• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Cerita Kiai Hasyim Asy’ari Versi Musta’in Syafi’ie

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2021-08-06
in Kiai, Tebuireng, Tokoh
0
Cerita Kiai Hasyim Asy'ari Versi Musta’in Syafi’ie

KH Musta’in Syafi’ie (Foto: NU Online)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Cerita Kiai Hasyim Asy’ari banyak beredar di kalangan masyarakat. Kali ini cerita tentang Kiai Hasyim Asy’ari datang dari santri Tebuireng yang hingga saat ini masih setia menjaga Tebuireng yaitu KH Ahmad Musta’in Syafi’i.

122 tahun lalu, pesantren Tebuireng lahir. Salah satu pondok pesantren yang tidak punya nama khusus seperti, “…Ulum, Al-Fulan, al-Anu.. “. Tebuireng adalah nama pedukuhan yang kemudian menggelinding menjadi nama pesantren.

Hal demikian, cerita Kiai Hasyim Asy’ari menurut KH Ahmad Musta’in Syafi’i karena pendirinya seorang sufi pengamal faham “Dafn Al-Wujud” milik Ibn Athaillah Al-Sakandari, Shahib Al-Hikam. Menutupi jati diri (mendhem jero) dan tak suka tenar. Persis seperti para Wali Songo yang namanya hilang ditelan nama desa di mana sang wali tinggal. Seperti Sunan Ampel, Derajat, Kudus, Gunung Jati dst.

Atau, sengaja tidak memproklamirkan lembaganya demi mengelabuhi penjajah yang sangat mencurigai santri sebagai sosok paling militan. Makanya, hingga berjalan kurang lebih tujuh tahun, pemerintah Hindia Belanda baru mau mengakuinya. Meski tak bernama, ya Tebuireng itu namanya.

Baca Juga: Kitab Tulisan Tangan KH M Hasyim Asy’ari

Tepatnya, Tebuireng adalah kamp sekaligus pesantren atau pesantren sekaligus kamp. Pengajian kitab salaf yang istiqamah dengan santri tebuireng yang semuanya sudah dewasa dan memahami keadaan. Pesantren ini membangun pendidikan, menggembleng santri tebuireng bahkan anak bangsa dengan kurikulumnya sendiri sebelum NKRI lahir.

Acap kali pengajian kitab mendadak libur karena bunyi tembakan bertubi, pertanda penjajah geram terhadap gerilya misterius. Dan sang kiai sudah tahu, bahwa itu gaya jihad santrinya sendiri. Tebuireng, bahkan pernah dibom hingga dua kali dan bi idzn Allah selamat.

Sang kiai itu adalah Hadlratus syaikh KHM Hasyim Asy’ari (HA), seorang ulama aktifis yang sangat peduli terhadap umat dan bukan seorang kiai yang hanya mengajar saja di dalam pesantrennya sendiri. Makanya yang diurus adalah organisasi, termasuk NU dan Masyumi.

Belum pernah terjadi umat Islam negeri ini bersatu dalam satu wadah organisasi, kecuali hanya sekali, yakni dalam Masyumi dengan pimpinan HA. Benar-benar bapak pemersatu umat yang mengagumkan.

HA tidak punya karya tulis yang utuh dan monumental, seperti kiai Nawawi Banten atau kyai Mahfudh Termas dll. Semua tulisannya adalah kurrasah, kitab praktis sebagai refleksi pemikiran beliau terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah umat.

Hebat, fatwa-fatwanya dituangkan dalam tulisan. Kitab “al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-maulid bi al-Munkarat” adalah bukti kritik dan ketidakrelaan HA terhadap segala bentuk kemaksiatan di masyarakat. Tidak seperti kebanyakan ilmuan sekarang cenderung toleransi, meski hakikatnya lemah iman. Juga lebih hobi berceramah ketimbang menulis. Mungkin karena ceramah itu lebih sederhana dan lebih “ngerejekeni”.

