• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Jejak Perkampungan Melayu di Makkah

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-07-26
in Seni & Budaya
0
Jejak Perkampungan Melayu di Makkah

Jejak Perkampungan Melayu di Makkah (ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Jejak perkampungan Melayu di Makkah Al-Mukarramah sudah ada sejak dulu kala. Tokoh Melayu banyak belajar di Makkah lalu menatap di sana hingga wafat.

Menjejakkan kaki di bumi Makkah dan Madinah menjadi impian setiap umat Islam. Makkah bukan saja menjadi tumpuan umat Islam dari seluruh dunia ketika musim haji, bahkan sudah menjadi destinasi utama bagi umat Islam sepanjang tahun untuk mengerjakan ibadah umrah.

Bagi seorang tamu Allah yang pernah datang ke tanah suci untuk menunaikan umrah atau pun ibadah haji, pasti tersemat harapan untuk dapat datang kembali mengunjungi kedua kota suci ini.

Kota ini terlalu istimewa bagi umat Islam karena Makkah dan Madinah merupakan kota suci yang juga dikenal dengan panggilan tanah haram.

Orang Melayu bukanlah orang asing di kota Makkah dan Madinah. Orang Melayu telah menetap dan menjadi penduduk di Mekah, dan Madinah sejak Ratusan tahun yang silam.

Dibalik kunjungan para jemaah dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah ke tanah suci Makkah, tidak banyak di antara mereka yang mengetahui bahwa terdapat sebuah perkampungan masyarakat Melayu di Kota Makkah.

Perkampungan Melayu di Kota Makkah Al-Mukarramah terletak di Jabal Ajyad kira-kira satu kilo meter dari Masjidil Haram. Orang Melayu sebenarnya sudah sejak lama bermukim di Makkah, diperkirakan sejak 200 tahun lalu, dan kebanyakan mereka sebelumnya hanya datang untuk menunaikan ibadah haji dan umrah sebelum mengambil keputusan menetap di tanah suci, tujuan mereka menetap adalah untuk mendalami ilmu agama.

Penduduk Kampung Melayu yang bermukim di kota Makkah diperkirakan antara 40,000 hingga 50,000 jiwa, yang kesemuanya berketurunan Melayu berasal dari Malaysia, Indonesia dan Patani Thailand.

Dahulu, penempatan masyarakat Melayu di sekitar Masjidil Haram yaitu berhadapan dengan pintu Raja Fahd dan aktifitas yang dilaksanakan oleh mereka ialah menguruskan kedatangan jemaah haji dari negara masing-masing.

Perkampungan kecil di pekarangan Masjidil Haram itu hanya bertahan sehingga penghujung 1990-an, karena pemerintah Arab Saudi membuat keputusan untuk melaksanakan perluasan kawasan Masjidil Haram secara besar-besaran.

Pemukiman masyarakat Melayu sebelumnya berada di depan pintu Raja Fahd tersebut terpaksa dipindahkan ke beberapa kawasan lain dan antara lokasi yang ditawarkan ialah di Jabal Ajyad yang menjadi penempatan sebagian dari masyarakat Melayu hingga kini.

Di perkampungan Melayu ini terdapat sebuah masjid yang dikenal dengan nama masjid Kelantan. Hal ini menunjukkan orang Melayu telah lama berdomisili di Makkah dan Madinah.

Integrasi mereka dengan masyarakat Arab telah menyumbang perkembangan bahasa Melayu di bumi Anbiya. Serta membuat jejak perkampungan melayu di tanah suci.

Apa yang membanggakan kita, bukan saja Melayu tegak berdiri di bumi Arab, malah ia turut mengembangkan penggunaan bahasa Melayu dalam kalangan masyarakat Arab dan seluruh penduduk Makkah dan Madinah.

Integrasi orang Melayu dengan penduduk setempat menyebabkan bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa perantaraan dalam dunia perniagaan, seperti kata Laksamana Hang Tuah “takkan Melayu hilang di dunia” ternyata menjadi kenyataan. Itulah manfaat sekilas dari keberadaan jejak kampung melayu.

Komunitas Jawi di Bumi Anbiya

Sejak Dinasti Usmani mengamankan jalur perjalanan haji, kian banyak pula yang menuntut ilmu pada abad ke-14 hingga ke-15. Hal itulah yang mendorong munculnya komunitas Jawi.

Orang Arab menyebutnya ashab al-Jawiyin (saudara kita orang Jawi). Komunitas Jawi untuk menyebut orang-orang yang berasal dari Nusantara (bahkan Asia Tenggara).

