Ada dua pertanyaan yang beredar di dalam pemikiran saya sehubungan dengan maraknya kehidupan keagamaan yang terjadi di kalangan kaum elite politik dan menengah ke atas di negara kita ini. Terbukti semakin merebaknya kumpulan pengajian di kalangan eksekutif, artis, dan kaum selebritas lainnya, terutama pada bulan-bulan mulia dalam Islam seperti maulid nabi, ramadhan, idul fitri dan idul adha.
Pertama, apakah gejala itu menunjukkan kebangkitan strata santri elite dan kelas menengah?
Kedua, apakah yang mereka lakukan itu bukan hanya sekedar ajang untuk lobi-lobi politik atau bisnis di antara kaum elite saja?
Bagaimana kita menjawabnya?
Kita semua tentu berharap apa yang berlangsung pada kaum elite itu sebenarnya bukannya hanya sekedar sebuah gejala konversi atau proses rereligiusisasi. Meraka ingat tuhan benar-benar ingin kembali dan ingin dekat dengan-Nya sesudah berlumuran sekularisme dan merasa jiwanya kering oleh situasi-situasi kehidupan modern. Jadi, perubahan ini adalah pergerakan mereka menuju kepatuhan fiqhiyyah, yang pada kalang kaum muslimin tradisional sudah menjadi makanan sehari-hari
Baca Juga : Tiga Tingkatan Hamba Menuju Allah
Kita mensyukuri semua perubahan ini, tapi kita juga berdoa agar gejala ini bisa meningkat. Naik derajat dari kualitas Islam fikih ke Islam kultur dan Islam sistem. Maksudnya, mereka kaum elite bisa mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam mekanisme sistem dan struktural dimana mereka terlibat sebagai aktivis atau bahkan pengambil keputusan.
Harus kita akui sesungguhnya mereka juga sangat memperhatikan masalah-masalah keadilan, distribusi kesejahteraan, kejujuran politik, rakyat miskin, dan lain sebagainya. Tapi, kita sering kecewa dengan sikap dan tindak tanduk mereka yang selalu dibalut nilai politis. Apa lagi mendekati pemilu, pencitraan meningkat tajam. Tak peduli masyarakat bosan dengan ucapan-ucapan yang hanya manis di bibir dan nol besar dalam aplikasi.
Bagi rakyat kecil, perubahan pada demokrasi kita adalah keharusan pada saat ini, menunggu dan menunggu mereka telah lama menunggu. Menunggu ketidak pastian adalah hal yang membosankan. Dengan keyakinan, di dunia ini tak ada yang abadi selain perubahan. Pola pikir tentang Islam, berprilaku islami dan demokrasi harus dirubah.
W.A. Nance pernah berkata, kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab. Yakni, orang yang berpikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tapi tidak pernah berpikir. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sikap nyata, supaya niat baik tak berhenti sebatas angan-angan saja.
Dalam rangka mewujudkan warga negara yang memiliki sikap demokratis dan cerdas dalam berpolitik praktis, pelaksanaan pendidikan demokratis adalah suatu keniscayaan. Ini mengingat dunia pendidikan diyakini sebagai institusi avant-garde dalam persoalaan kemajuan bangsa dan negara, seperti telah terbukti di negara maju semisal Jepang dan Amerika Serikat.
Mempersiapkan warga negara yang bertindak demokratis perlu ditanamkan pada generasi muda tiga hal dasar tentang demokrasi. Pertama, demokrasi haruslah difahami sebagai sebuah system yang memberi kemungkinan kepada warga negara untuk bisa mendapatkan hak-haknya secara professional. Kedua, demokrasi haruslah difahami suatu proses belajar (learning process) yang bersifat berkesinambungan, terus menerus dan tidak semata-mata memahami demokrasi dari suatu golongan yang penuh kepentingan saja. Ketiga, kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi kedalam sikap dan laku demokratis ditingkat praktis kehidupan sehari-hari.
Semoga niat baik ini menjadi awal dari perubahan dunia perpolitikan kita amin