tebuireng.co – Milad ke-109 Muhammadiyah jadi hal istimewa bagi Pondok Pesantren Tebuireng. Hampir setiap tahun saat milad Muhammadiyah, Pesantren Tebuireng memberikan ucapan.
Hubungan Muhammadiyah dan Pesantren Tebuireng lebih harmonis dibandingkan hubungan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, pada tahun 1985 saat Muktamar ke-41 Muhammadiyah, Pesantren Tebuireng memberikan ucapan secara khusus di gerbang pesantren.
Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983–11 Maret 1988”, hal 395-396 pada Sabtu, 7 Desember 1985 Soeharto tiba di Solo dari Jakarta, Presiden Soeharto membuka Muktamar ke-41 Muhammadiyah. Pembukaan muktamar yang berlangsung di Stadion Sriwedari itu ditandai dengan penekanan tombol sirene oleh Presiden.
Hubungan baik antara Muhammadiyah dan Tebuireng sudah terbangun sejak era KH M Hasyim Asy’ari dan KH A Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kedua tokoh ini memiliki sanad guru yang sama.
Bahkan Pesantren Tebuireng bersama Muhammadiyah bekerjasama dalam pembuatan film tentang KH Ahmad Dahlan dan KH M Hasyim Asy’ari. Secara rinci ini menjadi sinergi Lembaga Seni Budaya dan Olah raga (LSBO) PP Muhammadiyah dan Pondok Pesantren Tebuireng.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir, justu berterima kasih atas pembuatan film itu. Sebab, ia merasa, film itu akan jadi wujud lain jembatan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Haedar berpendapat, film ini perlu dijadikan sebagai proyeksi dari simbolisasi kehidupan Indonesia hari ini dan masa depan. Khususnya, bagi generasi-generasi setelah kedua tokoh tersebut.
“Dalam konteks kebangsaan kiprah dua tokoh sangat luar biasa, kita semua perlu belajar dari tokoh-tokoh masa lalu seperti Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim,” kata Haedar di Kantor PP Muhammadiyah, Rabu (24/7/2019) dikutip dari Republika.id.
Pesantren Tebuireng mengucapkan selamat muktamar Muhammadiyah
Hal yang sama diutarakan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng (2006-2020), KH Solahudin Wahid atau Gus Solah, menurutnya Indonesia memang perlu membuat film semacam ini. Keduanya dinilai dua dari empat tokoh raksasa umat Islam era itu.
Ia melihat, mereka jadi salah dua tokoh Islam di tengah-tengah banyaknya tokoh di luar kalangan Islam. Terlebih, kala itu, Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim memiliki usia yang tidak terlalu jauh.
“Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim merupakan dua di antara empat tokoh raksasa umat Islam pada zaman itu, empat selain HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim,” kata Gus Solah.
Kisah keakraban Muhammadiyah dan Pesantren Tebuireng tercipta juga saat Ketua Umum Muhammadiyah dijabat Abdul Rozak Fakhruddin, dikenal dengan panggilan Pak AR.
Pak AR adalah Ketua Umum Muhammadiyah dari 1971-1990. Suatu hari, di bulan Ramadan, Gus Dur (cucu KH M Hasyim Asy’ari) mengundang Pak AR ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Tiba waktu tarawih, Gus Dur menyilakan Pak AR memimpin ribuan jemaah tarawih yang jelas saja NU di Pesantren Tebuireng. Sebelum mulai tarawih, Pak AR bertanya pada jemaah:
“Ini mau tarawihnya cara NU yang 23 atau Muhammadiyah yang 11 rakaat?”
“NU……” Kompak jemaah menyahut begitu dengan rasa hereoik pada ke-NU-annya di hadapan tokoh besar Muhammadiyah tersebut.
Pak AR mengiyakan saja. Lalu dimulailah salat tarawih. Cara ngimami Pak AR pelan, halus, kalem, sehingga baru usai delapan rakaat saja, durasinya sudah melampaui salat tarawih ala NU biasanya.
Pak AR berkata pada jamaah sebelum lanjut takbir berikutnya:
“Ini mau lanjut 23 rakaat ala NU beneran?”
Kompak para jamaah menyahut, “Ala Muhammadiyah saja…..”
Pak AR pun menyetujui, diiringi tawa gelak semua orang. Tuntas tarawih dan witir, Gus Dur berkata kepada para jamaah, di hadapan Pak AR.
“Baru kali ini ada sejarahnya warga NU di kandang NU dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja….”Semua orang terkekeh, termasuk Pak AR.
Pak AR lahir di Jogjayakarta 14 Februari 1914. Wafat di Solo 17 Maret 1995. Ia menjadi ketua umum Muhammadiyah menggantikan Kiai Faqih Usman dan digantikan oleh Kiai Azhar Basyir.
Ketiganya dekat dengan para tokoh NU, termasuk Gus Dur. Selamat milad ke-109 Muhammadiyah