• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Sorogan, Metode Warisan Sejak Zaman Nabi

Oleh: Thowiroh*

Zainuddin Sugendal by Zainuddin Sugendal
2021-11-17
in Keislaman, Kitab Kuning, Pesantren
0
Sorogan, Metode Warisan Sejak Zaman Nabi
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co- Metode sorogan yang biasa dipakai dalam kegiatan belajar kitab telah menjadi budaya pesantren sejak dahulu. Metode ini efektif menumbuhkan kreativitas dan kepekaan santri dalam belajar.

Menurut Zamakhsyari dhofeir, metode sorogan ialah seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan beberapa baris Al-Quran atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa tertentu yang pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkan kata perkata sepersis mungkin seperti apa yang dilakukan gurunya.

Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa sehingga diharapkan murid memahami struktur kalimat dan artinya. Sebagai contoh dalam penerjemahan bahasa Jawa “utawi” digunakan untuk menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtada, sedangkan kata “iku” digunakan untuk menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah “khabar”. Sedangkan kata “wis” untuk menunjukkan bahwa kalimat itu adalah fi’il madi.

Jika kita membuka kembali sejarah pada masa nabi dalam kitab Syamail Muhammadiyah. Dalam bab mengenal tangisan Rasulullah SAW dijelaskan bahwa nabi senang mendengarkan sahabat membacakan al-Quran kepada beliau dalam hadistnya disebutkan:

 وعن ابن مسعودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ لِي النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم: «اقْرَأْ عَلَيَّ القُرْآنَ»، فقلتُ: يَا رسولَ الله، أَقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟! قَالَ: «إنِّي أُحِبُّ أَنْ أسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي» فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى جِئْتُ إِلَى هذِهِ الآية: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} قَالَ: «حَسْبُكَ الآنَ» فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. متفقٌ عَلَيْهِ

Artinya: Abdullah bin Mas’ud r.a menyatakan: “Nabi Saw. bersabda kepadaku: “Bacakanlah al-Quran padaku.” Saya berkata: “Ya Rasulullah, adakah saya akan membaca al-Quran untuk engkau, sedangkan al-Quran itu kepada engkaulah diturunkannya?” Rasulullah bersabda: “Saya senang sekali kalau mendengar al-Quran itu dari orang lain.” Saya lalu membacanya untuk beliau Saw surat an-Nisa’, sehingga sampailah saya pada ayat ini -yang artinya-: “Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada setiap umat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini” -an-Nisa’ 42-. Setelah itu Rasulullah lalu bersabda: “Cukuplah sudah bacaanmu sekarang.” Saya menoleh pada beliau dan kedua matanya meneteskan airmata.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadis ini diceritakan bahwa nabi Muhammad Saw meminta kepada Ibnu Mas’ud untuk membacakan al-Quran kepada beliau meskipun kepada beliaulah al-Quran diturunkan beliau mengaku senang mendengarkan kembali bacaan al-Quran dari sahabat

Hadist inilah yang kemudian menjadi pijakan tentang metode sorogan yang sampai saat ini masih tetap menjadi metode belajar klasikal dalam pesantren

Berkaitan dengan ini, dalam ilmu hadis ada beberapa ulama hadis yang lebih mengunggulkan penggunaan metode periwayatan “akhbarana” daripada “haddatsana” karena dilihat dari perbedaan keduanya yang mana periwayatan menggunakan ungkapan akhbarana adalah meriwayatkan hadis dengan membacakannya terhadap gurunya, itu artinya hadis yang diriwayatkan tersebut sudah dicocokkan dengan hadis yang telah dihafal oleh gurunya sedangkan periwayatan yang menggunakan haddatsana adalah meriwayatkan hadis yang didengar periwayat dari gurunya dan tidak dibacakan atau dicocokkan kembali dengan cara diperdengarkan lagi kepada gurunya. Wallahu a’lam

*Thowiroh, jurnalis tebuireng.co

Baca juga: Sorogan dan Bandongan Tak Lekang Oleh Zaman

Tags: Bandongan dan SoroganMetode SoroganZaman Nabi
Previous Post

Niat Buruk yang Tidak Direalisasikan Tetap Terhitung Dosa?

Next Post

Milad ke-109 Muhammadiyah dan Tebuireng

Zainuddin Sugendal

Zainuddin Sugendal

Next Post
milad ke-109 Muhammadiyah

Milad ke-109 Muhammadiyah dan Tebuireng

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Jalanan dan Kaitannya dengan Karakter
  • Santri Ikuti Seleksi CBT MQKN 2025, Tujuh Kode Ujian Catat Skor Sempurna
  • Serangan Iran Dinilai Jadi Babak Baru dalam Sejarah Israel
  • Ferry Irwandi: Logical Fallacy Argumen Gus Ulil
  • Gus Ulil Sebut Platform X sebagai Medan Penting dalam Perang Narasi Global

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng