tebuireng.co – Nafkah setelah cerai menurut fikih dan hukum negara menarik dibahas karena banyak suami yang melupakan kewajibannya setelah bercerai. Nafkah sudah diatur jelas di fikih Islam dan hukum negara Indonesia.
Mengutip NU Online, perceraian antara suami isteri bisa terjadi karena kematian salah satu dari dua pihak, atau terjadi semasa keduanya masih hidup.
Dalam kasus kedua, yaitu terjadi perceraian pasangan suami-isteri bukan disebabkan oleh satunya meninggal dunia, memang dikenal istilah mut’ah.
Lantas apa yang disebut dengan mut’ah?
Mut’ah secara bahasa berarti kesenangan. Menurut madzhab syafi’i, mut’ah adalah nama yang digunakan untuk menyebut harta-benda yang wajib diberikan laki-laki (mantan suami) kepada perempuan (mantan isteri) karena ia menceraikannya.
الْبَابُ الْخَامِسُ فِي الْمُتْعَةِ — هِيَ اسْمٌ لِلْمَالِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ دَفْعُهُ لِامْرَأَتِهِ بِمُفَارَقَتِهِ إيَّاهَا
“Bab kelima tentang mut’ah. Mut’ah adalah nama untuk menyebut harta-benda yang wajib diberikan seorang (mantan) suami kepada (mantan) isterinya karena ia menceraikannya” (Zakariya Al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 3, h. 319)
Dengan mengacu pada penjelasan ini maka pemberian mut’ah kepada mantan isteri menurut madzhab syafi’i adalah wajib. Namun, tidak semua perceraian mengakibatkan keharusan adanya memberikan mut’ah.
Dalam kasus cerai mati, menurut ijma’ para ulama tidak ada mut’ah sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf An-Nawawi.
اَلْفُرْقَةُ ضَرْبَانِ فُرْقَةٌ تَحْصُلُ بِالْمَوْتِ فَلَا تُوجِبُ مُتْعَةً بِالْإِجْمَاعِ
“Perpisahan itu ada dua macam, pertama perpisahan yang terjadi sebab kematian. Maka dalam kasus ini menurut ijma’ para ulama tidak mewajibkan memberikan mut’ah”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Raudlah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Bairut-al-Maktab al-Islami, 1405 H, juz, 7, h. 321)
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa perempuan yang dicerai berhak mendapatkan mut’ah apabila perceraian itu lahir dari inisatif pihak lelaki.
Artinya, jika perceraian itu muncul inisiatif dari pihak perempuan, seperti dalam kasus faskh (cerai gugat) dimana pihak perempuan menggugat cerai suaminya dengan alasan suami tidak mampu menafkahinya atau menghilang. Atau disebabkan oleh pihak perempuan itu sendiri, seperti suami meminta cerai disebabkan oleh adanya aib pada isterinya, seperti isteri terkena penyakit kusta atau lepra. Maka dalam hal ini ia tidak berhak mendapatkan mut’ah.
وَكُلُّ فُرْقَةٍ مِنْهَا أَوْ بِسَبَبٍ لَهَا فِيهَا لَا مُتْعَةَ فِيهَا كَفَسْخِهَا بِإِعْسَارِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ أَوْ فَسْخِهِ بِعَيْبِهَا
“Setiap perceraian yang terjadi karena inisiatif dari pihak perempuan atau disebabkan oleh pihak perempuan maka tidak ada mut’ah, seperti pihak perempuan menggugat cerai suaminya karena si suami tidak mampu mencukupi nafkahnya atau menghilang, atau pihak lelaki mengajukan tuntutan cerai karena adanya aib pada isterinya” (Taqiyuddin Muhamman Abu Bakar al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Damaskus-Dar al-Khair, 1999 M, juz, 1, h. 373).
