“Perubahan itu sesuatu yang sungguh nyata, tetapi sering tak terasa karen keinginan kita untuk menetap seperti sedia kala. Saking semangatnya ingin menetap, sampai kadang-kadang tak terasa hendak mengabadikan sesuatu yang jelas-jelas fana”. Prie GS.
Kutipan di atas adalah bagian dari buku “Waras di Zaman Edan” karya Prie GS. Buku ini diterbitkan oleh Mizan pada 2013 dengan 253 halaman. Sebuah buku yang enak dibaca saat santai.
Prie GS aslinya bernama Supriyanto, ia lahir di Kendal, Jawa Tengah pada 3 Februari 1965 dan wafat di Semarang pada 12 Februari 2021 (56 tahun) karena serangan jantung. Prie GS dikenal oleh khalayak sebagai budayawan dan wartawan.
Melansir situs Unnes, awalnya Prie menjadi wartawan di Harian Umum Suara Merdeka, Semarang, Jawa Tengah. Tidak hanya pandai menulis, ia juga dikenal sebagai kartunis, penyair, dan public speaker di berbagai seminar, diskusi, dan menjadi host untuk acaranya sendiri, baik di radio maupun televisi.
Sesuai dengan sosoknya yang bersahaja, karya Prie GS dalam bentuk tulisan dan seni banyak memasukkan konten sederhana yang merefleksikan hal-hal sederhana pula, tetapi isinya daging semua. Menadaburi sesuatu yang kelihatannya biasa dengan sudut pandang yang tidak biasa.
Melansir situs resmi RRI, selepas SMA, Prie GS menekuni dunia kartun, dan sempatkan belajar khusus kepada kartunis kawakan dari Harian Umum Kompas, GM Sudarta. Ia juga kuliah di jurusan seni musik, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Semarang. Di sana lah kemampuannya semakin terasah dan mengawali kariernya sebagai wartawan di harian umum Suara Merdeka.
Prie GS lebih banyak memegang rubrik-rubrik bermuatan kesenian, sembari secara rutin dia menggambar kartun setiap hari Minggu di surat kabar itu. Dan beberapa tahun kemudian, Suara Merdeka Group mempercayakan padanya untuk memimpin majalah wanita Cempaka. Bersama Candra Malik, Prie GS mengisi konten humor sufi.
Prie GS juga pernah menggelar pameran kartun di Tokyo, Jepang atas undangan The Japan Foundation.
Buku “Waras di Zaman Edan” milik Prie GS berisi tentang artikulasi penulis dari kelebatan-kelebatan peristiwa yang tertangkap olehnya. Gaya bahasa yang renyah dan sederhana khas Prie GS, membuat para pembacanya selalu penasaran dengan halaman-halaman selanjutnya.
Sesuai judulnya, buku ini mengajak untuk waras pada zaman yang (mayoritas) tidak waras. Terdiri dari 10 chapter, di awali dari belum waras sampai waras.
Pola penulisan dalam buku-buku Prie GS seringkali di awali dengan melukiskan suatu kisah, lalu menceritakan anomali-anomali di dalamnya, kemudian dari kisah dan segala anomalinya ditarik sebuah refleksi yang dalam.
Prie mengajak para pembaca untuk memahami bahwa rutinitas sehari-hari yang nampaknya biasa-biasa saja itu, mengandung pelajaran yang begitu berharga.
Banyak karya-karya yang telah diterbitkan baik puisi, cerpen, kolom, kartun, maupun buku-buku humor, karena sejak memulai debutnya sebagai seniman, setiap pekan dia selalu menulis dan menggambar untuk diterbitkan di media massa.
Buku-bukunya antara lain, Nama Tuhan di Sebuah Kuis (2003), Merenung Sampai Mati (2004), Mari Menjadi Kampungan (2005), Hidup Bukan Hanya Urusan Perut (2007), Ipung, novel motuivasi Pembangkit, Kepercayaan Diri (2008), Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia (2009), Indonesia Jungkir Balik (2012) dan Hidup ini Keras, Maka Gebuklah (2012).
“Memang tidak mudah, tetapi bukan berarti sulit. Kalaupun dianggap sulit, apa menakutkannya sebuah kesulitan?, tak ada yang mengherankan dari sebuah kesulitan. Sejak lahir, manusia sudah dihadapkan dengan berbagai macam kesulitan.kesulitan itu, pada akhirnya tidak menyulitkan. Sebaliknya, ia bertugas memudahkan. Ternyata, lewat aneka kesulitan itulah manusia tumbuh dan berkembang. Jadi, untuk setiap kesulitan-kesulitan kita hanya butuh keberanian untuk merampungkannya.” tulis Prie GS buku “Waras di Zaman Edan”
Wulida Ainur Rofiq/Abdurrahman