tebuireng.co – Benarkah rambut rontok saat haid harus disucikan? Mari kita lihat pendapatnya ulama agar kita memiliki keyakinan yang kuat dalam beragama.
Selama ini ada nasihat untuk mengumpulkan rambut rontok pada saat haid yang diwariskan secara turun-temurun, padahal kebenarannya belum begitu jelas. Salah satu tujuan dari mengumpulkan rambut ketika haid ini adalah agar bisa disucikan ketika mandi besar.
Hal tersebut berangkat dari anggapan bahwa ketika haid atau junub, tubuh seorang muslim tidaklah suci. Jadi, apabila sebagian tubuhnya jatuh atau hilang dalam keadaan tersebut, maka bersucinya tidaklah sempurna.
Namun, ternyata anggapan tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Rasulullah bahwa seorang muslim tidaklah najis. Bahkan, tak ada satu syariat pun, baik dalam al-Quran maupun hadis yang mengajarkan seorang perempuan haid mengumpulkan rambut.
Darah haid memang najis, akan tetapi Islam tidak memandang perempuan haid sebagai makhluk yang najis. Hal tersebut disampaikan oleh Rasulullah kepada Abu Hurairah yang kala itu hendak menemui Rasulullah dalam keadaan junub.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW berjumpa denganku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Lantas aku pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk beliau lalu bertanya,
“Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan padanya. Ia lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Bukhari)
Di samping itu, rambut rontok saat disisir bukanlah bagian dari tubuh yang disucikan. Apalagi, fenomena rambut yang terlepas ketika disisir adalah hal yang alami terjadi. Andaikan Islam mewajibkan hal tersebut, sungguh akan merepotkan. Sementara, Islam sendiri tidak menghendaki kesulitan tersebut.
Bahkan, apabila hal itu menjadi sebuah anjuran, tentu Rasulullah akan mengajarkan hal itu kepada Aisyah. Namun, tidak satu riwayat pun yang menceritakan kondisi demikian.
Ada pun perataan air yang menjadi rukun mandi wajib, tidak berlaku pada sejumlah rambut yang terlepas dari badan. Pendapat ini mengikuti Riwayat dari Ibnu Shobagh yang menyebutkan bahwa yang wajib dibasuk adalah yang tampak saja.
Sebenarnya terdapat perbedaan mengenai hal ini, seperti keterangan Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin berikut.
ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم
“Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, ‘Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah.
“Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.’ Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, ‘Wajib membasuh bagian yang tampak saja.’ Pendapat ini lebih sahih.
“Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh.
Ini sama halnya dengan orang yang berwudu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).
Oleh: Dinna