Berbicara representasi politik, isu gender dalam demokrasi sering kali terkait dengan rendahnya partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Seperti halnya parlemen, pemerintahan dan partai politik. Berdasarkan data dari Word Bank (2019), negara Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen.
Sedangkan hasil pemilu pada tahun 2019, tercatat bahwa keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) masih berada di bawah angka persyaratan 30% dari jumlah calon legislatif perempuan pada saat parpol mendaftar sebagai peserta pemilu. Persentase keterwakilan perempuan berkisar di angka 20,8 atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR-RI.
Minimnya keterwakilan perempuan di dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan di Indonesia menjadi persoalan ketika transisi menuju demokrasi menuntut keadilan dan kesetaraan gender. Di antaranya yang menjadi faktor penghambat peningkatan keterlibatan perempuan di dunia politik, yakni stereotip gender, keadilan sosial dan kondisi sosiokultur bangsa yang masih pekat dengan budaya patriarki. Budaya ini membatasi ruang gerak perempuan dan kebebasan berpikir.
Rendahnya partisipasi politik perempuan membawa pengaruh yang sangat signifikan. Salah satunya berpengaruh terhadap isu kebijakan terkait kesetaraan gender dan problematika utama yang dihadapi perempuan belum tuntas secara keseluruhan. Di sisi lain kurangnya partisipasi politik perempuan memberi dampak negatif pada demokrasi yang inklusif dan partisipatif.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, A.M. Fachir mengatakan bahwa demokrasi inklusif merupakan solusi dalam menjawab tantangan dari berbagai hal. Demokrasi yang menyatukan bukan memisahkan, memberi harapan bukan menakutkan serta memberdayakan bukan justru melemahkan. Demokrasi inklusif membutuhkan peran aktif dari semua pihak untuk mendorong pencapaian, termasuk partisipasi perempuan. Maka peningkatan partisipasi perempuan dalam kursi politik sangat berperan dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif terhadap pemberdayaan perempuan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Adapun upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik memerlukan dukungan penuh dari semua pihak, demi mewujudkan pembangunan yang lebih baik. Upaya ini bisa dilakukan melalui memaksimalkan kuota gender, tindakan afirmatif dan program pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan melek politik sebenarnya bisa dimulai pendidikan dari keluarga, bahwa berkiprah serta berpartisipasi merupakan salah satu bagian terpenting untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan non formal ini juga harus di implementasikan sebagai wadah kaum perempuan, seperti adanya diskusi atau keterlibatan keluarga dalam topik-topik politik termasuk kontribusi perempuan bagi politik yang ada tengah di masyarakat. Sehingga hal ini memicu ketertarikan perempuan akan politik juga memicu ketertarikan bergabung dalam kontestasi pemilihan umum yang mendorong semakin banyaknya peluang perempuan akan duduk di parlemen.
Selain itu juga mendorong anak-anak perempuan untuk mengikuti organisasi yang ada di bangku pendidikan, melakukan advokasi terhadap kaum perempuan supaya terpanggil untuk berpartisipasi dalam kancah politik dan memberikan penyadaran akan pemenuhan hak yang adil bagi perempuan termasuk dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya partisipasi dirinya sebagai perempuan, sehingga dapat mendorong untuk berpartisipasi politik dan memperjuangkan hak keadilan bagi kaumnya.
Menurut Yenny Wahid, putri dari Presiden Republik Indonesia yang ke-4 atau Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa eksistensi perempuan dalam pengambilan keputusan lebih selfless mau mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain. Dalam konteks kepemimpinan, perempuan mempunyai instrinsic value yang lebih mengedepankan konsensus building, dan mengedepankan harmoni di masyarakat sehingga ketika berada dalam posisi strategis dia akan mencoba mencari titik temu sedapat mungkin. Hal ini terbukti lebih mampu mengatasi krisis tumpuannya adalah kesejahteraan masyarakat yang menjadi priorotas utama.
Peningkatan partisipasi politik perempuan juga harus ada dukungan Institusional dan kebijakan publik sebagai peluang dan kekuatan besar bagi perempuan untuk dapat berkiprah dan berpartisipasi dalam dunia politik. Seperti : 1). Pasal 17 dan 21 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2). GBHN yang di bentuk pada tahun 1978. 3). Undang –Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 4). Konvensi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woment) dan The Convention on Political Right Of Women.
Melalui beberapa peluang ini sangat diharapkan dapat memberikan kebijakan-kebijakan yang adil khususnya bagi kaum perempuan. Pentingnya peningkatan partisipasi politik perempuan untuk membangun kesetaraan gender dalam sistem demokrasi, perlu kiranya untuk melanjutkan upaya dalam mendukung partisipasi politik perempuan. Seperti halnya meningkatkan kualitas pendidikan perempuan, pengalokasian 30% kepada kaum perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif dalam hukum pemilu dapat dijadikan landasan hukum, memaksimalkan kuantitas dan potensi perempuan serta mengatasi beberapa hambatan yang masih melekat pada saat ini.
Oleh: Syofiatul Hasanah
Baca juga: Langkah Cerdas Generasi Z dalam Memilih Pemimpin 2024