tebuireng.co– Gelombang spiritualitas bisa saja terjadi di zaman edan, di mana orang-orang hanya bersemarak merayakan simbol-simbol keagamaan. Seperti saat ini Apabila dihitung dengan skala besar, nampaknya penganut agama Islam kian hari semakin bertambah populasinya. Setiap hari terdengar lantunan syahadat dari mulut orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang pasrah dan tunduk kepada Tuhan, sehingga mendapatkan gelar sebagai muslim. Jika dilihat dari data faktual, populasi muslim seluruh dunia yang sudah mencapai lebih dari 1 Milyar ini tidak akan membuat Islam menjadi runtuh, apalagi ‘gulung tikar’. Hanya saja, berbagai problem pasti akan selalu menghantui Islam dan penganutnya itu sendiri.
Zaman Edan Laris Manis
Setiap zaman ada masing-masing keedanan-nya. Zaman edan dahulu dan sekarang bisa jadi sama, bisa jadi berbeda. Zaman edan muncul tentu tidak lepas dari pengaruh orang-orang beragama. Berbagai problem mengatasnamakan agama Islam tak henti-hentinya menghiasi berbagai tempat bertukar informasi; media cetak, media online, warung kopi, angkringan, pos ronda, sampai di kantor-kantor.
Kita bisa lihat bersama, tatkala Islam menjadi komoditas yang laris manis di pasaran. Label-label agama yang dijadikan embel-embel produk, seperti bank syariah, pariwisata syariah, hijab syar’i, produk halal, kini menjadi lahan empuk untuk dikapitalisasi. Suatu saat akan muncul obat syariah, minuman Islami, bahkan sekalian saja rok mini syar’i. Ini nampak sepele, tetapi sungguh kompleks bila diuraikan. Orang Islam sudah semakin tidak mudah membedakan baik-buruk, haqq-bathil, maupun halal-haram.
Hanya Berhenti di Ritual
Banyak orang resah dengan keislamannya sendiri. Setiap hari jungkir balik menunaikan shalat wajib bahkan beserta yang sunnah-sunnah. Tidak sedikit yang hanya mendapatkan keringat, lalu mengering tak tersisa. Setiap tahun atau ketika waktunya tiba, zakat selalu dikeluarkan, meski terkadang ada rasa “tak tega” melepaskan nominal nishab zakatnya itu. Puasa pun begitu, ajang di mana melatih diri, menahan diri dan mengembangkan diri, kini ditambah pula disemarakkan dengan agenda berjamaah “melampiaskan nafsu” makan dan minum lantaran seharian ‘dilarang’ untuk melakukan hal itu.
Shalat, zakat, puasa, haji dan ritual-ritual lainnya itu bukanlah tujuan, tetapi semua itu hanyalah media, saran, atau jalan. Rugi apabila orang hanya berhenti untuk menunaikan ritual-ritual tersebut. Atau hanya cukup puas sebagai bentuk menunaikan kewajiban saja. Barangkali ada lupa, bahwa ritual agama seperti itu sebagai ajang untuk bermetamorfosis, bagaimana jiwa, hati, dan pikiran kita ‘digodok’ melalui intervensi pelafalan kalimat atau doa, gerakan-gerakan, dan koneksi dengan sesama manusia serta alam semesta. Penggodokan ritual inilah yang nanti membuahkan benih-benih “spiritual” orang beragama.
Buat Apa Spiritual?
Spiritual mengandung kejernihan hati menyadari akan makna, nilai, dan realitas kehidupan di dunia beserta isinya. Mengetahui apa sebenarnya maksud Tuhan menciptakan manusia dengan dibekali media yang dinamakan agama. Memahami kenapa harus ada ritual-ritual yang harus dijalani oleh umat beragama. Memaknai bagaimana nilai-nilai yang harus direfleksikan dalam perasaan, perilaku, pikiran, dan tindakan.
Tak ada dimensi kehidupan yang tak bisa ditembus oleh ajaran agama. Agama menjadi salah satu yang paling bertanggung jawab atas perubahan suatu zaman. Begitu pula bagi agama, pemeluknya yang akan menentukan kesejatian baik-buruk ajaran agama. Dan kesejatian tersebut dapat menjadi kenyataan apabila ajaran agama dimaknai dalam berbagai ekspresi kehidupan.
Jangan heran apabila sekarang orang Islam yang melimpah ini belum tentu bisa menjanjikan “kebahagiaan” bagi diri mereka sendiri. Apalagi kebahagiaan merupakan puncak pencarian manusia, baik itu kebahagiaan dunia atau akhirat. Bisa jadi bagi sebagian orang, agama hanya KTP, agama hanya warisan, agama hanya kedok bagi orang atheis yang mencari aman, atau memang agama hanya tinggal nama, agama hanya ucapan yang tak lagi menjadi nafas bagi para pemeluknya.
Mencari Makna Zaman Edan
“Zaman edan” akan terus semakin edan, tak mungkin menjadi waras lagi. Zaman edan akan selalu berkembang dan akan selalu menggoda umat beragama untuk edan berjamaah. Namun di balik zaman edan dengan berbagai variannya, zaman edan mempunyai berbagai sisi menarik untuk dimaknai, meskipun memang sulit sebagaimana mencari sebutir gula yang tercampur gundukan pasir.
Banyak hal aneh yang bisa ditemukan di zaman edan. Di antara yang paling langka ditemukan adalah kesadaran dan kejernihan hati dan pikiran manusia. Kesadaran dan kejernihan tersebut berusaha memandang sesuatu tidak hanya satu aspek, melihat sesuatu tidak hanya hitam dan putih, merasakan sesuatu tidak hanya manis dan pahit.
Kejernihan hati inilah yang nantinya akan menuntun manusia menuju kewarasan berpikir dan bertindak. Kejernihan yang diistilahkan sebagai ikhlas ini menjadi benteng terhadap virus-virus kapitalis yang menuhankan uang. Tanpa adanya keikhlasan itu, manusia akan brutal dalam memandang sesuatu, tidak pada esensinya melainkan hal luar saja.
Zaman edan menuntut manusia untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan hidup, apapun itu. Kehatian-hatian memaksa manusia agar tidak hanya menggunakan mata kepala dalam melihat fenomena, atau mengarahkan manusia agar tidak hanya menggunakan telinga untuk mendengar bisikan dan teriakan.
Membicarakan zaman edan memang bagaikan ‘orang edan’ yang mengatakan dirinya sebagai orang waras. Tak ada salahnya apabila orang edan belajar menemukan dan memiliki kesadaran dan kejernihan hati untuk berubah. Jika bukan berawal orang edan, lalu siapa lagi orang waras yang mau memikirkan keedanan zaman ini?
Oleh: Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, aktivis PMII UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Baca juga: Belajar Zuhud dari Gus Dur

