tebuireng.co– Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki andil besar dalam perjalanan dunia kependidikan di Indonesia. Salah satu hasil dari lembaga pendidikan ini lahirnya tokoh-tokoh agama, negarawan, pejuang yang menunjukkan betapa besarnya pengaruh pondok pesantren di negara ini terlebih dalam bidang pendidikan.
Perbedaan antara lembaga pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan formal lainnya ialah sistem dan metode pendidikan yang dipakai. Metode pembelajaran yang dipakai di pondok pesantren meskipun tampak ketat dalam mengambil pengetahuan melalui teks kitab namun sistem ini mampu mencetak generasi yang intelektual dan agamis. Ada dua metode pembelajaran di pondok pesantren yang sampai saat ini bertahan sejak adanya pesantren di Indonesia, keduanya ialah bandongan dan sorogan.
Bandongan sebuah metode pembelajaran di mana seorang guru atau kiai membacakan kitab dan memberi makna pada kitab tersebut. Pemaknaan ini biasanya menggunakan huruf pegon atau kalau pesantren di Jawa menyebutnya metode utawi Iki iku. Guru atau kiai membacakan sedangkan para santri mendengarkan sekaligus memaknai kitab yang dibacakan oleh guru tersebut.
Metode ini menuntut seorang santri untuk fokus dalam menangkap penjelasan gurunya baik dari makna teks kitab sampai ke pemahaman maksud teks tersebut. Karena metode bandongan biasanya diikuti banyak santri bahkan di sebagian pesantren mewajibkan santrinya mengikuti pengajian bandongan pada waktu tertentu maka santri tidak punya kesempatan untuk bertanya ulang tentang pembelajaran yang sudah lewat walaupun itu hanya satu makna lafad.
Metode bandongan ini lebih fokus kepada pemahaman yang sentral kepada pemahaman guru serta lebih cepat dalam menghatamkan kajian suatu kitab. Metode seperti ini banyak digunakan para ulama Islam dahulu bahkan metode ini dipakai sejak zaman Nabi Muhammad Saw ketika mengajar para sahabat. Nabi Menjelaskan suatu ilmu dan para sahabat mendengarkannya. Jadi bandongan sebagai metode pembelajaran memang sudah banyak dilakukan ulama salafus Sholih dalam menyebarkan khazanah keilmuan Islam.
Metode lain yang menjadi ciri khas pesantren ialah sorogan. Berbeda dengan bandongan, jumlah santri yang mengaji dengan metode sorogan relatif lebih sedikit. Pengajian sorogan biasanya hanya diikuti oleh 10-15 santri. Hal ini dilakukan agar proses mengaji lebih efektif karena pembacaan kitab langsung dilakukan oleh santri sendiri sedangkan guru bertugas mendengarkan dan mengoreksi bacaan dan pemahaman santri tersebut.
Metode ini tidak sama dengan bandongan yang bersifat tablig atau tematik di mana guru atau kiai menjelaskan dan santri mendengarkan, sorogan lebih fokus menelaah suatu kitab huruf perhuruf, kalimat per kalimat semua dikupas tuntas sehingga cakupan pengaplikasian ilmu mulai dari nahwu (gramatikal ), shorof (linguistik), balaghoh (sastra), mantik (retorika) sampai pemahaman isi kitab menjadi tugas santri. Dalam sorogan santri dituntut mempelajari terlebih dahulu maqro’ (bacaan dalam kitab) yang akan dibaca di hadapan gurunya secara mendalam.
Sebab hal inilah yang menjadi tujuan dari metode sorogan di mana santri membaca di depan gurunya sedangkan sang guru hanya membetulkan saja apa yang harus dibetulkan.
Seperti yang dituliskan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim wal Mutaalim dalam bab adab seorang santri dalam belajarnya
أن يصحح مايقرأه قبل حفظه تصحيحا جيدا اما على الشيخ او على غيره ممن يتقنه
Bahwa salah satu adab belajar seorang santri adalah mentashih bacaannya dengan bacaan yang benar dan bagus kepada gurunya atau kepada orang selain gurunya yang memiliki kompetensi dalam fan ilmu kitab tersebut, baru setelah itu dia bisa menghafalkannya. Sebab seorang santri tidak boleh menyakini bacaanya sendiri sebelum ditashihkan kepada gurunya. Oleh karenanya sorogan menjadi metode pembelajaran kitab yang lebih baik dan lebih khusus.
Mengenai bahayanya ilmu yang tidak ditashihkan, KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim wal Mutaalim menyebutnya min adhoril mafasidi (salah satu kerusakan yang membahayakan)
وقد تقدم أن العلم لا يأخذ من الكتب فانه من اضر المفاسد
Semakin maju kehidupan modern dan berkembangnya sistem pendidikan yang ada, tidak bisa mengurangi kualitas dari metode ala pesantren di atas, bahwa metode bandongan dan sorogan tak lekang oleh perkembangan zaman justru dengan pembelajaran pendidikan menggunakan metode tersebut dapat mengembangkan pendidikan seorang pelajar dengan benar-benar dapat memahami apa yang ia pelajari.
Bandongan dan sorogan memberi bukti bahwa metode inilah yang berhasil dan dapat melahirkan orang-orang yang tafaquh fi din dan loyal terhadap NKRi, keberhasilan metode ini pada akhirnya berfungsi sebagai determinasi kualitas pendidikan sehingga metode pendidikan yang dikehendaki dapat membawa kemajuan pada semua bidang disiplin ilmu dan ketrampilan.
Masih banyak pesantren yang mempertahankan metode ini, salah satunya adalah pondok pesantren Tebuireng, di sana masih ada pengajian sorogan yang hanya dikhususkan kepada santri-santri yang terpilih untuk mengaji sorogan bersama KH. Abdul Aziz Sukarto Faqih. Jumlah santri yang mengaji pun dibatasi hanya 15 santri yang terbagi menjadi dua tingkatan. Pertama, tingkatan wustho dengan mengaji kitab Fathul Muin, diikuti oleh santri-santri Mu’alimin Hasyim Asy’ari. Kedua, tingkatan ulya yang diikuti santri-santri dari Ma’had Aly hasyim Asy’ari Tebuireng.
Oleh: Badar, mahasiswa semester 3 Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.