadaan saling bermusuhan, maka mereka berdua tidak akan bisa berkumpul di dalam surga.”
Dari Abdullah Bin Mas’ud, ia berkata, “Tidaklah dua orang muslim itu saling bermusuhan kecuali salah satunya telah keluar dari agama Islam, sehingga salah satunya kembali kepada Islam (baca; membatalkan hajru dengan salam). Yang demikian itu tiada lain caranya hanya dengan mengucapkan salam”.
Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya dua orang yang muslim itu melakukan hajru, maka niscaya salah satunya ada yang keluar dari Islam, yakni yang melakukan kedzaliman”.
Faedah
Ibnu Hajar dalam kitab Az-Zawajir berkata, “Mendiamkan orang muslim selama tiga hari adalah dosa besar. Karena dalam hal itu terdapat upaya pemutusan hubungan persaudaraan, menyakitkan hati dan menimbulkan kerusakan. Kecuali dalam beberapa hal yang diperbolehkan melakukan sikap hajru. Artinya, selama hajru itu berorientasi (bertujuan) pada kebaikan keagamaan orang yang mendiamkan atau orang yang didiamkan, maka boleh. Jika tidak bertujuan kepada kebaikan agama, maka tidak boleh.
Dan menurutku, (KH. M. Hasyim Asy’ari) apa yang pernah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa, perseteruan yang terjadi di antara kita pada saat sekarang ini, itu tidak bertujuan kepada kebaikan agama dan dunia. Bahkan bisa jadi, hal itu terjadi karena sudah rusaknya agama dan dunia dari tatanan yang mapan. Dan perseteruan itu adalah dosa besar, karena di dalamnya terdapat upaya pembusukan agama dan dunia, saling iri dan benci. (MT)
*Disarikan dari kitab At-Tibyan fi An-Nahyi ‘an Muqatha’ati Al-Arham wa Al-Aqarib wa al-Ikhwan, karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, hlm. 8-12.