Sementara itu, dalam hukum negara, kewajiban mantan suami (atau orang tua) memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yakni:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri

Perilaku manusia tidak bisa dijamin kebajikannya, begitu juga seorang suami dan istri. Sedangkan, dalam sebuah rumah tangga pasti akan mengalami pertengkaran, itu wajar yang terpenting menyikapinya jangan sampai fatal. Karena dalam Islam, orang yang mencerai istrinya dalam keadaan ‘bercanda’ saja sah apalagi serius.
Dalam Islam, perceraian boleh. Namun, Nabi Muhammad Saw bersabda “Perbuatan halal yang paling di benci Allah ialah bercerai.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majjah.
Nafaqah atau nafkah adalah istilah dalam hukum Islam untuk tunjangan keuangan yang harus disediakan seorang suami untuk istrinya selama pernikahan dan untuk waktu setelah perceraian.
Di bawah akad nikah Islam, suami diwajibkan untuk membayar rumah, makanan dan pakaian istrinya selama perkawinan mereka.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! عِنْدِي دِينَارٌ? قَالَ: أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ: عِنْدِي آخَرُ? قَالَ: أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ: عِنْدِي آخَرُ? قَالَ: أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِكَ قَالَ: عِنْدِي آخَرُ, قَالَ: أَنْفِقُهُ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ, قَالَ: أَنْتَ أَعْلَمَ ) أَخْرَجَهُ اَلشَّافِعِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَأَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ وَالْحَاكِمُ بِتَقْدِيمِ اَلزَّوْجَةِ عَلَى اَلْوَلَدِ
Abu Hurairah Radliyallaahu Anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Saw dan berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Nabi bersabda: “Nafkahilah dirimu sendiri.”
Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Nabi bersabda: “Nafkahi anakmu.” Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Nabi bersabda: “Nafkahi istrimu.” Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Nabi bersabda: “Nafkahi pembantumu.”
Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: “Engkau lebih tahu (siapa yang harus diberi nafkah).” Riwayat Syafi’i dan Abu Dawud dengan lafadz menurut Abu Dawud. Nasa’i dan Hakim juga meriwayatkan dengan mendahulukan istri daripada anak.
Perceraian yang terjadi karena adanya permohonan cerai dari suami kepada istri. Jika telah dikabulkan oleh pengadilan maka sesuai dengan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang istri berhak mendapatkan:
- Suaminya wajib memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
- Mut’ah yang layak bekas suaminya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut Qobla Ad-dukhul.
- Pelunasan mahar yang masih terhutang sepenuhnya, dan setengah nya jika Qobla Ad-Dukhul.
- Biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum berumur 21 tahun. Hak hadhanah yaitu ayah dan ibu mempunyai hak yang setara untuk memelihara, mengasuh, membiayai dan mendidik anak-anaknya
- Berhak atas nafkah lampau, jika dalam pernikahan tersebut suami tidak memberi nafkah.
- Perempuan mendapat hak hadhanah bagi anak anak yang belum berumur 12 tahun.
Sedangkan hak anak akibat perceraian orang tuanya menurut hukum yang negara adalah sebagai berikut:
- Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, pendidikan, kesehatan, rumah, dan tempat tinggal yang baik dan layak secara lahiriyah dan bathiniyah, termasuk juga mendapat curahan kasih sayang.
- Semua biaya kehidupan (anak) tetap tanggung jawab ayah dan ibunya.
- Hak untuk bertemu orangtua nya pasca perceraian.
Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Baik Pengadilan Negeri (beragama non-Islam) maupun Pengadilan Agama (beragama Islam).
Seluruh Ulama telah sepakat bahwa menafkahi anak dari istri yang telah dicerai hukumya wajib. Meskipun anak tersebut ikut (tinggal) bersama ibunya atau bersama sang ayah (suami).
Islam ini melindungi hak martabat, maka terlepas dari hak hadhanah, ada juga kewajiban suami memberikan nafkah meskipun sudah cerai. Jangan sampai karena sakit hati menghilangkan tanggung jawab seorang suami.
Alyssa Qothrunnada/Abdurrahman