Tinggalan HA kini berkembang menjadi banyak unit pendidikan, termasuk Madrasatul Qur’an, Pesantren Sains, Ma’had Aly dan Universitas Hasyim Asy’ari hingga tingkat magister. Tapi sayang, pemikir besar, pejuang mukhlis dan penulis terampil belum nampak. Mudah-mudahan penguasa akedemik sekarang mewarisi sosok HA dan tidak money oriented.

Saat membaca gelagat sebagian saudara-saudara muslimin menfasilitasi “syiqaq” yang mengarah ke “talak tiga” antara Islam dengan Indonesia, Tebuireng dengan HA-nya bersama para kiai berusaha merujukkan, bahkan menyelenggarakan “tajdid al-nikah” pasutri tersebut, “Islam dan Indosesia”, seperti ter-blow up dalam komite Hijaz dan lahirnya NU.

Saat raja-raja kecil negeri ini lumpuh di hadapan penjajah, para kiai pesantren menghimpun potensi dan kekuatan umat menuju Indonesia merdeka. Tapi di sisi lain ada sebagian yang “dhekem” di pesantrennya sendiri tanpa mau peduli urusan umat. HA memanjatkan doa bernada protes :” allahumm aiqidh qulub al-ulama min naimihim al-‘amiq…”. Ya Allah, bangunkan hati para ulama dari lelap tidur mereka..”.

Pernah ketamuan gubernur Belanda Ch.C.O Van Der Plash yang didampingi Ir. Karl Von Smith merayu HA ke politik. Malah anjingnya disuruh memasukkan ke dalam area pondok, kasihan kepanasan di luar. HA lebih perhatian kepada anjing ketimbang ke pembicaraan Van Der Plash. Meski sangat ramah, tetap saja berfatwa perang sabil hingga Resolusi Jihad.

Santri diminta berpuasa tiga hari mendoakan agar HA tetap mampu menolak jabatan menjadi mufti Belanda. Ratusan kiai ngumpul di Tebuireng melakukan telasan, riyadlah menjelang kemerdekaan. Bahkan sudah mengadakan upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya pada tahun 1938.

HA benar-benar kiai yang punya prinsip dan tidak mudah apriori terhadap penguasa. Ditawari menjadi presiden pertama, tapi menolak dengan halus dan menunjuk Soekarno. HA ambil peran sebagai ulama’ konsultan yang berkarakter dan kharismatik tanpa mau menjabat. Tidak menjadikan dirinya terbeli oleh kepentingan, apalagi menjadi tumbal politik yang habis manis, sepah tetap sepah.

KHM Yusuf Hayim pernah memanggil penulis karena tahu bahwa penulis dijadwalkan sebagai salah satu pembicara dalam seminar nasional membahas G 30 S PKI yang arahnya membaca ulang sejarah. Sebagai pelaku sejarah, beliau bicara banyak dan salah satu tesisnya adalah :” Sudahlah.., Sekali Merah, Tetap Merah”.

NU dulu pernah bergabung dalam Nasakom (PNI, NU, PKI) dan ternyata mau disembelih oleh rekanannya sendiri, tapi Tuhan melindungi. Itu fakta sejarah dan “Hanya keledai dungu yang terperosok dua kali dalam satu lobang”. Dan alumni Tebuireng adalah yang lantang berkata :” I’m Hasyim Asy’ari”. Hadana Allah.

Tags: HadratussyaikhKH Ahmad Mustain Syafi'iKH. M. Hasyim Asy’ariTebuireng
Previous Post

Amalan 1 Suro atau Muharram dari Kiai Ghofur

Next Post

Gus Ipang: Santripreneur Berbisnis, Pasti Fantastis

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Gus Ipang Santripreuner Berbisnis, Pasti Fantastis

Gus Ipang: Santripreneur Berbisnis, Pasti Fantastis

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Mubeng Beteng, Tradisi Masyarakat Yogyakarta Memasuki Bulan Muharam
  • Jalanan dan Kaitannya dengan Karakter
  • Santri Ikuti Seleksi CBT MQKN 2025, Tujuh Kode Ujian Catat Skor Sempurna
  • Serangan Iran Dinilai Jadi Babak Baru dalam Sejarah Israel
  • Ferry Irwandi: Logical Fallacy Argumen Gus Ulil

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng