Tanggal 5 Juli adalah hari wafatnya sosok Da’i sejuta umat KH M Zainuddin MZ. Zainuddin memiliki hubungan yang cukup erat dengan Pesantren Tebuireng. Ini terlihat di mana salah satu putranya yang bernama Fikri Haikal Hasan dikirim ke Tebuireng untuk belajar agama.
Putra sulung KH Zainuddin MZ yaitu Fikri Haikal Hasan MZ dikenal banyak kemiripan dengan sang ayah. Kemiripan itu mulai dari wajah, perawakan , gerak gerik, dan gaya bicara.
Maka tak heran Fikri disebut-sebut sebagai pewaris kepiawaian almarhum KH Zainuddin MZ dalam berdakwah. Pada 1987, Fikri berangkat ke Jawa Timur untuk belajar di Pesantren Tebuireng Jombang, ia belajar di tingkat Tsanawiyah dan Aliyah.
Selama di Tebuireng, Fikri sering diajak oleh ayah berkunjung ke tokoh-tokoh besar yang ada di Jawa Timur. Silaturahim ini membuat Fikri mendapatkan banyak pelajaran, salah satunya memperkuat ukhwah Islamiyah.
“Waktu saya di Tebuireng saya dikenalkan dengan Kiai-Kiai besar oleh ayah saya. Dikatakannya bahwa saya ini salah satu putranya. Hal ini terus saya tradisikan,” katanya seperti dikutip dari Okezone.com.
Pada tanggal 26 Agustus 2012 pernah diadakan acara halal bihalal Ikatan Alumni Pesantren Tebuireng di kediaman Alm Zainudin MZ. Acara ini diikuti oleh Gubernur DKI Fauzi Bowo,Wakil Walikota Jakarta Selatan, dan alumni-alumni pesantren Tebuireng. Fikri Haikal Hasan juga datang ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk memberikan motivasi kepada calon da’i muda Tebuireng.
Merujuk pada buku “Dakwah & Politik ‘Dai Berjuta Umat’ (1997; editor Idris Thaha)” disebutkan di sana, Zainuddin berasal dari keluarga Betawi asli. Dua huruf diakhir namanya menyingkat nama ayahandanya, Turmudzi.
Sayang, Turmudzi wafat ketika anak semata wayangnya itu masih berusia dua tahun. Sebagai yatim, Udin-demikian nama kecil Zainuddin-diasuh kakek dan neneknya. Sang ibu bernama Zainabun. Dua tahun setelah menikah, Zainabun dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Zainuddin pada 2 Maret 1952.
Keluarga ini terbilang sederhana. Rumahnya terletak di Gang Cemara, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel). Turmudzi sehari-hari bekerja sebagai pegawai rendah di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di samping itu, dia juga menyambi berdagang sayur-mayur. Adapun istrinya mengurus rumah tangga.
Sosok Zainuddin sejak kecil memang sudah tampak mahir berpidato. Udin suka naik ke atas meja untuk berpidato di depan tamu yang berkunjung ke rumah kakeknya. ‘Kenakalan’ berpidatonya itu tersalurkan ketika mulai masuk Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Madrasah Aliyah di Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta Selatan.
Selama enam tahun Zainudin mengenyam pendidikan di bawah asuhan KH Idham Chalid, ulama kharismatik asal Kalimantan, sekaligus politisi ulung yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Di sekolah ini ia belajar pidato dalam forum Ta’limul Muhadharah (belajar berpidato). Kebiasaannya membanyol dan mendongeng terus berkembang. Setiap kali tampil, ia memukau teman-temannya. Kemampuannya itu terus terasah, berbarengan permintaan ceramah yang terus mengalir.
Idham Chalid adalah kader Nahdlatul Ulama dengan berkali-kali jadi wakil perdana menteri (waperdam). Pertama dalam kabinet Ali Sastroamidjojo (24 Maret 1956-9 April 1957), kabinet Djuanda (9 April 1957-9 Juli 1959), dan dalam dua kabinet Dwikora (22 Februari 1966-25 Juli 1966).
Semua kabinet itu berada di zaman Sukarno jadi Presiden. Idham Chalid yang lahir di Setui, dekat Kota Baru (Kalimantan Selatan) pada 27 Agustus 1922 ini sudah terlihat cerdas sejak bocah.
Ahmad Muhajir dalam buku “Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (2007: 21)” menyebut Idham yang cerdas langsung dimasukkan ke kelas dua Sekolah Rakyat (SR) Amuntai ketika baru mendaftar dan bakat pidato tanpa teksnya sudah terlihat. Makin dewasa, bakat pidatonya makin menjadi. Tak heran, penceramah sohor macam Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pernah berguru padanya.
Sosok Idham Chalid pula lah yang menarik Zainuddin MZ aktif di politik dan jadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di era Orde Baru. Ia juga sempat mendirikan Partai Bulan Bintang dan di akhir masa hidupnya, Zainuddin MZ memilih fokus di dunia dakwah.
Zainuddin meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina, karena serangan jantung dan gula darah. Ia meninggal setelah sarapan bersama keluarga di rumahnya Gandaria I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada tahun 2011 (saat ayahnya wafat), Haikal Fikri sempat mengatakan ke publik akan tetap meneruskan perjuangan KH M Zainuddin MZ di jalur dakwah. Hari-harinya dihabiskan untuk syiar Islam di televisi maupun undangan langsung.
“Soal itu (meneruskan jejak Zainuudin) saya sudah beriktiar, saya berharap salama ini menuju ke arah sana.”
Menurut Fikri, ayahnya secara khusus tidak memintanya untuk mengikuti jejak sang ayah. Sikap moderat Zainuddin memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memelih jalur mengabdi kepada agama dan bangsa.
Hanya saja Fikri mendapatkan amanat dari ayahnya, bahwa apa yang sudah ada, seharusnya diteruskan oleh sang anak. Amanat lain yaitu, ingin dimakamkan di area masjid dan sekitarnya didirikan asrama dan sekolahan.