Nama-nama ulama seperti Syaikh Yusuf al-Makassary (Makassar) dan Syaikh Abdul Rauf al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17.

Syaikh Abdul Shomad al-Palimbani (Palembang), Syaikh Nafis al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syaikh Arsyad al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18. Biografi Abdul Shomad bahkan masuk dalam kamus ulama-ulama Arab.

Kita juga mengenal nama-nama seperti Syaikh Nurudin al-Raniri (Aceh), Syaikh Abdul Rahman al-Masry al-Batawi (Jakarta), Syaikh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Makkah. Karena tak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Makkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram.

Peneliti sufisme dari Universitas Utrecht, Belanda, Martin van Bruinessen (Kitab Kuning, 1995) menyebutkan ada tiga ulama yang menjadi guru di Masjidil Haram. Pengaruhnya pun sangat besar terhadap jemaah haji di Nusantara.

Ketiga ulama itu adalah ;

  1. Syaikh Nawawi al-Bantani
    Syaikh Nawawi berasal dari Tanara, Banten, adalah ulama yang rendah hati, sangat alim, dan penulis kitab produktif.
  2. Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
    Syaikh Ahmad Khatib berasal dari Minangkabau, adalah mujaddid, yang mendorong pembaruan di Minangkabau. Ahmad Khatib bahkan menjadi imam di Masjidil Haram.
  3. Syaikh Mahfudh At-Tarmisi.
    Syaikh Mahfudh berasal dari Tremas, Pacitan, adalah ulama yang sangat dihormati para kiai Jawa. Murid kesayangannya yaitu KH Hasyim Asyari, pendiri NU, membawa tradisi yang diajarkan Syaikh Mahfudh ke Indonesia.

Pada pertengahan abad ke-20, terdapat Syaikh Muhsin al-Musawwa (keluarganya berasal dari Palembang) yang merupakan rektor Darul Ulum. Juga ada Syaikh Ali Banjar. Jejak ulama kita yang paling terdekat adalah Syaikh Yasin Padani (nenek moyangnya asal Padang).

Banyak ulama Indonesia yang belajar pada rektor Darul Ulum ini. Bahkan para pemimpin negeri ini juga sowan ke Syaikh Yasin. Syaikh Yasin (1916-1990) yang pernah berkunjung ke Indonesia dikenal sangat sederhana. Walaupun ulama besar tetapi tak malu ke pasar, bahkan memanggul sendiri barang-barang.

Membayangkan ulama-ulama besar itu, kita tentunya ikut bahagia karena di masa lampau nama masyarakat Melayu telah harum di bumi Anbiya, bahkan di Masjidil Haram yang merupakan pusat ilmu Islam.

Semoga kita semua tahun ini ataupun di tahun yang akan datang bisa melaksanakan ibadah haji ataupun umroh di tanah suci bersama keluarga.
Aamiin ya Rabbal’alamin…

لَبًَيْكَ الهُمَّ لَبَّيّكَ . لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ .
اٍِنَّ الْحَْمْدَ وّالنِّعمَۃَ لَكََ والْمُلْكَ لَا شَرِ يّكَ لَكَ
labbaika Allahumma labbaik. labbaika la syarika laka labbaik.
innal hamda wanni’mata laka wal mulk . la syarika lak

Aku datang memenuhi panggilan Mu Ya Allah
Aku datang memenuhi panggilan Mu.
Aku datang memenuhi panggilan Mu tidak ada sekutu bagiMu. Aku datang memenuhi panggilanMu.
Sesungguhnya segala puji. ni’mat dan segenap kekuasaan adalah milik Mu. tidak ada sekutu bagi Mu.

Tags: jejak kampung melayu di Makkah
Previous Post

Sejarah Nama “Muhammad” sebagai Nama Nabi

Next Post

Waktu Mustajab untuk Berdoa

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Waktu Mustajab untuk Berdoa

Waktu Mustajab untuk Berdoa

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Kemenhaj Resmi Rilis Desain Batik Baru untuk Penyelenggaraan Haji 2026
  • Berdakwah Ala Jek: Penuh Humor tapi Teguh Syariat
  • Hati-Hati Bahaya Maghrur, Tertipu Oleh Kebaikan Diri Sendiri
  • Manusia dalam Pancasila: Makhluk Monoplural yang Menyatu dalam Keberagaman
  • Menjadi Mandiri: Seni Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng