• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Rambut Rontok Saat Haid Harus Disucikan?

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-07-31
in Fiqih
0
Rambut Rontok Saat Haid Harus Disucikan?

Rambut Rontok Saat Haid Harus Disucikan?

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Benarkah rambut rontok saat haid harus disucikan? Mari kita lihat pendapatnya ulama agar kita memiliki keyakinan yang kuat dalam beragama.

Selama ini ada nasihat untuk mengumpulkan rambut rontok pada saat haid yang diwariskan secara turun-temurun, padahal kebenarannya belum begitu jelas. Salah satu tujuan dari mengumpulkan rambut ketika haid ini adalah agar bisa disucikan ketika mandi besar.

Hal tersebut berangkat dari anggapan bahwa ketika haid atau junub, tubuh seorang muslim tidaklah suci. Jadi, apabila sebagian tubuhnya jatuh atau hilang dalam keadaan tersebut, maka bersucinya tidaklah sempurna.

Namun, ternyata anggapan tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Rasulullah bahwa seorang muslim tidaklah najis. Bahkan, tak ada satu syariat pun, baik dalam al-Quran maupun hadis yang mengajarkan seorang perempuan haid mengumpulkan rambut.

Darah haid memang najis, akan tetapi Islam tidak memandang perempuan haid sebagai makhluk yang najis. Hal tersebut disampaikan oleh Rasulullah kepada Abu Hurairah yang kala itu hendak menemui Rasulullah dalam keadaan junub.

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW berjumpa denganku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Lantas aku pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk beliau lalu bertanya,

“Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan padanya. Ia lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Bukhari)

Di samping itu, rambut rontok saat disisir bukanlah bagian dari tubuh yang disucikan. Apalagi, fenomena rambut yang terlepas ketika disisir adalah hal yang alami terjadi. Andaikan Islam mewajibkan hal tersebut, sungguh akan merepotkan. Sementara, Islam sendiri tidak menghendaki kesulitan tersebut.

Bahkan, apabila hal itu menjadi sebuah anjuran, tentu Rasulullah akan mengajarkan hal itu kepada Aisyah. Namun, tidak satu riwayat pun yang menceritakan kondisi demikian.

Ada pun perataan air yang menjadi rukun mandi wajib, tidak berlaku pada sejumlah rambut yang terlepas dari badan. Pendapat ini mengikuti Riwayat dari Ibnu Shobagh yang menyebutkan bahwa yang wajib dibasuk adalah yang tampak saja.

Sebenarnya terdapat perbedaan mengenai hal ini, seperti keterangan Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin berikut.

ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه  وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح  وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم

“Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, ‘Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah.

“Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.’ Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, ‘Wajib membasuh bagian yang tampak saja.’ Pendapat ini lebih sahih.

“Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh.

Ini sama halnya dengan orang yang berwudu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).

Oleh: Dinna

Tags: haidPesantrenrambut rontok
Previous Post

Cara Rasulullah Menghormati Anak

Next Post

Nasihat al-Ghazali Tentang Hati

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Nasihat al-Ghazali Tentang Hati

Nasihat al-Ghazali Tentang Hati

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Mubeng Beteng, Tradisi Masyarakat Yogyakarta Memasuki Bulan Muharam
  • Jalanan dan Kaitannya dengan Karakter
  • Santri Ikuti Seleksi CBT MQKN 2025, Tujuh Kode Ujian Catat Skor Sempurna
  • Serangan Iran Dinilai Jadi Babak Baru dalam Sejarah Israel
  • Ferry Irwandi: Logical Fallacy Argumen Gus Ulil

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng