Memasuki bulan Ramadan, banyak pilihan tentang menu berbuka puasa. Selain itu, juga berkembang pemahaman di masyarakat bahwa sunnah berbuka dengan sesuatu yang manis. Benarkah demikian?
Menarik, kajian-kajian hadis tentang puasa dan Ramadan banyak dibahas di berbagai forum. Bahkan bisa menjadi iklan atau marketing usaha di sektor pangan, dalam bentuk hidangan berbuka. Misalnya saja ada hadis tentang Nabi berbuka dengan kurma atau air putih. Kita menyimpulkan bahwa ‘sunnah berbuka dengan kurma’. Bahkan berkembang lagi menjadi ‘sunnah berbuka dengan sesuatu yang manis’. Apa benar demikian maksud dari hadis nabi tersebut?
Dalil hadis ini disebutkan dalam riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Dawud dari Sayyidina Anas Ra:
كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُفطِرُ علَى رُطَباتٍ قبلَ أن يصلِّيَ فإن لم تكن رُطَباتٌ فعلى تَمراتٍ فإن لم تَكُن حَسا حَسَواتٍ مِن ماءٍ
“Dulu Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam berbuka menggunakan kurma ruthab (setengah matang) sebelum melaksanakan shalat. Jika tidak mempunyai ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa biji tamar (kurma kering), jika tidak mempunyai beberapa tamar maka berbuka dengan beberapa teguk air.”
Sedangkan di hadis yang lain juga disebutkan fadilah atau keutamaan dari buah kurma:
عن عائشة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «بيت لا تمر فيه جياع أهله
“Dari Aisyah r.a., dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Rumah yang tidak ada kurma di dalamnya, maka penghuninya kelaparan.’” (H.R. Muslim)
Tentu sebagai muslim yang lahir di Indonesia tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengonsumsi buah kurma, meskipun kurma sudah tersebar di banyak tempat. Namun, bukan itu poin pembahasan kali ini. Yang penulis ulas ialah mengapa kita menganggap kurma disamakan dengan makanan manis, sehingga menyebar pemahaman sunnah berbuka dengan yang manis?
Hal ini sebenarnya sudah disinggung dalam kitab Fathul Mu’in di bab puasa, disebutkan:
فقول الروياني: الحلو أفضل من الماء – ضعيف، كقول الاذرعي: الزبيب أخو التمر، وإنما ذكره لتيسره غالبا بالمدينة
“Perkataan Ruyani: ‘manis lebih utama dari air’ ialah lemah. Seperti perkataan Azdra’i: ‘Kismis itu saudara kurma, bahwa nabi menyebutnya karena kurma mudah ditemukan di Madinah.”
Ini komentar tentang hadis secara proporsional. Karena tidak tekstualis, tetapi melihat ‘illat hukum apa di balik kurma tersebut. Ruyani berpendapat bahwa kurma dianggap sebagai makanan yang manis sehingga ia mengunggulkan makanan manis daripada air putih. Sedangkan Azdra’i berbeda, ia menganggap bahwa kenapa nabi mengatakan kurma, kok bukan zabib (anggur kering), karena kurma lebih mudah ditemukan di Madinah. Meskipun dua pendapat ini masih dalam kategori pendapat yang lemah.
Kalau kita elaborasi lagi, Syekh ‘Athiyyah M Salim dalam Syarah Bulughul Maram memberikan keterangan menarik, seperti ini:
ويقول الأطباء: حينما يكون الإنسان جائعاً ظامئاً فهو في لهفة إلى أن يأكل ويشرب كثيراً، وهذا على المعدة الخالية مضر، فإذا أكل الحلو -مطلق الحلو عندهم- فإنه يكسر شهوة النهم، ويجعل الإنسان يكتفي بالقليل من الطعام، فإذا كان جائعاً عطشاناً وأكل الرطبات انكسرت حدة الجوع، واكتفى بما تيسر، فيكون أنفع له.
“Para ulama ahli kedokteran berpendapat: Ketika manusia sedang lapar dan dahaga, ia dalam keadaan merana ingin makan dan minum banyak, kondisi perut kosong yang berbahaya, maka ketika ia makan makanan manis, sesungguhnya ia telah menghancurkan nafsu kerakusan. Manusia menjadi cukup dengan sedikit makanan. Ketika ia telah lapar haus dan makan kurma basah, maka hancurlah lapar yang akut. Dan ia cukup dengan sesuatu yang tersedia, maka itulah yang lebih manfaat baginya.“
إذاً: هذا إرشاد من النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير الإنسان عند فطره أحد هذه الأنواع
“Oleh karena itu, ini merupakan petunjuk dari nabi shallahu ‘alaihi wa sallam agar manusia memilih ketika berbuka pada salah satu dari beberapa makanan ini (kurma, air, dan lain-lain).”
Dengan keterangan di atas, kita seperti belajar kembali kaidah dasar dalam ushul fiqh bahwa makna fi’lu nabi (tindakan nabi) tidaklah selalu dianggap wajib.
Seperti penjelasan Syaikh Muhammad Hasan Abdul Ghoffar dalam kitab Taisir Ushul Fiqh lil Mubtadi’in:
الأصل في أفعال الرسول أنها ليست واجبة، وهذا يفيدك علمياً
“Hukum asal dalam perilaku-perilaku Rasulullah tidaklah dianggap wajib. Ini memberi faidah ilmu padamu.”
Tindakan atau perilaku nabi mempunyai hukum yang berbeda, tidak bisa semua dipukul rata dengan satu hukum, dan yang memutuskan hukum ialah para ulama.
Dalam konteks hadis nabi soal berbuka dengan kurma, ialah perilaku nabi yang disebut af’alu al-jibliyyah (kegiatan Nabi sebagai seorang manusia) dan ini akan bernilai ibadah jika dibarengi dengan doa berbuka puasa.
Di satu sisi Nabi melakukan berbuka dengan kurma yang manis bukan berarti secara tekstual kita harus sama seperti itu, seperti zakat nabi dengan kurma sedangkan kita zakat fitrah dengan beras. Itu disamakan (qiyas), karena kurma dan beras sama-sama menjadi makanan pokok negara.
Jadi, hukum dan teladan yang bisa diambil ialah nabi berbuka dengan sesuatu yang sedikit, entah dengan kurma atau sejenisnya, bahkan bisa cuma air saja, tujuannya untuk melawan nafsu rakus ketika berbuka. Sehingga tidak harus berupa kurma, atau sesuatu yang manis, tetapi makanan apa saja asalkan tidak berlebihan dan halal.
Tentu masih banyak pendapat lain dan bahkan pemahaman lain mengenai hadis di atas. Meski hadis di atas berkedudukan hasan, tetapi dalam ranah fiqhul hadis maupun living hadis masih bisa didiskusikan lagi. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Memperbanyak Niat Baik di Bulan Ramadan